I (SATU)
An English Teacher
Hari baru menunjukkan pukul 6.25 pagi. Masih terlalu pagi memang untuk seorang guru seperti aku berada disekolah. Tapi pagi ini aku bersemangat sekali. Really, karena hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur yang cukup panjang (hampir sebulan penuh lho… lumayan panjang itu buat aku yang hampir sepanjang tahun tidak merasakan serunya liburan.).An English Teacher
Sepanjang minggu terakhir liburan benakku dipenuhi dengan harapan dan khayalan dan ide-ide baru untuk bahan ajar tahun ajaran baru nanti. Kira-kira tahun ini aku akan ditempatkan untuk mengajar dikelas berapa ya, jurusan apa (oh ya, for your information, saat ini statusku adalah seorang guru Bahasa Inggris disalah satu sekolah kejuruan negeri dikota J) dan berapa total jam mengajar ya dalam seminggu? (status ku juga masih sebagai guru tidak tetap alias GTT yang berarti gajiku dalam sebulan tergantung pada berapa banyak jam mengajarku dalam seminggu. Semakin banyak jam mengajarnya, semakin besar pula gaji yang ku dapat di tiap bulannya…)
Keadaan disekolah pagi ini masih sepi sekali. Secara baru jam setengah 7 pagi. Ditambah pula, hari ini baru jadwal para guru dan staff sekolah saja yang mulai masuk bertugas. Para siswa baru akan mulai masuk sekolah seminggu lagi.
Dari pertama kali kakiku memasuki gerbang sekolah, aku baru melihat Pak De (janitor alias tukang bersih-bersih sekolah) yang sedang asik menyapu pelataran parkir dengan sapu lidi kesayangannya dan Mbak Atik yang juga merupakan pegawai multi fungsi disekolah ini.
This school is in such a mess. Wajar sih, karena hampir sebulan penuh sekolah ini ditinggalkan para penghuninya (para murid, guru, staff en tamu-tamu sekolah maksudnya…..). Tong-tong sampah terlihat penuh dengan sampah-sampah yang sudah hampir sebulan bercokol disitu (kebayang gak baunya gimana??!!!). Disepanjang koridor banyak daun-daun dari pohon-pohon rindang yang menghiasi sekolah yang gugur dan jatuh terbawa angin. Kaca-kaca jendela juga tampak tebal oleh debu. Ruangan kelas siswa? Jangan ditanya kotornya… Sepertinya sisa pesta kenaikan kelas mereka sebulan yang lalu masih belum sempat dibereskan oleh para petugas kebersihan disekolah ini. Buktinya, masih banyak sampah plastik-plastik bekas sisa jajan para siswa. Bangku dan meja sudah tak jelas lagi susunannya. Ada yang didekat pintu, ada yang ditaruh didepan meja guru, bahkan ada kursi yang menggantung di dek (lho??).
Well, that’s a glance description of this school after being left for almost a month. But it is not that bad anyway. Gedung sekolah ini masih dalam kondisi yang baik dan kokoh. Catnya juga masih bersih, tidak terkesan buram atau dikotori oleh coretan-coretan nakal pasa siswanya (Kecuali di toilet siswa. Ada saja coretan atau sekedar curhatan gak penting yang mereka tuangkan di dinding toilet. Mulai dari ke-bete-n mereka sama beberapa oknum guru yang killer sampe masalah gebetan.). Perpustakaan bagus, rapi, buku-bukunya menarik dan selalu buka setiap hari (Ya iya lah....), kecuali hari minggu karena pegawainya kan juga butuh libur. Ada laboratorium bahasa juga, walaupun kebanyakan dari alat-alat didalamnya butuh perbaikan karena sudah banyak yang rusak. Yah, paling gak, masih ada ruangan khusus yang disediakan. Ada lapangan basket dan voli juga. Bahkan sekolah ini juga punya hotel sendiri! Isn’t that great? Sekolah ini juga sedang dalam persiapan untuk mendapatkan predikat SBI (Sekolah Berstandar Internasional, kalo gak salah...) which means, akan ada banyak sekali fasilitas tambahan yang akan didapatkan sekolah ini nantinya apabila predikat tadi benar-benar berhasil diperolah. Not to mention the amount of money that it will get from the government to improve its facilities as well as the people involved in it.
Well, terlepas dari itu semua, aku happy sekali pagi ini. Seandaikan kau bisa melihat, kau akan melihat wajahku secerah mentari yang bersinar pagi ini (ciieeeee……). Sungguh. Kenapa??? Ya, kan tadi diatas sudah kusebutkan alasannya…
Here I come in front of the teachers’ room. Ku buka pintu ruangan majelis guru. Masih lengang. Sepi tak berpenghuni (Ada ding penghuninya…kan aku sudah didalamnya…hehehe..). Meja-meja masih tertata rapi. Hampir tidak ada satu buku pun yang tergeletak disana. Papan pengumuman yang tergantung disebelah kiri pintu masuk juga masih bertuliskan pengumuman yang sama; rapat kenaikan kelas di aula sekolah seminggu sebelum raport akhir tahun dibagikan.
Aku berjalan menuju mejaku yang terletak dibarisan paling belakang sudut kiri ruangan. (Iya…yang paling belakang karena aku baru mengajar disekolah setahun yang lalu. Sementara guru-guru yang lain sudah berkarat disana sehingga mereka dapat meja yang terdepan…Eh, ko kayak iklan Yamaha jadinya….hehehe). But I am comfortable enough with my desk and the chair (walaupun bantalan kursinya sudah lepas sehingga seringkali pantatku terjerembab masuk karena aku tidak mengetahui kalau posisi bantalan kursinya sudah melewati kayu penyangganya….hehehe). Mejaku tidak terlalu panjang dan tidak juga terlalu lebar. Tapi cukup besar untuk menampung buku-buku latihan dan tugas-tugas yang dikumpulkan siswa-siswaku. Ada dua buah laci juga dibagian kanan bawahnya yang kupakai untuk menyimpan barang-barangku yang terkadang apabila aku sedang diburu waktu langsung saja kulemparkan barang tersebut masuk kedalam laci tanpa menyusunnya lagi (Pernah satu kali aku kehilangan salah satu kaos kaki kesayanganku. Tempat pakaian dirumah sudah habis ku obrak-abrik tapi tidak juga kutemukan. Namun 2 bulan berikutnya, kaos kaki itu kutemukan tanpa sengaja sedang asik berpelukan dengan tumpukan buku-buku mengajarku yang jarang kupakai dibagian bawah laci meja kerjaku! Najis! Baunya sungguh amit-amit karena kemudian aku ingat bahwa kaos kaki tersebut kulemparkan begitu saja pada satu hari sehabis senam pagi disekolah. Hehe…. Yah, aku akui, aku memang tipe guru yang sedikit pelupa… (Ngeles deh…)
It’s almost seven o’clock when Bu Uti comes in. Dia adalah guru bidang studi Olahraga. Badannya besar tinggi. Dan suaranya nyaring tapi nge-bass dengan logat jawa-nya yang kental (Gimana tuh??!!). Dia orangnya lembut tapi tegas. Tidak gemuk, tidak juga kurus. But overall, dia tipikal guru yang cukup baik, berwibawa dan bertanggung jawab….Yah, seperti aku-lah kira-kira (Narsis mode on..)
Bu Uti masuk sambil membawa tas jinjing kesayangannya, sunglasses yang masih nangkring dihidung (Ehm..cukup) mancungnya dan satu plastik putih besar berisi beberapa kotak yang aku tak tahu isinya apa.
“Assalamualaikum. Selamat pagi, Mitha. Piye liburanmu?” sapa Bu uti sambil berjalan menuju mejanya dan langsung menaruh tas dan plastic putih tadi diatas mejanya.
“Waalaikumsalam. Liburan bete, bu. Dirumah aja gak ada jalan-jalan kemana gitu. Paling banter ya ke mal, cuci-cuci mata doank…hehehe… Ibu gimana liburannya?” jawabku sambil membenarkan posisi bantalan kursiku. Takut terjerembab lagi.
“Liburan saya seru, Tha. Saya balik kampung ke Jogja. Sama suami dan anak-anak.”
“Wah, pasti seru dong ya… Jadi kangen Jogja. Terakhir kali kesana waktu saya ikut English Debate dulu..”
“Yo wis, cari suami orang Jogja aja biar jadi sering kesana…” canda Bu Uti.
“Duh, saya kan baru 21, Bu. Tunggu bentar lagi deh kalo mau kawin, eh nikah maksudnya..” jawabku.
“Koe masih 21 toh? Walah, Mitha… Masih muda banget kamu ya! Oh iya, sampe lupa. Nih, ada oleh-oleh dikit dari Jogja” kata Bu Uti sambil menyodorkan plastik putih besar tadi kearahku.
“Oleh-oleh?? Asik… pagi-pagi udah dapat rejeki. Apaan oleh-olehnya,bu?”
“Udah dibuka aja…”
Dan begitu plastik putih tadi kubuka, berkotak-kotak (only 5 small boxes anyway…) Bakpia, oleh-oleh khas Jogja, ada didalamnya. Ada isi kacang hijau dan keju yang menjadi favoritku. Duh, jadi laper lagi deh. Langsung kubuka kotak Bakpia dengan rasa keju, secara itu favoritku dan kuambil sepotong Bakpia yang dalam hitungan sepersekian mikro detik sudah berada didalam mulutku. Hmmm….. Uenak tenan…. Jadi kangen Jogja.
“Pelan-pelan ngunyahnya, Tha. Entar keselek. Eits, jangan dihabisin semua ya, inget yang laen… Tampang kamu kayak orang yang belum makan seminggu kayaknya…” canda Bu Uti lagi.
“Hehehe… Enggak ko, bu. Tenang… Pasti kusisain buat yang laen. Sekotak cukup kan?? Hehehe…Anyway, thanks a lot ya bu! Bakpianya ma’nyus banget niy!”
Aku masih terus mengunyah Bakpia tadi (sudah habis 3 potong) ketika satu per satu guru-guru yang lain masuk berdatangan. Ada Pak Jumino (Guru Sejarah), Bu Emi (Guru Matematika), Bu Zizah (Guru PKN) dan Bu Ren (Inget, bukan Duren, yang notabene adalah guru Bahasa Indonesia). Semua langsung sumringah begitu tahu pagi-pagi sudah disuguhi Bakpia asli Jogja. Ayo, Mitha! Kunyah yang cepat biar kamu bisa makan Bakpianya yang banyak! Hehehe… (Enggak ko… aku gak rakus… maruk iyah!)
Tepat ketika aku sedang asik mengunyah Bakpiaku yang ke-7 (iya…udah abis 7 potong…) aku teringat rencanaku dari rumah tadi. Pagi ini aku ingin menemui Bu Deni, WakaKurikulum, secara dia yang buat jadwal pelajaran. Aku ingin tahu apakah dia sudah selesai menyusun jadwal atau belum since I’d like to find out which classes will be the next victim of my crazy yet fun teaching.
“Oh ya, Bu. Udah ada yang ngeliat Bu Deni belum ya? Saya ada perlu dengan beliau.” Tanyaku pada semua guru yang ada diruangan saat itu.
“Belum ada liat tuh. Tapi coba aja sekarang Mitha cek diruangannya siapa tau udah datang…” jawab Bu Uti (lagi…) karena yang laen sedang asik makan bakpia dengan buasnya jadi mereka mungkin tidak sadar dan tidak mendengar ada guru nan cantik jelita sedang bertanya.
“Oh, iya deh…” kataku sambil berjalan keluar ruangan.
Tepat ketika aku baru hendak memengang handle pintu ruangan WakaKurikulum, Bu Deni muncul dari belakangku sambil membawa setumpuk kertas dan tas coklat jinjingnya.
“Cari siapa, Mith?”
“Eh, ibu, jadi kaget… Mau cari ibu…”
“Ada apa ya?” Tanya Bu Deni lagi.
“Mau tanya, Bu. Jadwal pelajaran udah selesai disusun atau belum ya? Saya penasaran pengen tau saya dapat kelas berapa tahun ini…”
“Wah, belum selesai tuh jadwalnya. Ditunggu aja. Oh ya, kamu dicariin sama kepsek. Tapi sekarang beliau belum datang, jadi ditunggu aja.” Jawab bu Deni sambil memasukkan kunci dan membuka pintu ruangannya.
“Oh gitu ya. Ya udah deh kalo gitu. Makasih ya, Bu…” jawabku sambil berbalik dan berjalan kembali keruangan majelis guru.
Dalam perjalanan kembali keruangan, aku bertanya-tanya, ada apakah gerangan kepsek ingin bertemu denganku? I really have no idea.
Aku masuk kembali ke ruangan guru masih dengan tampang bingung ketika ada suara yang menyapaku.
“Apa kabarnya, Mitha? Liburan kemana?”
Ternyata Bu Lina yang menyapaku. She’s one of the English teachers here. Aku cukup dekat dengannya karena dia termasuk tipe orang yang enak diajak ngorol, share cara-cara mengajar atau kejadian-kejadian lucu dikelas. Pagi itu Bu Lina terlihat manis dengan seragam PNS-nya dan jilbab warna hijau lumutnya.
“Eh, ibu.. Udah datang toh?” jawabku sambil menyalaminya dan cipika-cipiki sedikit.
“Liburan dirumah aja, Bu. Enggak kemana-mana. Tugas kuliah ku juga banyak dan emang kuliah juga kan lagi gak libur. Ibu gimana liburannya?” lanjutku lagi.
“Sama aja kalo gitu, Tha. Dirumah aja ngurus suami ngurus anak. Apalagi Naila sekarang udah mulai pintar merangkak jadi musti kasih perhatian ekstra..”
Aku tersenyum.
“Lagi lucu-lucunya pasti, Bu ya… Oh ya, Bu Mila udah datang Bu?”
Bu Mila juga mengajar Bahasa Inggris disekolah ini. Aku cukup dekat juga dengan beliau.
“Kayaknya sih belum, mungkin dia nganterin anaknya dulu ke sekolah. Oh ya, Mitha udah ada ketemu ama Kepsek belum? Udah ada dikasih tau belum?
“Dikasih tau apa, Bu?”
“Lho, emangnya kamu belum tau?”
“Tau apa, Bu?”
“Mitha kan katanya tahun ajaran ini gak dikasih jam ngajar dulu…”
Glek. Aku menelan ludah karena kaget. Sumpah.
“Saya gak ada dikasih tau apa-apa mengenai ini, Bu. Emangnya ibu dapat info darimana?”
Perasaanku jadi gak enak. Sungguh, aku gak ada dapat firasat apa-apa kalau pagi ini aku akan mendapat berita yang sama sekali gak aku duga sebelumnya. Siapa juga coba yang ada kepikiran bakalan didepak kalo kamu termasuk guru yang disukai para siswa??
”Saya udah dapat berita ini sebulan yang lalu, sebelum liburan sekolah. Ibu Wakakurikulum yang kasih tau saya... karena udah lebih dari sebulan, saya kira Mitha udah dikasih tau.”jelas Bu Lina.
”Belum ada yang kasih tau saya mengenai ini, Bu...”
I feel so powerless. Ada apa ini? What have I done in the previous semester that I get dumped now? Kupaksa otakku untuk mengingat-ingat apa yang sudah terjadi disemester lalu. Lama aku termenung sampai akhirnya otakku mengirimkan signal akan sebuah ingatan yang terjadi sekitar 3 bulan yang lalu.
Kala itu aku diminta langsung oleh Kepsek untuk membantu sekolah agar semua siswa kelas III bisa lulus UN dengan cara aku mengerjakan soal ujian Bahasa Inggris yang kemudian jawaban-jawabannya dikirimkan ke siswa melalui pesan singkat (es-em-es). Tapi kemudian aku menolak dengan alasan itu sangat jauh dari prinsipku dan pasti akan ada pertanggungjawabanku dengan Tuhan-ku karena sudah jelas itu dosa dan yang terpenting juga, resikonya tinggi sekali apabila aku melakukan itu. Ada banyak polisi dan intel yang berkeliaran disekolah dan sudah cukup banyak kejadian dimana ada guru yang tertangkap basah sedang mengerjakan soal-soal UN dan hukumannya juga tidak ringan. Bahkan terancam dipenjara! So, instead of saying ’yes’, I challenged her by asking whether she will help me out if there is some bad things happen to me or not. Apakah dia tidak akan cuci tangan dalam hal ini? Hanya pernyataan kesediaanya yang kala itu aku pinta. Tapi dia tidak meng-iya-kan, tidak juga berkata ’tidak’. Dia hanya marah. Got extremely upset. Dan semenjak itu juga aku merasakan ada treatment yang beda terhadapku dari guru-guru lain yang cukup ’pro’ ke Kepsek.
Aku kira masalahnya akan berhenti disitu. Tapi ternyata tidak. Aku tetap dihujat hingga menjelang akhir semester. Bahkan secara terang-terangan aku disindir oleh Kepsek pada satu momen formal; rapat guru dan pejabat sekolah. Tapi aku bergeming. Aku tetap teguh pada prinsip dan kepercayaanku saat itu. No regret, I said to myself, since I believe with my heart that I’ve done the right thing. I’ve got support from another teacher who haven’t had their eyes blind of the truth anyway.
Bahkan ada satu kesempatan dimana aku tidak bisa menghadiri rapat karena aku ada kelas dan sedang menghadapi ujian (selain mengajar, aku juga sambilan kuliah. Taking my S1 degree). Lagi-lagi, di forum se-resmi itu, aku dihujat. Bahwa aku tidak bertanggung jawab. Aku pemalas. Aku ini. Aku itu. Tapi aku tetap bergeming. Semua karena keyakinanku akan prinsipku.
Is it because of that ‘rebellious’ thing that I got dumped now? Or maybe there’s another reason? I’m clueless.
Aku tak tahu.
Tepat pada saat aku sedang termenung begitu, ku dengar suara Bu Deni memanggilku dan mengatakan bahwa Kepsek sudah datang dan ingin bertemu denganku.
Aku mengatakan pada diriku sendiri sepanjang perjalanan dari ruang guru menuju ruang Kepsek bahwa aku kuat. Aku tidak akan menangis. Aku tidak akan menunjukkan kesedihanku walau sesungguhnya aku sedih sekali sampai mau mati. Kakiku terasa kebas, kaku, tak sanggup berjalan dan membawa tubuhku ke ruang Kepsek. Rasanya suasana hatiku yang tadi pagi begitu cerah kini serasa ada kabut tebal yang menggantung disana. But I’ve got to see her! Aku ingin mendengar langsung dengan telingaku penjelasan atau alasan yang akan diberikan Kepsek kepadaku.
Maka kulangkahkan kakiku memasuki ruang Kepsek. Sedang ada tamu rupanya. Jadi aku duduk saja sambil menunggu. Dan saat tamu tadi telah pergi...
”Bu Mitha. Apa kabar? Gimana liburannya?” sapa Bu Kepsek sambil menjabat tanganku. Manis sekali.
”Alhamdulillah baik, Bu.”
”Agak gemukan nih keliatannya...”
Okey, basa-basi lagi.
”Iya, dirumah aja soalnya. Gak ada jalan-jalan keluar.” jawabku seadanya.
”Gini lho, Bu....”
Ok, here comes Mitha. You’ve got to be strong.
“Sekolah kita kan kedatangan 2 orang guru Bahasa Inggris baru.. dan mereka kan sudah PNS. Sehingga, untuk jumlah jam mengajar, mereka harus lebih di utamakan. Kan ribet ntar kalo dari ’atas’ (pemerintah maksudnya) mereka dapat laporan bahwa negara menggaji orang yang tidak sungguh-sungguh bekerja dan mengabdi pada negara karena tidak mengajar? Apa kata dunia? Iya kan? Dan oleh karena itu pula, menyesal sekali saya harus mengatakan ini, ehm... bahwa untuk semester ini, mungkin Bu Mitha belum kita kasih jam mengajar dulu. Alasannya ya karena itu tadi. Mohon dimaklumi ya! Tapi nanti saya akan tetap mengusahakan agar Bu Mitha bisa mengajar les atau di program Community College kita (sekolah ini juga menyelenggarakan program yang setara dengan Diploma 1). Dan untuk jalan menuju pengangkatan PNS juga akan tetap saya usahakan. Pokonya Bu Mitha tenang aja...” jelas Bu Kepsek panjang lebar.
Aku tidak marah. Sungguh. Aku hanya kecewa. Kecewa karena alasan bodoh dan tidak masuk diakal yang diberikan oleh Kepsek untuk menyingkirkanku dari sekolah ini. What a strange yet funny reason she gave yang seolah-olah aku ini dianggap anak kecil yang tidak tahun apa-apa. Apa dia tidak punya alasan lain yang lebih masuk diakal?
Seingatku, 2 orang guru baru tersebut sudah mengajar dari semester yang lalu dimana pada saat itu aku masih tetap punya 15 jam mengajar dalam seminggu dan mereka juga punya sekian banyak jam mengajar disekolah ini. Lalu mengapa disemester ini mereka dapat jam mengajar dan aku tidak? Kalaupun dengan alasan mereka yang telah PNS dan aku masih guru honor biasa sehingga mereka harus lebih diutamakan jam mengajarnya, mengapa aku harus benar-benar tidak diberi jam mengajar barang 1 jam saja?! Mengapa harus benar-benar tidak diberi jam mengajar sama sekali? Not that I can’t accept me being dumped. It’s the reason that I just can’t believe a master-degree-gradute like her would have said to me. Can’t you give me some more logically make sense reasons?
Aku tersenyum. Sambil kutatap lekat-lekat sang Kepsek, aku berkata, ” Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak karena Ibu sudah kasih saya kesempatan untuk mengajar di sekolah ini walaupun sejujurnya saya masih sangat ingin berada disekolah ini dan mengajar murid-murid saya. Tapi kalau memang begitu keadaannya, apa boleh buat. Saya bisa bilang apa. Hanya Terima Kasih yang bisa saya ucapkan sekarang.”
Airmataku sudah akan menggenang rasanya. Tapi ku tahan sebisanya agar airmataku tidak tumpah saat itu. Badanku gemetar karena menahan emosi. Marah, sedih, kesal, kecewa. Ingin rasanya saat itu ku lemparkan vas bunga yang ada didepanku kearahnya sambil ku maki habis-habisan dia. Tapi aku tidak melakukannya karena itu berarti aku sama bodoh dan tidak berakalnya seperti dia.
Aku berdiri (setelah dengan sangat bersusah payah karena kakiku bergetar hebat!) sambil mengulurkan tanganku yang lalu disambut oleh Kepsek. Kami berjabat tangan. Aku jabat tangannya dengan erat. Terlalu erat malah sepertinya. Melalui jabatan tangan itu aku ingin mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja. Kalian tidak akan bisa menyakitiku hanya dengan kejadian ini.
Sekali lagi aku tersenyum. Lalu dengan suara yang tegas, aku berkata lagi, ”Sekali lagi Terima Kasih, Bu. Semoga Ibu mendapat balasan atas apa yang sudah Ibu lakukan kepada saya selama ini.” Entah dia menangkap maksud omonganku atau tidak karena dia balas balik berkata, ”Sama-sama, Bu Mitha. Saya juga berterima kasih karena selama setahun ini sudah membantu anak-anak didik di sekolah ini. Mudah-mudahan tahun ajaran depan Bu Mitha bisa disini lagi dan seperti janji saya tadi, saya akan tetap usahakan Ibu untuk mengajar diprogram CC kita. Nanti bisalah kita usahakan cari-cari celahnya. Ibu tinggalkan saja nomor handphone-nya disini. Nanti biar kita hubungi. Semoga sukses ya..”
Aku mengangguk dan langsung melangkah keluar ruangan yang saat itu kurasakan begitu menyesakkan.
Tuhan, airmata ini dari tadi sudah siap untuk meluncur keluar dari mataku. Ku mohon jangan sekarang. Aku masih harus menemui guru-guru yang lain untuk mengucapkan selamat jalan. Dan siswa-siswaku. Tapi tunggu, apa yang harus kukatakan pada mereka? Should I tell them, Hallo semua, Miss gak ngajar kalian lagi ditahun ajaran ini karena Kepsek mendepak saya karena saya membangkang perkataannya yang menurut saya memang perkataannya tidak seharusnya saya ikuti? Atau mungkin aku harus berkata, Miss minta maaf ya kalo selama mengajar kalian saya suka marah-marah (kayaknya jarang deh..). saya mau pamitan karena saya sudah tidak mengajar disini lagi tahun ajaran ini. Atau kalian mau tetap belajar sama saya? Ya udah, kita buat sekolah sendiri aja gimana? (Emang ada yang mau, gitu?)
Hold you tears, sob, I said to myself. Dengan langkah terseok-seok (rada hiperbolis kalo yang ini) aku akhirnya berhasil sampai di ruang majelis guru lagi yang begitu aku sampai disana aku langsung ditarik Bu Lina ke mejanya dan duduk dihadapannya plus disambut seberondong pertanyaan.
”Gimana, Tha? Apa yang dibilang Kepsek ke kamu? Kamu benar-benar gak dikasih jam ngajar tahun ini?”
Lagi-lagi aku berusaha tersenyum. Senyumkan ibadah.
”Iya, Bu. Persis seperti yang Ibu bilang sama saya tadi pagi. Hanya saja, alasannya yang masih belum bisa saya terima.”
”Memangnya Kepsek kasih alasan apa ke kamu?” tanya Bu Lina lagi
Lalu aku menceritakan pada Bu Lina tentang apa-apa yang diucapkan oleh Kepsek kepadaku beberapa menit yang lalu, tentang apa yang kurasakan saat ini bahwa aku tidak marah, aku hanya kecewa dan bingung.
Bu Lina menepuk lembut bahuku dan berusaha menguatkanku dengan berkata, ”Sabar, Tha. Selama kamu yakin kamu telah melakukan hal yang benar, jangan takut, rezeki akan selalu berpihak ke kamu. Saya tahu persis bagaimana kejadian waktu kamu menolak untuk mengerjakan soal UN Bahasa Inggris beberapa bulan yang lalu. Karena dulu saya juga pernah diminta begitu dan saya menolak dan kita punya prinsip yang sama dalam hal ini. Namun Kepsek tidak bisa mendepak saya begitu saja karena status saya yang sudah PNS. Mitha, kamu tuh punya potensi yang besar. Kamu punya kemampuan. Saya yakin, begitu kamu keluar dari sini, kamu akan langsung mendapat pekerjaan yang baru. Saya yakin itu. Sekarang, all you have to do is be strong and give your best smile to them.”
I feel a bit better afterwards. Bu Lina memang sudah seperti kakakku sendiri karena dia begitu dewasa saat aku curhat atau sekedar meminta sarannya mengenai hal apapun dan umur kami juga terpaut cukup jauh.
”Makasih ya, Bu. I’m gonna miss you. Saya harus pulang dulu sekarang. Tapi sebelumnya saya mau pamitan dulu sama guru-guru disini.” jawabku.
Bu Lina mengangguk sambil tetap memberikan tatapan menguatkan buatku.
Aku berjalan berkeliling ruangan tersebut sambil menyalami guru-guru yang ada disitu. Minta maaf kalo ada salah dan memberikan senyum terbaikku seperti yang diucapkan Bu Lina. Semua guru yang ku jabat tangannya dan ucapkan perpisahan bingung. Mereka tidak mengerti kenapa aku sampai mengucapkan perpisahan. Mereka semua ingin tahu alasan kenapa aku sampai tidak mengajar lagi di sekolah ini. Aku cuma tersenyum dan menggelengkan kepala saat mereka bertanya begitu. Biarlah nanti mereka tahu dengan sendirinya saat berita ini menyebar ke seantero sekolah. Sekolah ini lebih cepat dari internet dalam hal menyebarkan berita-berita terhangat. Aku tidak peduli kalaupun nanti berita yang akan mereka dapatkan adalah berita versi Kepsek atau versiku. I don’t give a shit about it anymore.
Aku membereskan mejaku dan membawa buku-buku dan barang-barangku yang lainnya dalam satu kantong plastik besar. Ku tatap sekali lagi ruangan yang sudah ku tempati selama setahun ini. I’m gonna miss this place. Dan bangku yang ku duduki ini. Belum tentu di tempat baru nanti (If I could find a new one...) aku akan menemukan bangku yang bisa bikin pantatku panas setiap kali pantatku terjerembab jatuh.
Aku melangkah keluar ruangan yang diikuti tatapan iba dan simpati dari guru-guru yang lain. Tidak. Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu, jeritku dalam hati. Tatapan seperti itu hanya akan membuatku tambah lemah dan sedih. Give me smiles instead. So I can be strong. As strong as a bull who’s ready to fight a matador.
Sambil berjalan kearah parkiran, aku menatap seluruh bagian gedung sekolah yang akan kutinggalkan ini. Dan mataku kemudian tertuju pada ruang SAC (Self Access Center) yang selama 6 bulan belakangan ku kelola agar semakin banyak siswa yang tertarik belajar Bahasa Inggris. Aku sering memakai ruang tersebut pada saat aku mengajar siswa-siswaku atau apabila ada kelas yang pelajarannya kosong. We had listening practice, speaking, watching movies, atau hanya sekedar bermain Scrabble. Hhhhh... Aku menarik nafas panjang.
”Good Morning, Miss! How are you?”
Aku kaget dan tidak menyadari bahwa ada 2 orang siswaku; Helen dan Indah, yang sedari tadi berdiri dihadapanku. Namun karena pikiranku sedang tidak ditempat dan pandanganku tertuju ke ruangan SAC, butuh beberapa detik untukku menjawab greeting mereka.
”Hi, I’m okay, thank you! Gimana liburannya? Eh, kok kalian udah disekolah? Kan ini belum jadwalnya kalian masuk?” Aku berusaha terdengar seceria mungkin.
”Kita lagi piket hotel, Miss. Males banget deh. Miss, tahun ajaran ini Miss masih ngajar kita kan? Jangan ngajar kelas yang lain ya, Miss?” jawab Indah.
Ini nih.. Aku bingung harus bilang apa.
”Ehm, gimana ya... Kayaknya saya gak bisa ngajar kalian dulu tahun ajaran ini..” jawabku dengan nada bingung.
”Kenapa Miss?” tanya Helen dan Indah berbarengan.
”Gimana ya mau ngomongnya. Rada ribet sih. Yah, intinya tahun ajaran ini saya gak ngajar dulu disini. Hopefully, tahun depan udah bisa balik ngajar kalian lagi..” Walaupun aku sendiri sebenarnya gak yakin dengan perkataan ku tadi.
”Yah, Miss.... Trus kita gimana? Siapa yang ntar ganttin Miss ngajarnya? Kita udah nyaman banget diajar sama Miss. Jangan berhenti dong, Miss...” pinta Helen yang langsung diikuti anggukan kepala Indah.
Aku tersenyum lalu berkata, ”Semua guru sama aja kok... mereka semua niatnya mau bikin pintar semua anak didiknya. Ibu Lina atau Ibu Mila juga enak kok orangnya. Mudah-mudahan ntar pengganti Miss salah satu dari mereka. Kalian tetap semangat ya? Jangan males-males. Inget, budayakan bertanya. Kalo masih belum paham atau bingung, jangan ragu untuk bertanya sama gurunya, ok?”
Ya, dari pertama kali aku mengajar mereka tahun lalu, dan di semua kelas yang aku masuki, aku selalu menanamkan beberapa prinsip atau mendoktrin mereka dengan budaya belajar yang menurutku bisa membantu mereka dalam belajar. Diantaranya ya itu tadi, Budayakan Bertanya. Menurutku, itu adalah salah satu kelemahan pendidikan di negeri ini dimana siswa kita jarang sekali yang mau bertanya pada gurunya apabila masih ada materi pelajaran yang belum mereka pahami. Mereka lebih memilih diam dan menerima mentah-mentah semua yang diberikan gurunya di dalam kelas, entah itu betul atau salah. Hey, guru kan juga manusia, jadi pasti ada khilafnya, dan banyak juga kok guru diluar sana yang sok tau yang daripada malu tidak mampu menjawab pertanyaan siswanya,mereka lebih memilih menjawab pertanyaan siswa meskipun itu salah. Balik ke persoalan Budayakan Bertanya tadi, aku ingat betul di minggu-minggu pertama aku mengajar di sekolah ini, setiap kali aku selesai menyajikan materi dan lalu aku bertanya, ’So, up to this point, any question class, ada pertanyaan tidak? Atau ada yang masih belum paham?’ Siswa-siswaku hanya diam. Menatap lurus kedepan. Ada yang memilih menunduk atau menyibukkan diri dengan pura-pura mencatat. Seringkali juga aku melihat tatapan dari siswa ku yang sepertinya dia ingin bertanya, namun lalu dia urung mungkin karena belum terbiasa, malu, atau takut ditertawakan temannya. Namun aku tidak menyerah. Setiap pertemuan aku selalu menawarkan mereka untuk bertanya kepadaku jika masih ada materi yang belum mereka pahami. Dan setelah kurang lebih 2 bulan, aku mulai melihat perubahan. Satu atau dua orang mulai berani untuk bertanya. Bahkan terkadang tanpa aku minta, mereka langsung angkat tangan dan mengajukan pertanyaan. Imbasnya tentu besar. Bukan hanya mereka jadi lebih aktif dikelas, hubungan ku dengan siswa-siswaku jadi semakin lebih akrab dan dekat. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang curhat tentang masalah pribadinya kepadaku. Itu semua karena mereka percaya padaku dan aku juga berusaha untuk selalu membangun hubungan baik dengan mereka. Dan sekarang, aku tidak lagi bisa melakukan itu... (Sedih lagi deh...)
”Tapi janji ya, Miss... Tahun depan balik ngajar kesini lagi ya?” pinta Indah.
”Wah, saya gak bisa janji. But, I’ll try. So, tetap semangat ya!”
”Iya, Miss. Makasih ya Miss. Oh iya, Miss gak ganti nomor hape kan? Ntar kita sms-an lagi ya!”
”Insya Allah gak ganti. Take care ya! Got to go now. Salam buat anak-anak yang lain ya. See you...” jawabku sambil melangkah meninggalkan mereka.
”See you, Miss...!!” jawab Helen dan Indah sambil melambaikan tangannya kearahku.
Siswa-siswaku... Aku pasti bakalan kangen banget sama mereka. Sebulan libur kemaren aja aku sudah kangen banget pengen ketemu mereka dikelas dan berbagi ilmu sama mereka. Apalagi setahun? Atau malah untuk seterusnya aku gak akan pernah lagi bisa mengajar mereka? Gosh.
Suasana sekolah sudah mulai ramai dengan para guru yang telah berdatangan, pegawai Tata Usaha dan pegawai dari Diknas. Untunglah mereka tidak terlalu perhatian dengan aku yang mulai berjalan kearah motor kreditanku untuk akhirnya berlalu pergi (Anyway, emang siapa yang hari gini masih peduli sama kamu, Tha?). Karena jika ada satu orang lagi saja yang menanyakan kenapa aku tidak lagi mengajar di sekolah ini, aku tidak yakin aku mampu menahan airmataku lagi.
Aku hidupkan mesin motorku dan mulai mengendarainya keluar gerbang.
Aku tidak tahu bagaimana akhirnya aku bisa sampai kerumah dengan selamat karena selama perjalanan pikiranku rasanya tidak berada dijasadku. Dia sudah terbang entah kemana. Aku begitu bingung. Kalut. Pusing memikirkan diriku yang sekarang jelas-jelas unemployeed.
Satu lagi kekecewaanku terhadap Kepsek. Dia sudah merencanakan untuk mendepakku dari sebulan yang lalu. Bahkan sebelum libur akhir tahun ajaran dimulai! Tapi kenapa dia baru memberitahuku sekarang? Dihari pertama masuk sekolah? Kenapa tidak dari sebulan yang lalu? Apa dia sengaja melakukan itu? Agar aku kelabakan karena mendadak pengangguran? Kenapa dia baru memberitahuku sekarang? Saat pikiranku sudah dipenuhi dengan harapan-harapan dan semangat baru untuk mengajar siswa-siswaku. Saat aku sama sekali tidak punya cadangan pekerjaan yang lain selain mengajar di sekolah ini. Apa dia sengaja? Seandaikan aku tahu lebih awal, tentu aku tidak akan se-stucked dan se-down ini. Dan aku juga pasti punya cukup waktu untuk mencari pekerjaan yang baru. Dan sekarang? Tahun ajaran baru sudah akan dimulai. Memangnya sekolah mana yang masih akan menerima guru baru semntara mereka saat ini justru malah sudah disibukkan dengan menyiapkan perangkat pembelajaran dan mengatur jadwal pelajaran? Sekolah mana yang akan menerimaku? Kemana aku harus mencari pekerjaan baru? Lalu, kalau aku tidak juga menemukan pekerjaan yang baru, bagaimana nasib motor kreditanku? Aku tidak akan mampu membayar cicilan perbulannya. Lalu bagaimana dengan orang tuaku? Bagaimana aku akan membantu mereka untuk biaya hidup sehari-hari? Lalu bagaimana dengan kuliahku? Meskipun aku mendapat beasiswa, tetap saja ada biaya tak terduga yang harus aku keluarkan. Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana??!!
Kepalaku berdenyut karena menahan sakit. Airmataku sudah tumpah dari pertama aku men-starter motorku sewaktu masih di sekolah tadi. Dan sekarang aku sudah kembali berdiri didepan rumahku. Belum ada 3 jam aku pamit dengan Ibuku tadi pagi untuk pergi mengajar. Dan sekarang aku sudah di rumah lagi. Apa yang akan ku katakan pada ibuku? Even if I know what to tell, how should I tell her?
Ku pandangi rumahku tercinta yang hanya terbuat dari papan Kelukup. Rumahku (bukan rumahku sebenarnya karena kami hanya mengontrak disini) sederhana. Sangat sederhana malah. Hanya lantainya yang terbuat dari batu, selebihnya dari papan. (Ya tentu saja atapnya dari seng dan bukannya papan). Hanya ada 2 kamar tidur, 1 ruang tamu yang tidak ada kursi tamunya, 1 ruang keluarga yang sekaligus didaulat jadi ruang makan, 1 dapur kecil dan 1 kamar mandi bersama. Tapi aku bahagia disini. Mungkin ini bukan jenis rumah idaman, tapi ini adalah home sweet home buatku.
Kulangkahkan kakiku memasuki rumah. Lengang. Ibuku mungkin masih diwarung belanja untuk lauk hari ini. Adikku Dio mungkin masih tidur karena dia masuk sekolah siang. Adikku yang paling kecil juga pasti masih di sekolahnya. Dan ayahku sedang bekerja.
Aku masuk kedalam kamar Ibuku (Ya. Kamar ayah dan ibuku karena aku tidak punya kamar sendiri disini. Jika malam, aku tidur dengan membentang sofa pemberian tetanggaku yang bisa disulap menjadi tempat tidur diruang keluarga yang berdekatan langsung dengan meja makan. Mungkin tidak terlalu empuk, tapi lumayan dari pada tidur dilantai) dan langsung menutup pintunya.
Aku menangis. Aku biarkan emosiku keluar agar aku bisa lebih lega. Aku berteriak sambil menutup mukaku dengan bantal sehingga teriakanku tidak akan terdengar. Aku berteriak sekuat aku bisa hingga tenggorokanku terasa perih. Aku sedih. Aku kecewa. Aku putus asa. Aku tidak tahu harus melakukan apa. I’m stucked and sad to death.
Yang ada dipikiranku saat ini adalah bagaimana aku akan mengatakan kepada orang tuaku bahwa aku sekarang pengangguran sementara kami sedang sangat membutuhkan uang untuk biaya sekolah adik-adikku, bayar kontrakan rumah, kreditan motor, rekening listrik dan air. Bagaimana aku akan melanjutkan kuliahku. Bagaimana aku akan melanjutkan hidupku. Terlalu banyak bagaimana kurasa. Tapi itulah yang ada dipikiranku saat ini.
Sambil berbaring dan setelah puas menangis, akhirnya aku hanya bisa terdiam dan termenung sambil menatap langit-langit kamar yang dek-nya sudah hampir mau lepas karena terlalu sering kejatuhan air saat hujan karena atap seng-nya sudah banyak yang bocor.
Kepalaku kosong. Hatiku kosong. Aku kosong.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa? Apa? Apa? Somebody tell me, what should I do now? I’m so shocked with the news that my brain can barely cry. Somebody... please....
................................................
................................................
Kamu punya kemampuan. You’ve got the skill, silly girl. And you’ve faced a worse situation than now. You’ve faced monsters in the past dan halangan yang sekarang ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang sudah kamu lewati untuk mencapai apa yang kamu punya sekarang.
Aku merasa ada suara yang berkata-kata dikepalaku. Suara itu mencoba membawaku keingatanku akan masa-masa sulit yang amat teramat sulit yang sudah kulalui beberapa tahun lalu. Dan ya, suara itu benar. Halangan ini belum ada apa-apanya dibandingkan masa-masa sulit itu. It’s just like a piece of cake. Dan karena suara itu juga, ingatanku akhirnya terbawa ke masa 6 tahun lalu saat aku dengan terseok-seok mencoba menggapai mimpiku....
***
1st Chapter oleh Pramitha Sari
No comments:
Post a Comment