Monday, March 23, 2009

Sita + Oma Stella

-S A T U-


Dari pagi hari, semenjak baru bangun dari tidurnya dan membuka mata, Sita sudah merasakan adanya firasat yang aneh. Firasat yang Sita tidak tahu dari mana datangnya. Firasat yang mengatakan akan terjadi sesuatu pada hari ini. Namun Sita tidak begitu mempedulikannya. Ia pun bergegas menyiapkan diri untuk segera berangkat ke sekolah.

Setibanya di sekolah, Sita bahkan sudah melupakan tentang firasat yang datang menghampirinya tadi pagi. Pelajaran-pelajaran yang menuntut konsentrasi, bertemu dan bercanda dengan teman-temanlah yang menjadi penyebabnya. Firasat yang tadi pagi sempat muncul seolah-olah sudah menguap tidak berbekas.

Sita baru ingat tentang firasat itu lagi saat pulang sekolah. Saat dilihatnya ibunya duduk menangis di ruang tamu, Sita langsung tahu ada sesuatu yang telah terjadi. Sita pun bergegas menghampiri ibunya. Melihat Sita datang, ibu langsung mendongak dan memeluk putri tunggalnya itu.

“Ibu kenapa menangis?” tanya Sita. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan tanda tanya mengenai apa yang terjadi.

“Oma Stella,” jawab ibu dengan suara pelan sambil berusaha menahan tangisnya. “Oma Stella masuk rumah sakit.”

Hati Sita seakan menciut mendengar kabar itu. Oma Stella masuk rumah sakit. Oma kesayangannya.

“Kenapa dengan Oma Stella, bu?” tanya Sita langsung. “Oma Stella sakit apa?”

“Ibu juga baru saja mendapat kabar dari Om Anwar,” jawab ibu. Om Anwar adalah suami Tante Sisil, adik kandung ibu. “Katanya Oma Stella terkena stroke. Ada perdarahan di bagian otaknya. Sekarang Oma Stella sudah ada di rumah sakit.”

“Kalau begitu, kita juga harus ke rumah sakit sekarang, bu,” kata Sita. “Sita juga mau melihat bagaimana keadaan Oma Stella sekarang.”

Ibu mengangguk setuju mendengar perkataan Sita. Dilepaskan pelukannya pada Sita kemudian tangannya menghapus bekas lelehan air mata pada pipinya. Rupanya ibu sudah mampu mengendalikan emosinya dan berhenti menangis.

“Ibu memang berencana mengajakamu kesana,” kata Ibu. “tetapi kamu harus berganti pakaian dulu. Terus makan siang bersama ibu. Itu sudah ibu siapkan.”

Sita langsung bergerak cepat. Ia segera berganti pakaian dan makan siang bersama ibu. Makanan yang sebenarnya enak itu, kali ini hanya terasa hambar dan seakan hanya menumpang lewat di dalam mulut Sita untuk kemudian segera ditelannya. Pikiran Sita sudah terlanjur dipenuhi oleh Oma Stella.

Setelah makan siang, Sita dan ibunya bergegas ke rumah sakit. Sesampainya di sana ternyata sudah ada Tante Sisil beserta Om Anwar dan dua anak kembar mereka, Doni dan Dino, yang terlihat mengantuk di pangkuan ayah mereka. Mereka semua duduk menunggu di luar suatu ruangan yang menurut perkiraan Sita merupakan kamar tempat Oma Stella dirawat. Wajah mereka tampak menunjukkan ekspresi yang sama. Ekspresi sedih dan takut. Takut kehilangan orang yang dikasihi.

Begitu melihat Sita dan ibunya, tante Sisil segera bangun dari duduknya dan datang mendekat. Sita dapat melihat dengan jelas bekas menangis pada kelopak mata Tante Sisil yang agak membengkak. Matanya sendiri masih berwarna kemerahan.

“Ini salahku, kak,” kata Tante Sisil kepada ibu. Suaranya terdengar serak, seperti akan menangis lagi. “Seharusnya aku tidak membiarkan Tante Stella ke kamar mandi sendirian setelah dia bilang kepalanya agak pusing. Tetapi dia bersikeras tidak mau ditemani.”

Tante Sisil dan ibu memang memanggil Oma Stella dengan sebutan “tante” karena memang mereka berdua setingkat anak bagi Oma Stella. Sedangkan Sita memanggilnya dengan sebutan “oma” karena Sita setingkat cucu bagi Oma Stella.

“Sudah, sudah, jangan menangis lagi. Ini bukan salah siapa-siapa” kata ibu berusaha menenangkan adiknya.”Bagaimana dengan keadaan tante Stella sekarang?”

“Tante Stella belum sadar juga,” jawab tante Sisil dengan suara lirih. “Menurut pengamatan dokter, kalau ia tidak sadar-sadar juga, bisa dikatakan ia sudah memasuki masa koma, tapi kita lihat saja perkembangannya nanti.”

Wajah ibu langsung memucat mendengarnya. Sita sendiri juga terkejut. Kabar ini tentulah bukan kabar baik. Mereka tidak menyangka kalau keadaan Oma Stella sudah sampai sejauh ini.
Ibu berjalan meninggalkan tante Sisil dan langsung menuju ke kamar tempat Oma Stella dirawat. Sita sendiri mengekor di belakang ibu. Sambil berjalan, Sita sempat memberi salam kepada Om Anwar dan Doni serta Dino dengan menganggukkan kepala yang dibalas dengan gerakan serupa.

Ketika sampai di depan pintu kamar tempat Oma Stella dirawat, kaki Sita mendadak berhenti. Sementara itu, ibunya sudah membuka pintu dan melangkah masuk mendekati ranjang tempat Oma Stella dirawat. Entah kenapa, Sita tidak mau masuk ke dalam kamar. Ia hanya berdiri mematung dan membiarkan pintu menutup tepat di depan hidungnya. Ada rasa enggan untuk masuk dan melihat bagaimana keadaan Oma Stella sekarang.

Dari bagian kaca yang tembus pandang pada pintu masuk, dilihatnya ibu sudah memegang tangan Oma Stella. Pandangannya pun beralih ke arah Oma Stella. Tampak selang pernapasan melintang di atas wajah Oma yang tampak berbeda. Sita tersentak. Merasa tak tahan, ia pun segera memalingkan wajahnya. Oma Stella sudah berubah. Sangat berubah. Dalam hatinya Sita bahkan sempat berucap bahwa yang sedang berbaring di dalam kamar itu bukanlah Oma Stella. Itu bukan Oma kesayangannya, jerit hatinya menolak kenyataan ini. Oma Stella yang dikenalnya adalah Oma yang selalu tersenyum dan tertawa; oma yang wajahnya tidak pernah lepas dari ekspresi penuh semangat hidup. Bukannya perempuan dengan ekspresi datar seperti terlihat pada wajah perempuan yang sedang terbaring di atas tempat tidur itu. Namun, sekeras apa pun hatinya menyangkal, Sita sadar inilah kenyataan yang sebenarnya terjadi.

Air mata Sita rasanya ingin tumpah saat mendapati keadaan Oma Stella yang terbaring tak berdaya seperti ini. Pelopak matanya terasa panas. Dengan pandangan yang semakin kabur, Sita berbalik dan memutuskan untuk menjauh dari tempat itu. Ia ingin menjauh dari ruangan ini sekaligus menjauh dari Oma Stella. Kakinya pun segera melangkah menyusuri lorong-lorong rumah sakit dengan cepat.

Akhirnya Sita menghentikan langkah tepat di depan toilet dan masuk ke dalamnya. Di dalam toilet, air mata Sita langsung tumpah tanpa bisa ditahannya lagi. Dadanya terasa begitu sesak. Benaknya dipenuhi bayangan Oma Stella yang barusan dilihatnya. Bayangan Oma Stella yang lemah dan tidak berdaya serta tidak mampu menyadari kehadiran orang-orang yang menyayanginya di sekelilingnya. Mengapa Oma Stella harus menderita seperti ini, tanya Sita dalam hati. Tiba-tiba saat ini dunia terasa amat tidak adil bagi Sita. Tidak adil juga bagi Oma Stella. Oma kesayangannya. Oma kesayangan semua orang yang pernah mengenalnya.
* * * * *

Oma Stella sebenarnya bukan nenek kandung Sita. Oma Stella adalah saudara perempuan dari nenek kandungnya. Sejak kakek dan nenk kandung Sita meninggal karena kecelakaan lalu lintas, kedua anak mereka yang saat itu masih kecil, yaitu ibu Sita dan adiknya, Sisil, diasuh oleh Oma Stella. Oma Stella sendiri pada saat itu sudah memilih untuk tidak berumah tangga. Ia lebih senang kalau masa mudanya dihabiskan dengan “berpetualang”; berjalan-jalan dan menetap di beberapa daerah di Indonesia. Namun demi rasa tanggung jawab dan kasih sayangnya terhadap kedua keponakannya yang masih membutuhkannya, Oma Stella dengan penuh kerelaan hati mengasuh kedua putri kakaknya.

Ibu sering bercerita kepada Sita tentang masa-masa saat dirinya dan Tante Sisil berada dalam pengasuhan Oma Stella. Menurut ibunya, walaupun dirinya dan Tante Sisil merasa sedih karena kehilangan kedua orang tua mereka secara tiba-tiba, mereka tidak pernah merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang. Itu semua karena kehadiran Oma Stella dalam hidup mereka. Oma Stella selalu berusaha menjadi orang tua yang baik bagi mereka. Perhatian dan kasih sayang Oma Stella dirasakan sangat tulus dan tanpa ada kesan terpaksa. Lebih daripada itu, Oma Stella rupanya bukan hanya mengambil alih peran orang tua. Ia juga menjadi teman yang baik bagi kedua gadis kecil anak kakaknya.

Ibu juga menceritakan bahwa ia dan Tante Sisil terbiasa untuk bercerita tentang masalah apa saja kepada Oma Stella. Dan akibat seringnya “berpetualang” dan banyaknya pengalaman hidup di tengah-tengah berbagai macam karakter orang dan budaya di berbagai daerah, pikiran Oma Stella seakan lebih terbuka terhadap semua hal. Tidak ada masalah yang dianggapnya terlalu aneh atau tabu untuk dibicarakan. Oma Stella juga tidak akan pernah memandang suatu masalah dengan cara biasa. Ia akan punya pandangan sendiri yang lain daripada yang lain. Bahkan bisa dibilang kalau pandangannya sedikit “unik” dan kadang terkesan sedikit seenaknya serta asal-asalan. Namun sebenarnya, masih menurut ibu juga, terdapat nilai-nilai kebijakan alami di dalamnya.

Sita masih ingat satu kisah menarik yang pernah diceritakan ibu tentang pandangan Oma Stella yang “unik” itu. Kisahnya sendiri sebenarnya tentang cinta pertama ibu, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai cinta monyet, cinta anak ingusan. Kisah itu terjadi pada waktu ibu kelas tiga SMP.

Suatu pagi, saat baru saja duduk di bangkunya, ibu menemukan sebuah surat beramplop warna biru muda diletakkan di dalam laci mejanya. Di bagian depan amplop tertulis nama ibu. Ibu langsung membolak-balikkan amplop itu sambil mencari dengan seksama nama pengirimnya. Hasilnya nihil. Tidak ada tertulis nama si pengirim.

Tanpa melihat isinya, ibu langsung menebak kalau amplop yang diterimanya ini berisi surat cinta. Sita sempat bertanya darimana ibu mengetahuinya padahal ibu belum membuka amplop itu dan membaca suratnya. Ibu hanya menjelaskan kalau pada waktu itu beberapa teman perempuan di kelasnya pernah mengalami hal yang sama. Jadi ibu pun merasa yakin dengan perkiraannya.

Hati ibu terus berdebar-debar sepanjang jam pelajaran di sekolah. Setiap beberapa saat sekali, ibu menyempatkan diri mengintip ke dalam tas sekolahnya hanya untuk melihat amplop berwarna biru muda itu. Ibu merasa benar-benar penasaran tentang isi surat. Namun ia tetap bertahan untuk tidak membuka surat itu. Ini merupakan surat cinta pertama yang diterima ibu dan untuk itu ibu merasa perlu memperlakukannya dengan sedikit berbeda. Supaya ada kesan yang tetap dikenang nantinya, begitulah kira-kira isi pikiran ibu.

Sesampainya di rumah sepulang dari sekolah, Oma Stella tentu saja heran mengamati tingkah laku keponakannya yang tidak seperti biasanya. Wajah ibu di mata Oma Stella tampak berseri-seri tidak jelas,. Kadang terlihat bersemu merah, kadang pula tampak malu-malu.

Oma Stella yakin ada suatu peristiwa yang terjadi pada keponakannya itu. Namun sesuai dengan prinsipnya yang selalu berusaha menghargai privasi seseorang, Oma Stella tidak memaksa ibu untuk bercerita. Ini juga salah satu hal lain yang disukai ibu dari Oma Stella. Bila ibu ada masalah, Oma Stella akan dengan sabar menunggu sampai ibu bersedia menceritakannya. Ia juga tidak akan keberatan kalau ternyata ibu malah ingin menyimpan dan ‘menikmati’ hal itu sendiri.

Pada malam harinya, ibu mendatangi Oma Stella yang sedang asyik menikmati bacaannya. Di tangannya ibu memegang amplop berwarna biru muda yang baru diterimanya pagi tadi. Melihat ibu dating mendekat, Oma Stella meletakkan buku yang sedang dibacanya di pangkuannya dan kemudian mempersilakan ibu untuk duduk di sampingnya. Dengan sabar didengarkannya ibu menceritakan peristiwa yang baru pertama kali dialaminya ini.

Selesai mendengarkan cerita ibu, Oma Stella bertanya akan diapakan surat itu oleh ibu. Ibu masih ingat kalau waktu itu ia menjawab ia tidak tahu akan diapakannya surat itu. Oma Stella kemudian bertanya lagi apakah ibu tidak merasa penasaran dengan isi dan terutama tentang siapa pengirim surat itu. Mendengar pertanyaan itu, wajah ibu memerah. Sebenarnya dalam hati ibu sudah merasa benar-benar penasaran dengan isi surat itu maupun si pengirimnya. Namun ibu merasa enggan membuka karena ibu tidak tahu harus bagaimana nantinya. Maksudnya, ibu jadi bertanya-tanya sendiri, setelah ia membuka amplop itu dan mengetahui isi serta pengirim surat itu, apa lagi yang harus dilakukannya selanjutnya?

Ketika mengutarakan hal itu pada Oma Stella, ibu mendapat jawaban yang masih diingatnya dengan baik sampai hari ini.

“Itu masalah gampang, sayang,” kata Oma Stella,”selanjutnya kamu hanya tinggal memutuskan, apakah kamu juga menyukainya atau tidak. Kalau kamu menyukainya, tante rasa ini sudah saatnya bagi kamu untuk menikmati indahnya masa remajamu. Tetapi ingat ya, walaupun kamu suka kamu jangan terburu-buru membalasnya. Biarkan dia menunggu dan merasa sedikit penasaran, hihihi. Namun kalau kamu tidak suka, kamu harus mengutarakannya dengan sopan. Tidak baik membiarkan orang lain berharap terlalu banyak.”

Dan begitulah kejadiannya. Hanya sesederhana itu. Ibu mendapat ijin untuk berpacaran pada usianya yang kelima belas tahun. Usia yang mungkin bagi beberapa orang tua masih dianggap terlalu muda untuk menjalin kisah kasih percintaan. Namun tentu saja Oma Stella punya pandangannya sendiri dalam hal ini.

Lama setelah kejadian itu, ibu pernah bertanya kepada Oma Stella mengapa ia begitu mudah memberikan ijin anak perempuan berusia lima belas tahun untuk berpacaran.

“Sebenarnya tante juga merasa khawatir untuk memberikanmu ijin berpacaran pada usia lima belas tahun,” jawab Oma Stella sambil tersenyum, “tetapi setelah dipikir-pikir, daripada waktu itu tante melarang dan tidak memperbolehkan tetapi kamu malah nekat dan pacaran sembunyi-sembunyi, tante lebih memilih untuk memberimu kebebasan. Tentu saja kebebasan yang disertai tanggung jawab dan keterbukaan. Apalagi kamu terlihat bahagia dan malah jadi semakin rajin belajar. Tante juga ikut senang”

Ibu pun membalas senyum Oma Stella. Sesaat kemudian ia memeluk Oma Stella erat-erat. Dalam hatinya, ibu mengakui bahwa tantenya yang satu ini rupanya bisa juga berpikir dan bertindak bijaksana, walaupun terkadang “keluar jalur” dan mendahului jamannya. Tantenya ini memang “unik”. Sita yang mendengar cerita itu pun sependapat dengan ibunya.

* * * * *


1st Chapter oleh Hendricus Ledu Gere

Setelah ibu dan tante Sisil menikah dan hidup berkeluarga, Oma Stella tinggal sendirian di rumahnya. Sebenarnya baik ibu Sita maupun tante Sisil sudah membujuk Oma Stella agar ia mau tinggal bersama salah satu dari mereka. Terutama mengingat usia Oma Stella yang sudah tidak muda lagi. Namun Oma Stella menolak. Ia lebih memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri. Untungnya rumah mereka semua berada di dalam satu kota yang sama. Jadi memudahkan untuk saling menjenguk. Oma Stella memang tidak pernah berhasil dibujuk untuk tinggal bersama salah satu dari keponakannya. Namun Oma Stella tidak mampu menolak ketika ibu bersama tante Sisil sepakat untuk mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Setidaknya ada orang yang bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah dan mengawasi keadaan Oma Stella.
Sebagai seorang nenek, walaupun bukanlah nenek kandung, bagi Sita serta si kembar Doni dan Dino, Oma Stella benar-benar merupakan tipe nenek yang sempurna. Semua cucunya mendapatkan limpahan kasih sayang, sama seperti yang pernah dan selalu diberikan kepada kedua keponakan yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri. Oma Stella selalu rajin mengunjungi dan menanyakan perkembangan semua cucunya lewat telepon. Ia jugalah yang paling repot kalau harus menyiapkan pesta ulang tahun untuk mereka. Tidak jarang pula ia mengajak cucu-cucunya untuk bersenang-senang dengan makan-makan di restoran atau menonton bioskop tanpa orang tua mereka. Mereka bisa puas bermanja pada Oma Stella. Tentu saja ketiga cucunya senang mendapat perlakuan seperti itu. Selain memang karena acaranya yang pasti menyenangkan, saat-saat bersama Oma Stella sendiri juga mengasyikan. Oma stella bukanlah tipe nenek seperti nenek-nenek kebanyakan. Bayangan orang tua yang terkesan ketinggalan jaman dan lemah karena sudah renta tidak nampak ada pada diri Oma Stella. Oma Stella tahu banyak hal yang sedang popular bagi cucu-cucunya. Dari cerita-cerita seperti Avatar dan Naruto yang amat digemari oleh Doni dan Dino, sampai nama aktor-aktor tampan dari serial drama korea yang amat dipuja-puja Sita. Sampai-sampai ketiga cucunya sepakat memberi sebutan “Oma Gaul” buat Oma Stella.
Bukan hanya itu, penampilan Oma Stella pun bisa dibilang “ajaib” bila dibandingkan nenek-nenek lainnya. Dengan penuh percaya diri, Oma Stella selalu menggunakan celana jeans untuk pakaian sehari-harinya maupun untuk pergi bersenang-senang bersama ketiga cucunya.
Tidak dipedulikannya usianya yang sudah tidak muda lahi. Ia juga tidak peduli dengan bagian bokong dan pinggulnya yang lumayan besar dan tercetak jelas setiap kali ia memakai celana jeans. Memang ukuran tubuh Oma Stella sendiri sudah tidak bisa dikatakan langsing. Sejujurnya bahkan agak gemuk. Namun jangan salah, ia bisa kesal kalau disebut gemuk. Oma Stella lebih suka disebut “montok”. Ia bahkan sedikit bangga dengan sebutan yang terakhir itu. Mengenai bagian bokong dan pinggulnya yang besar dan sering tercetak jelas dan mungkin bagi beberapa orang merasa untuk diperlihatkan, Oma Stella lagi-lagi mempunyai pandangan “unik” yang dikemukakannya kepada Sita.
“Kita ini adalah perempuan dan perempuan merupakan salah satu ciptaan Tuhan yang paling indah. Oleh karena itu makanya bagian ini harus tercetak jelas,” terang Oma Stella sambil menepuk pinggul dan bokongnya,”karena disinilah salah satu letak keindahan perempuan atau dengan kata lain di sinilah letak keseksian kita.”
Sita yang mendengarnya hanya bias tertawa. Apalagi saat mengatkannya, Oma Stella sengaja bergaya sedikit genit. Tidak lupa ia menambahkan aksen mengedipkan sebelah mata. Tawa Sita pun jadi semakin susah berhenti.
Sebagai cucu paling besar dan satu-satunya cucu perempuan, tentu saja Sita merasa dekat dengan Oma Stella. Apalagi ternyata prinsip Oma Stella dalam mengasuh cucunya sama dengan prinsip yang digunakannya saat ia mengasuh ibu Sita dan Tante Sisil. Oma Stella selalu berusaha menjadi teman dan bukan hanya menjadi nenek bagi Sita. Oleh sebab itu, Sita selalu merasa nyaman bercerita apa saja kepada Oma Stella. Tidak jarang pula Sita menginap di rumah Oma Stella. Bahkan sampai beberapa hari. Tentu saja dengan sepengetahuan dan seijin ibu. Kesempatan itu akan digunakan sebaik-baiknya oleh Sita untuk mendengarkan berbagai kisah “unik” Oma Stella atau hanya menjadi ajang curhat di antara mereka. Pokoknya bagi Sita, Oma Stella is the best dah, hihihi …
Ibu Sita tentu saja senang mengetahui putri tunggalnya itu dengan dengan tante yang sudah begitu hebat membesarkannya. Ia yakin Sita akan banyak memperoleh pelajaran “unik” dari Oma Stella seperti dirinya dulu. Dalam hati ibu Sita juga bersyukur bahwa dengan kehadiran Oma Stella. Sita mampu merelakan kepergian ayahnya yang meninggal karena sakit tujuh tahun lalu.
Ibu Sita masih ingat dengan jelas bagaimana keadaan putrinya itu saat ayahnya meninggal dunia. Sita sangat terpukul dan syok berat. Kejadian ini pulalah yang membuat dirinya mulai mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Ibu Sita sampai bingung menghadapinya. Ia sendiri waktu itu juga merasa sedih dan terpukul dengan kepergian suaminya. Namun ia ingat bahwa ia masih punya Sita yang harus dirawat dan disayangi.
Waktu itu ibu sampai kehabisan akal menghadapi Sita. Ia sudah berusaha mengerti semampunya, tetapi ia tidak berhasil juga menembus benteng yang sudah terlanjur dibangun Sita sebagai bentuk kesedihannya. Dalam kebingungannya itulah ibu meminta bantuan Oma Stella. Ibu tidak pernah tahu, entah bujukan apa yang dikatakan Oma Stella kepada Sita pada waktu itu, tetapi Oma Stella berhasil meyakinkan Sita untuk mengijinkannya masuk ke dalam kamarnya. Oma Stella juga bahkan diperbolehkan menyuapinya makan. Tentu saja ibu merasa lega. Karena khawatir dengan keadaan Sita ibu kemudian meminta kesediaan Oma Stella untuk tinggal menemani Sita sementara waktu sampai kedeihan SIta berkurang. Apalagi saat itu ibu sudah harus disibukkan dengan toko bunganya yang baru saja berkembang. Ibu takut Sita merasa terabaikan. Tentu saja Oma Stella tidak menolak. Sejak saat itulah Oma Stella dan Sita menjadi semakin akrab.
* * * * *

Sita menangis di toilet sampai dadanya terasa sedikit lega. Sebelum keluar, ia menyempatkan melihat wajahnya di cermin. Wajahnya terlihat kacau. Kelopak matanya terlihat bengkak dan sembab. Matanya sendiri terlihat merah. Bayangan wajahnya di cermin kini bisa dikatakan sama kacaunya dengan wajah tante Sisil yang dilihatnya saat baru tiba di rumah sakit tadi.
Tangannya langsung meraih keran dan membukanya. Air yang mengalir keluar digunakannya untuk membasuh wajahnya. Agak limayan, kata Sita dalam hati saat mengamati tampilan wajahnya di cermin setelah dibasuh. Kemudian tangannya bergerak merapikan rambutnya. Setelah dirasanya kalau penampilannya sudah tidak begitu kacau lagi, Sita pun kemudian melangkah keluar dari toilet. Ia harus kembali ke kamar tempat Oma Stella dirawat. Ia tidak mau membuat ibunya khawatir karena menghilang terlalu lama.
Setibanya di depan kamar Oma Stella, Sita mendapati ibunya sudah berada di luar kamar dan sedang duduk di luar kamar berbincang-bincang dengan tante Sisil.dari bagian kaca yang tembus pandang di pintu masuk, Sita sempat melihat ada perawat yang sedang memandikan Oma Stella. Ia pun bergerak mendekat kearah ibunya dan duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.
Ibu langsung menoleh begitu Sita dating duduk di sampingnya. Tatapan ibu terlihat cemas. Ia sudah menduga kalau Sita pasti merasa sedih mendapati keadaan Oma Stella yang berbaring sakit dan tidak berdaya. Namun ibu Sita tidak pernah mengira kalau reaksi Sita akan seperti ini. Sita bahkan tidak mau masuk ke dalam kamar dan melihat Oma Stella lebih dekat. Ibu sebenarnya ingin berbicara dan bertanya langsung kepada Sita, tetapi diurungkannya niatnya. Ibu hanya berharap reaksi ini hanyalah sementara dan sita hanya butuh waktu yang cukup lama sebelum mampu menerima semua ini dengan lapang dada. Dengan pemikiran seperti itu, ibu pun kemudian memutuskan bahwa Sita tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Ibu takut Sita justru akan bertambah sedih. Setelah berjanji akan datang lagi nanti malam dan berpamitan dengan tante Sisil, Om Anwar serta emncium kening dan pipi Doni dan Dino yang rupanya kini sudah tertidur di pangkuan ayah mereka, ibu pun menggamit lengan Sita untuk beranjak pulang. Sita menurut tanpa berkata apa-apa.
Sesampainya di rumah, Sita langsung masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam. Ibu hanya mengjela napas melihatnya. Dalam hati, ibu memang mengingatkan dirinya bahwa memang beginilah cara Sita menjalani rasa sedihnya. Sama persis saat Sita mengetahui kalau ayahnya telah meninggal dunia. Untungnya saat itu ada Oma Stella yang berhasil membujuknya. Kini benak ibu bertanya-tanya tentang siapa yang akan berhasil membujuk Sita untuk keluar dari kesedihannya. Tentu saja bukan Oma Stella karena Oma Stella kini sedang berbaring sakit dan tidak sadarkan diri di rumah sakit. Bahkan Oma Stella sendirilah yang menadi alsan kesedihan Sita kali ini. Sekali lagi terdengar ibu menghela napas. Ia hanya berharap semoga kali ini waktu yang akan membantu menyembuhkan sedih hati sita.
Pada malam harinya, ibu sudah tampak bersiap kembali ke rumah sakit. Ia sudah berjanji kepada tante Sisil untuk menjaga Oma Stella malam ini. Sebelum berangkat ibu sempat mengetuk pintu kamar Sita yang dari tadi belum juga terbuka.
“Sita, ibu mau berangkat ke rumah sakit. Malam ini ibu akan menginap di sana menjaga Oma Stella,” kata ibu dari luar pintu. Tidak ada suara sahutan terdengar dari dalam.”Kalau memang kamu masih sedih dan merasa belum cukup kuat hati untuk menjenguk Oma Stella, ibu harap kamu tetap mendoakannya ya sayamg.”
Seteleh berkata demikian, ibu pun pergi ke rumah sakit. Di dalam kamarnya, Sita merasa ingin menangis lagi. Bayangan Oma Stella dengan selang-selang infus dan berbaring tidak sadarkan diri di tempat tidurnya membuat hati Sita pilu. Akhirnya air matanya pun keluar lagi tanpa bisa ditahan. Sebelum pikirannya benar-benar terlena dan jatuh ke alam mimpi, Sita rupanya masih mengingat pesan ibunya untuk mendoakan Oma Stella.
“Tuhan yang baik, jangan ambil Oma Stella sekarang,” bisik Sita pelan,”Sita masih butuh Oma Stella.”

No comments: