Monday, March 23, 2009

BlueBiru

BAB I: Jangan pernah sebut CINTA!



Pintu kamar kost diketuk dengan kuat. Semakin lama ketukan pintu semakin kuat. “Woi… bangun!! Balikin baju gue!”. Wanita itu masih terbaring di lantai kamarnya yang dingin. Ia menggaruk-garuk kepalanya dan mencoba untuk bangun. Ia tidur hanya menggunakan kaus kutang dan celana pendek. Kipas anginnya yang berada didepannya memang sudah lama rusak. Semenjak hari itu, ia memutuskan untuk tidak tidur diatas kasurnya. Karena setiap ia tidur dikasurnya, ia selalu bangun dengan badan yang penuh keringat. Ia membuka pintu kamarnya dan langsung kembali kepada posisi semula. Untung saja karena tangan Ria sudah mulai letih mengetuk pintu kamar kost sahabatnya itu. Ria berdiri didepan pintu dan meletakkan tangannya di pinggangnya. Lalu Ria mengeleng perlahan. Ia tidak mengerti mengapa sahabatnya sangat malas. Baju-baju kotor berserakan dimana-mana belum lagi kaus kaki yang berada didepan matanya. Ia langsung menutup hidungnya dan mengambil kaus kaki itu dengan perasaan jijik. Ia yakin sudah satu minggu sahabatnya Biru tidak membereskan kamar kostnya.. “Aaaa!” jerit Ria kesal dan melempar kaus kaki yang langsung mendarat di wajah Biru. “Elu kenapa, Ya?” tanyanya panik. “Oh no! gak mungkin elu hidup ditempat kayak gini,” kata Ria sambil menatap sekeliling kamar Biru. “Jadi sekarang kecoa jadi piaran elu?” tanya Ria karena ia baru saja melihat kecoak. Mereka berdua sudah bersahabat sejak awal kuliah. Ia bekerja sebagai pelayan disalah satu restoran. Ia bekerja dari jam 4 sore sampai jam 10 malam dan ia harus bekerja setiap hari. Belum lagi ia juga harus menyelesaikan kuliahnya. Hari ini ia memang libur kuliah, dan jam belum menunjukkan jam 1 siang. Kalau ia libur kuliah seharusnya ia mencuci semua bajunya dan membereskan kamar kostnya namun ia terlalu lelah dan malas. “Ini apa lagi, ada sini,” ujar Ria menarik sesuatu yang berada di dekat lemari. “Oh my god! Ini kan baju gue! Hua… hua…” tiba-tiba saja Ria menangis, dan biru dengan cueknya masih saja tertidur. “Elu bener-bener keterlaluan!” kata Ria yang dengan kesal memukul pantat sahabatnya, “Apaan sih?” kata biru yang sedikit sudah mulai bisa terbangun dan duduk, “Ini elu liat! Ini baju kan dari cowok gue! Kenapa elu bikin jadi kayak gini? Kenapa elu jadiin kayak kain lap!”, “Ya ampun! Maaf! Sumpah gue gak tau kalo itu baju elu, gue pikir itu kain lap. Sumpah gue gak sengaja! Maafin gue yah…” kata biru meminta maaf. Mendengar jawaban biru membuatnya semakin menangis dengan kuat. Ria sudah berhenti menangis dan sekarang ia mulai memarahi Biru. “Elu itu jorok banget sih! Sumpah! Elu itu joroknya melebihi Bima tau?” kata Ria menyebut nama pacarnya. Ria terkenal dengan sebutan miss rapi. Ia paling tidak tahan dengan sesuatu yang jorok. Dan sedangkan Bima adalah Pria yang untuk ukuran pria termasuk dalam kategori bersih. Ria tentu saja tidak mau berpacaran dengan orang yang jorok. Tapi entah kenapa Ria bisa tahan dengan kejorokan Biru. “Cowok elu itu mah rapi masa dibilang jorok? Gila kali lu yah! Elu sama dia itu sama aja! Sama sedengnya kali soal kebersihan, lagipula kotor sedikit gak apa-apa lah,” jawab Biru sambil mencoba membuka matanya yang seperti terkena lem, “Elu gak tau apa ada pepatah mengatakan didalam badan yang sehat maka terdapat jiwa yang sehat. Gimana mau sehat kalo lingkungannya kotor kayak gini. Kuman-kuman itu suka tau sama yang namanya kotor. Kalo elu kotor berarti selama ini elu tidur sama kuman. Dan gue gak bakal heran kalo suatu saat elu sakit. Elu bisa aja sakit demam berdarah, apalagi sekarang lagi musim ditambah kamar elu yang berantakan dan kotor.” Cerocos Ria. Jangan pernah membahas kebersihan didepan Ria karena ia akan bisa tahan bercerita tentang macam-macam penyakit yang bisa didapat karena kamar yang kotor. Biasanya setiap Ria datang, Biru selalu membersihkan kamarnya. Ia malas mendengar ceramah Ria. Namun, kali ini Ria datang tanpa pemberitahuan. “Sory, Ya. Gue lagi males nih. Abis gue cape banget sih,” kata Biru sambil berbaring di tempat tidur, “Aduh lu gimana sih? Udah bangun mau tidur lagi? Liat sekarang udah siang. Matahari tuh udah keluar dari tadi tau,” kata Ria sambil menepuk kaki Biru dengan keras, “Aduh sakit tau. Iya bentar lagi deh, setengah jam lagi deh elu bangunin gue, Ok!” kata Biru lalu memejamkan matanya, “Udah jorok, males lagi! Elu gak takut apa dibilang cakep-cakep kok kamarnya jorok.” Kata Ria tapi Biru tidak menjawab. Ia memposisikan badannya meringkuk seperti kucing. Posisi paling enak untuk tidur. “Cepet bangun! Bangun gak… cepetan! Sekarang beresin kamar elu,” teriak Ria sambil memukul Biru lalu menyeret tangannya untuk berdiri. “Iya… iya… elu bawel banget sih. Gue heran kenapa Bima bisa tahan sama sifat elu yang satu ini. Aduh… emang elu gak ada acara apa? Ngapain sih gangguin orang tidur,” keluh Biru, “Oh gitu yah? Jadi gue gak boleh dateng lagi nih kekamar kost lu? Jadi elu ngusir gue? Tadinya gue gak tega kalo elu mesti ganti rugi baju gue jadi kayak gini. Kalo gitu gue gak mau tau. Elu mesti kudu wajib ngeganti kaus gue,” ambek Ria sambil mengambil baju kesayangannya yang sudah robek, “Yah Ria kok gitu sih? Iya deh… sekarang gue bangun,” kata Biru sambil memungut baju-baju yang berantakan. Ia membereskan tempat tidur yang sudah lama ia tidak bereskan. “Sekarang ganti tuh sepre, terakhir gue kesini sepre kamar elu masih yang ini. Pokoknya ganti,” tunjuk Ria. Dengan cepat Biru mengambil seprai baru dari lemarinya dan mulai menggantinya. Tangan Ria beralih ke atas lemari, ia mencolek lemari itu dan tangannya penuh dengan debu, “Ini apa? Jorok! Sekarang lap ampe bersih,” kata Ria lalu meniup tangannya. Biru bergegas pergi dan kembali dengan ember yang berisi air dan juga lap yang ia taruh di bahu kanannya. Ia mengelap semuanya mulai dari meja, lemari, sampai kipas anginnya yang rusakpun ia bersihkan. Ria dengan tenang menunjuk dan menyuruh Biru. Hampir dalam waktu 3 jam, kamar kost Biru menjadi sangat bersih. Bisa dipastikan kalau baik kuman ataupun virus enggan masuk kekamarnya. Biru menuju tempat tidur setelah selesai menyapu dan mengepel kamarnya. Ria dengan tenang malah meminum teh yang tadi ia buat dan sambil membaca majalah. “Eh… elu mau ngapain?” tanya Ria, “Gue capek! Gue mau tiduran dulu. Badan gue pegel banget!” keluhnya, “Siapa yang bilang kalo elu boleh tiduran?” larang Ria, Biru menatap Ria dengan mata memelas, “Enggak. Badan elu itu keringetan. Jadi sebaiknya elu mandi dulu, cepet gih sana…” usir Ria lalu mengambil handuk dan melemparkannya kepada Biru. “Tapi Ya… badan gue pegel banget. Nanti deh… 5 menit lagi, gue rebaan dulu deh. Lagipula kan gak baik kalo keringetan terus mandi.” Bujuknya, “Kalo gitu elu duduk disitu aja,” tunjuk Ria kearah lantai. Biru manyun. Ia lalu keluar kamarnya dan lalu pergi untuk mandi. “Jangan lupa keramas yah…” teriak Ria dari dalam kamar. Huh! Sial banget sih gue! Rencananya mau tidur seharian eh malah harus beres-beres kamar. Kenapa sih Ria mesti dateng segala? Ganggu aja deh, katanya dalam hati. “Wuih… wangi dan seger banget! Nah kalo gitu kan jadi keliatan cakepnya sahabat gue yang satu ini,” kata Ria setelah Biru mandi. “Oh iya ada yang kurang…” kata Ria lalu mengambil pengharum ruangan dan mulai menyemprotkannya. Wangi apel terasa di dalam kamar kostnya. Kamar kostnya memang terlihat lebih rapi dan lebih berprikemanusiaan. Karena tadi kamar Biru seperti kamar yang sudah lama tidak disinggahi karena banyak terdapat debu dan juga sarang laba-laba. “Kalo kayak gini enak kan?” tanya Ria, Biru mengangguk. “Makanya elu harus rajin dong bersihin kamar. Yah setidaknya seminggu sekali deh. Masa gak ada waktu?” kata Ria semangat, “Tapi akhir-akhir ini bener deh gue gak punya waktu. Elu kan tau gue lagi sibuk banget,” kata Biru membela diri, “Bener? Elu lagi sibuk?” tanya Ria tak percaya, “Bener. Suer!!!” kata Biru mengangkat kedua jarinya. “Iya gue tau. Sejak elu kerja kayaknya gak ada satu haripun yah buat elu bisa istirahat. Elu ngelakuin ini karena emang elu sibuk, kan?”, “Maksud elu? Gue gak ngerti?”, “Iya. Ini semua karena restoran yang lagi rame, kan? dan juga karena kekurangan pegawai kan? Bukan karena Irwan, kan?” tanya Ria. Mendengar nama itu baju yang dipegang olehnya langsung jatuh. Ia kembali mengingat Irwan. Mantan pacarnya yang memnpunyai tampang plus tapi mempunyai kelakuan nol, bukan… malah minus. Karena Irwanlah ia mengganti namanya dengan nama Biru. Ia sengaja memakai nama itu. Ia memilih nama itu karena ia selalu dalam keadaan sedih dan menurut kamus bahas inggris blue bisa diartikan dengan sedih. Dan itu adalah asal-usul nama biru. Selain itu dari dulu Irwan paling tidak suka dengan warna Biru. Itu semua terjadi karena ia sudah muak melihat warna Biru, dari kecil kamarnya sudah dicat berwarna biru dan setiap membeli baju pasti orang tuanya membelikan baju berwarna biru. Hal ini terus menerus terjadi sampai ia beranjak SMP. Dan mulai saat itu juga ia benci apapun yang berhubungan dengan nama biru. Hanya Ria seorang yang mengetahui masalah itu. Dan terkadang Ria suka lupa dan masih sering menyebut namanya yang sebenarnya. “Stella, elu masih cinta sama dia?”, “Biru… panggil gue Biru!”, “Iya Biru! Elu masih cinta sama Irwan? Dan elu masih kesel sama kakak elu?”, “Sampai kapanpun gue gak akan pernah maafin kakak gue. Mereka berdua gak akan gue maafin! Gue gak akan maafin karena Kak Sasha pernah nampar gue demi Irwan!” katanya dengan mata berkaca-kaca. Mendengar nama mereka sudah membuatnya kesal. Hatinya masih sakit setiap mendengar nama itu. “Tapi, Stel… kejadian itu kan udah lama banget. Masa iya elu belum maafin mereka juga?” kata Ria, “Gak akan gue maafin mereka berdua! Apalagi Irwan! Gue gak akan maafin dia sebelum dia nyium kaki gue!”, “Stel setiap manusia pasti pernah berbuat salah dan Allah aja memaafkan umatnya masa elu enggak?” kata Ria memberi nasihat, “Iya gue tau. Tapi gue kan bukan tuhan! Ataupun malaikat!”, “Iya gue tau elu masih marah sama mereka, tapi kasian kan orang tua elu. Masa elu juga harus ngehukum mereka? Kalo nanti terjadi apa-apa sama mereka gimana? Gue gak mau elu nyesel. Setidaknya elu harus kasih tau dimana elu tinggal atau paling enggak elu harusnya nelpon mereka setiap hari supaya mereka gak khawatir.” Kata Ria. Namun Biru menggeleng. Biru memang keras kepala. Ria sudah capai memberi tahu hal ini.

***


Biru bangun dari tidurnya dan mengambil handuk. Matanya langsung melek ketika mengetahui bahwa baju kerjanya belum ia cuci dan ia juga belum mencuci pakaian dalamnya. Ia langsung bergegas mencuci baju. Untuk dilemarinya tersisa sepasang pakaian dalam dan juga baju untuknya pergi hari ini. Untung saja ia bangun agak lebih pagi. Maka ia sempat mencuci bajunya. Ia tidak sadar kalau jarum jam semakin lama semakin berjalan dengan cepat. Setelah menjemur bajunya, ia kembali kedalam kamarnya yang terlihat sudah mulai berantakan lagi. Ia melihat jam di dindingnya yang dicat berwarna pink. “Oh my god! Udah jam segini, mampus deh gue!” katanya lalu menepuk kepalanya. Hari ini ia telat datang ke restoran. “Biru, kamu kemana aja sih?” tanya Pemilik restoran itu yang bernama Lily. Lily adalah seorang wanita yang sudah setengah baya yang sangat baik hati. Ia sudah menganggap Biru seperti anaknya sendiri. Saat ini restorannya sudah mempunyai banyak pelanggan, keadaan ini yang membuatnya harus bekerja sebagai tukang cuci piring, karena kekurangan pegawai. “Maaf, Bu. Tadi saya abis nyuci baju dulu. Maklum bu namanya juga anak kost. Kalo saya gak nyuci baju saya gak ada baju lagi,” jawabnya dengan jujur. Ibu Lily memang mengetahui semua hal yang juga diketahui oleh Ria. “Oh iya Bu. Maaf baju kerja aku masih basah, aku boleh…”, “Ya udah cepet ambil di lemari aja” potong Ibu Lily, “Makasih Bu…” kata Biru lalu mengganti bajunya menjadi baju kerja. Ia langsung melayani tamu yang baru datang. Ia tampak sangat ceria. Mungkin juga dia adalah alasan mengapa restoran ini mempunyai pelanggan setia. Hanya ibu Lily yang mengetahui bahwa dibalik senyum itu terdapat kesedihan. Ia tahu bahwa senyum itu adalah palsu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berharap semoga Biru dapat benar-benar bisa tersenyum dengan tulus. Biru memang tidak mempunyai wajah yang cantik. Ia mempunyai wajah yang manis, matanya yang bulat dan indah namun sayang sering terlihat sorot mata kesedihan. Ia juga mempunyai hidung yang mancung dengan bibir kecil dan tipis yang dulu sangat cerewet. Rambutnya ikal, hitam dan panjang sering sekali diikat. Badannyapun semakin lama semakin kurus mengingat ia sulit untuk makan. Ia terlalu sibuk sehingga ia tidak sempat untuk makan. Terkadang ibu Lily sering menyuruh Biru untuk membawa pulang makanan dari restoran. Dan agar ibu Lilu tidak kecewa, ia menuruti ucapannya. Ia membawa makanan yang secara khusus dibuat oleh koki direstorannya atas suruhan ibu Lily. Tapi sayangnya makanan itu tidak pernah ia sentuh. Sesampainya di kamar kostnya, ia langsung tertidur tanpa menyentuh makanan itu. Ia hanya menaruh makanan itu diatas mejanya. Dan ketika pagi hari pun ia tidak pernah sarapan karena terkadang ia bangun terlambat dan tidak ada waktu lagi untuk makan. Karena ia sengaja kost didaerah yang sangat jauh dari kampusnya. Hal itu ia lakukan karena sebuah alasan. Ia makan hanya pada waktu siang hari saja. “Gimana mau tambah gemuk kalo makan cuman sehari sekali. Kamu gak liat badan kamu itu kerempeng banget. Kalo orang yang terlalu kurus juga gak enak dilihatnya, kamu harusnya lebih perhatiin badan kamu lagi donk. Emangnya kamu mau sakit?” kata ibu Lily ketika menasehati Biru. Ibu lily sudah capai memberi tahu masalah itu. Tapi Biru tetap saja seperti itu. Pernah suatu ketika ia sakit dan harus masuk rumah sakit karena penyakit tipes. Biru makan hanya 1x dan itupun ditempat yang tidak bersih. Dan kalau ia malas untuk membeli makanan, ia memasak mie instant. Setelah keluar dari rumah sakit memang Biru makan 3x sehari untuk menyenangkan hati ibu Lily dan juga agar dia cepat sembuh. Tapi setelah sembuh dari sakitnya ia kembali ke kebiasaannya waktu itu. Ia melihat Ibu Lily terlihat sedang mengobrol dengan laki-laki. Dan tampaknya sangat serius. Ia berdiri didepan sekat antara dapur dan ruangan makan. “Eh itu siapa sih?” tanya biru kepada salah satu koki yang wajahnya nongol, “Oh itu kan pelayan baru. Emangnya elu gak tau?” jawab Joko. Biru menggeleng cepat. Ia memang mengetahui niat ibu Lily untuk mempekerjakan pelayan baru. Tapi ia tidak menyangka kalau bosnya sangat serius dengan apa yang dikatakannya. Pria itu memang tidak kelihatan ganteng tapi juga tidak jelek. Hidungnya mancung dan rambutnya ikal dan terlihat berantakan karena sudah mulai panjang. Ia tertolong karena badannya yang tinggi dan tegap. Ia merasa kalau wajahnya sangat familiar. Ia yakin kalau ia pernah bertemu dengan pria itu. Tidak tahu dimana, ia sudah lupa. Mungkin wajahnya hanya mirip dengan seseorang yang ia kenal. Dengan cepat ia mengacuhkan pikirannya dan kembali ke pekerjaannya. Ia mengantarkan pesanan pelanggan. Ibu Lily memanggilnya. “Biru, ini pelayan kita yang baru. Dia udah mulai bisa kerja sekarang” Terangnya. Pria itu mengulurkan tangannya, “Rivaldo panggil aja Rival,”, “Biru. Panggil gue Biru.” Katanya sambil membalas uluran tangan Rival, “Biru sekarang kamu tolong kenalin dia ke semua pegawai yang lain dan jangan lupa kasih tau peraturan di restoran kita dan satu lagi jangan lupa kasih baju yang harus dia pakai, okey?” tanya ibu Lily, “Iya bu. Saya ngerti,”, “Kalo gitu Rival kamu bisa ikutin Biru dan semoga kamu senang bisa gabung di restoran ceria,” kata ibu lily menepuk bahu Rival dan pergi meninggalkan mereka. “Elu udah tau kan tugas elu disini sebagai apa?” tanya Biru dan dijawab dengan anggukan, “Kalo gitu ikut gue sekarang.” Kata Biru. Ia mengantarkan Rival ke beberapa pelayan dan mengenalkan semua pegawai kepada Rival. “Elu udah kenal sama semuanya kalo gitu elu ikut gue sekarang,” kata Biru berjalan di depan Rival. Rival berjalan mengekor biru. “Jadi nama elu beneran Biru?” tanyanya tiba-tiba, “Iya. Emangnya kenapa? Ada masalah sama elu?”, “Gak. Aneh aja, kok orang tua elu ngasih nama biru. Kenapa bukan Jingga, Pink, Ungu, Violet, Ato apa aja deh. Kenapa mesti Biru? Atau jangan-jangan seluruh keluarga elu pake nama warna semua yah? Nyokap elu gak kreatif banget sih.” Cerocosnya. Rival memang sudah penasaran sejak dari awal ia melihat nama yang tertulis di bajunya. Kenapa elu mesti banyak nanya?” kata Biru kesal dan melempar baju kerjanya didepan wajahnya. “Masa gue gak boleh nanya sih? Gue yakin nama asli elu bukan Biru, kan? Ceritain donk kenapa elu dipanggil Biru. Gue mesti manggil elu apa? Kak Biru? Atau?”, “Elu pikir gue udah setua itu?” sengitnya, “Kalo gitu gue panggil De Biru aja?” kata Rival dengan mata tanpa ada dosa, “Elu itu reseh banget yah. Just call me Biru! Lagian umur kan sama gue. Dan inget elu gak boleh banyak nanya soal asal-usul nama gue, Ngerti?”, “Yes, Mam! I understand!” jawab Rival sambil memberi hormat “Bagus! Kalo ngerti sekarang ganti baju! Abis itu elu kedapur dan elu cuci piring sampai bersih!” tegas Biru lalu keluar meninggalkan Rival. Ia lalu sibuk melayani para tamu kembali. Ia memperhatikan Rival yang berkali-kali memecahkan piring dan gelas. Ia terlihat belum terbiasa dengan semua itu. Untuk mencuci piring saja ia harus diajarkan oleh Cika salah satu pelayan tetap di restoran Ceria. Rival diijinkan istirahat selama beberapa menit. Ia berjalan mendekati Biru. Biru sedang bersandar disalah satu tembok sambil menyalakan pematiknya dan mulai merokok. Biru menghela nafasnya dengan panjang. “Kenapa kok keliatan suntuk? Baru patah hati yah?” tanya Rival sekedarnya, “Gak juga. Lagipula kenapa gue mesti patah hati? Gue gak punya pacar dan gak akan pernah punya pacar! Elu sendiri gimana? Udah mulai terbiasa dengan cucian piring yang segunung?” katanya balik bertanya sambil terus saja merokok, “Belum lah! Ini tuh pertama kali gue kerja disini dan baru kerja aja gue udah mecahin 10 gelas dan 15 piring. Hebat bukan? Dan mana yang lebih kejam lagi kalo gue mesti bayar itu semua pake setengah gaji gue. Padahal itu gaji pertama gue. Gue pikir cuci piring itu gampang ternyata susah banget! Belum lagi tangan gue licin kena sabun dan udah gitu gue cuci piring mesti buru-buru soalnya stock piring kita kan masih sedikit. Gimana kalo gue seminggu disini yah? Bisa –bisa 100 piring dan gelas kali yang gue pecahin” jawabnya, “Itu biasa. Gak ada yang bisa ngalahin rekor Biru,” celetuk Cika. Lalu mereka berdua menengok. Biru hanya tersenyum menanggapi pernyataan Cika. Memang benar, ia memecahkan 20 gelas dan 13 piring dalam satu hari. Dan selama satu minggu ia sudah memecahkan berlusin-lusin gelas dan piring. Yang menyebabkan ia tidak dapat gaji pertamanya. Dan untung saja bulan pertama ia kabur dari rumah ia tinggal dengan Ria. Ria yang memaksanya untuk tinggal di Apartemennya. Karena ia takut Stella akan berbuat nekat. Mulai saat itu ia sudah tidak mau mendengar kabar dari keluarganya. Keluarga Stella adalah salah satu orang terpandang. Ia memiliki rumah sakit dan mempunyai dokter dengan lulusan terbaik dikampus. Rival kaget mendengar jumlah yang disebutkan oleh Cika. “Coba gue liat tangan lu,” kata Biru sambil membuang rokoknya karena sudah habis terbakar. “Mau ngapain? Jangan bilang kalo elu bisa ngeramal. Gue mau donk! Coba ramalin kehidupan cinta gue,” jawab Rival semangat, “Enggak lah. Emang gue ada tampang peramal? Lagipula kalo gue bisa ngeramal kenapa gue mesti kerja direstoran sebagai pelayan? Elu bego juga yah,” ketus Biru. Rival langsung menaruh tangannya ke belakang badannya, “Elu mau ngapain? Bilang dulu baru gue kasih liat,”, “Ye elah. Gue cuman mau ngeliat,” kata Biru lalu menarik tangan Rival. Ia memegang tangan Rival, Cika juga mengikuti jejak Biru. Lalu mereka berpandangan bersama-sama dan menaikkan kedua alis mata mereka. Setelah itu Cika dan Biru memperhatikan Rival secara lekat-lekat. Ia tidak mempunyai tampang seperti orang yang sedang kesusahan dan dari umurnya bisa diyakinkan kalau ia dengan Biru mempunyai umur yang sama. Cika merangkul Rival dengan manja, “Sekarang elu ceritain apa yang bikin orang tajir kaya elu mau kerja?”. Rival sedikit canggung dengan Cika. Ia mencoba melepaskan rangkulan Cika. Tapi Cika tetap bertahan pada posisinya. “Sok tau lu! Siapa bilang gue tajir.” Jawab Rival cepat, “Mana ada cowok kere punya tangan sehalus ini, pantesan aja elu gak bisa cuci piring. Dari kecil udah biasa dilayanin sih. Sekarang jawab jujur aja deh,” paksa Biru, “Jangan-jangan… elu mau buka restoran disamping restoran kita yah? Dan jangan-jangan elu pengen tahu bumbu rahasia restoran kita yah? Ngaku elu mata-mata, kan?” kata Cika sambil menyikut perut Rival, “Bukan. Sumpah bukan. Gue… gue…gue kerja karena gue pengen ngebeliin cewek yang gue taksir sesuatu. Gue pengen ngelamar dia.” Jawabnya malu-malu. Mendengar perkataan itu membuat Biru dan Cika tertawa terbahak-bahak. “Aduh romantis banget elu! Seandainya ada cowok yang berbuat kayak gitu ke gue. Walaupun dia jelek kayak elu pasti gue terima,” kata Cika dengan mata berkaca-kaca. “Sial lu! Gue dibilang jelek! Emang elu yakin kalo gue ngelakuin hal kayak gitu bisa bikin gebetan gue nerima gue?” tanya Rival, “Kalo elu percaya sama Cika itu namanya elu goblok! Bodoh! Tolol! Bego! Moron! Stupid! Elu berdua sama aja tukang mimpi!” kata Biru dengan tatapan mata mengejek. “Maksud elu apa?”, “Elu yakin dia cinta sama elu? Elu yakin dia belum punya pacar? Elu itu gak tau apa-apa soal cinta! Cinta itu cuman bisa nyakitin doang! Dan asal elu tau kalo dia udah ngedapetin apa yang dia mau, elu bakalan dibuang gitu aja! Elu bakalan dicampakin gitu aja! Dan pada saat itu juga elu tau gimana rasanya sakit hati dan cinta gak akan semanis yang elu bayangkan!” jawab Biru yang terlihat emosi. Ia langsung pergi meninggalkan Rival yang kaget mendengar pernyataan itu. “Itu baru namanya Biru! Dia gak akan pernah percaya lagi sama yang namanya cinta. Dia itu anti sama cinta!”, “Anti sama cinta? Kok bisa? Bukannya cewek biasanya pengen banget punya pacar dan ngerasain jatuh cinta?” tanya Rival tak percaya, “Gue gak tau kenapa dia begitu membenci cinta. Gue gak pernah tau. Cuman Ibu Lily yang mengetahui dengan jelas. Jadi jangan pernah elu ngomongin soal cinta didepan dia! Ok! Dan satu lagi kalo elu gak mau malu jangan pernah elu jatuh cinta sama dia!” Kata Cika “Loh kenapa? Lagipula gue juga kayaknya gak mungkin sih jatuh cinta sama cewek kayak gitu abisnya ketus banget. Mana ada cowok yang mau deket sama dia,”, “Elu salah! Elu gak liat dia itu kan cantik, jadi banyak pelanggan yang suka sama dia. Pokoknya jangan pernah sebut C-I-N-T-A. udah ah gue masuk duluan yah…” kata Cika lalu meninggalkan Rival. Rival memperhatikan Biru dari jauh. Ia memang terlihat menarik. Dan ia tahu bahwa banyak pelanggan pria yang datang hanya ingin berkenalan saja dengannya. Seharusnya ia sedang dalam tahap bahagia karena mempunyai seseorang ia sayangi dan begitu sebaliknya. Kok ada cewek yah bisa ampe segitu antinya sama cinta, tapi kalaupun ada itu pasti karena dia udah ngalamin kejadian yang bener-bener bikin dia sakit hati dan trauma sama yang namanya jatuh cinta, pikir Rival. Pekerjaannya hari ini sudah selesai. Semua badannya pegal karena harus mengajarkan Rival beberapa hal. Biru mengambil baju yang sudah terlihat lusuh. Ia duduk ditempat tidur kamar kostnya. Ia menghela nafasnya. Hari ini tepat 2 tahun ia kabur dari rumah. Ia mengenangnya dengan muka tertunduk. Ia mengambil dompet dari tas slempangnya yang berwarna hitam. Dengan hati-hati ia mengeluarkan sebuah foto yang sudah terlihat lecek itu. Ia memperhatikan baik-baik foto itu. Foto itu adalah foto ketika ia bersama dengan Irwan. Ia yakin pada saat itu Irwan sangat mencintai dirinya. Terlihat rona bahagia terpancar dari tatapan mata mereka dan senyuman mereka berdua. Hari itu adalah hari dimana Irwan menyatakan cintanya. Ia masih mengingatnya. Irwan adalah kekasihnya yang pertama dan juga cinta pertamanya. Ia mengingat pada saat ia bertemu dengan Irwan. Dan tanpa ia sadari air mata terjatuh dari matanya yang bulat dan indah. Ia selalu menangis setiap melihat foto itu. Tanpa diketahui oleh siapapun Biru selalu melihat foto Irwan sebelum ia tidur. Ia sebenernya tidak mau menghubungi orang tuanya atau pulang kerumahnya karena takut harus bertemu dengan Irwan. Selain itu ia juga takut kalau kepulangannya akan membuat orang tuanya mengetahui alasan ia kabur. Dan ia tidak mau merusak kebahagiaan kakaknya. Biar saja kakaknya bahagia walaupun dia menderita. Sekalipun ia tidak pernah membenci kakaknya. Ini semua terjadi karena Irwan! Bukan karena kakaknya.
***

1st Chapter oleh Citra Petsi

No comments: