Gerimis ibukota dan kerumunan kendaraan yang tampak parkir di jalan membuat hati perempuan usia dua puluh-an bernama Nora yang sudah setengah jam berdiri bertambah cemas. Tampaknya kemacetan akan terus berlanjut untuk beberapa jam lagi. Jaket hitamnya tidak berhasil menutupi kedinginan malam. Dia terus berjalan melawan arus kendaraan, perlahan ditemani genangan air Jakarta. Tangannya mengenggam tinta isi ulang yang satu setengah jam lalu baru saja diisi. Dirinya tak menyangka akan semacet ini ketika hujan lebat. Arlojinya sempat ia lirik, beberapa menit lagi tepat pukul tujuh. Di dompetnya hanya ada jatah untuk angkutan bus, kumpulan ojek yang markir di depan Mall Ambasador tidak akan cukup mengantarnya sampai ke rumah.
Perempuan berambut panjang itu nekat terus berjalan, hingga dia menyadari, seberapa jauh dia melangkah angkutan umum selalu penuh. Kini dia berdiri di atas trotoar, berpikir keras bagaimana bisa pulang. Dia memandang sekeliling, perempuan yang tampak beda beberapa tahun lebih tua dengannya berdiri menyangga payung. Nora memberanikan diri bicara.
”Nunggu angkutan juga, Mbak?”
Perempuan memakai payung itu menoleh, ”Iya, Mbak juga?”
”Iya,” jawab Nora. ”Naik apa?”
”Naik 44,” jawab perempuan berpakaian kemeja hijau itu.
Penampilan perempuan berpayung itu tampak rapih. Tampaknya dia pulang kerja dengan celananya yang panjang blus hitam, dan sepatu putih.
”Bagaimana kalau kita nyebrang ke sana, siapa tahu ada angkutan yang kosong,” saran perempuan itu.
”Boleh,” angguk Nora.
Kami menyebrang jalan, menyelip kendaraan yang tampak berhenti di jalan.
Sayang, nihil yang didapat. Kendaraan umum tetap saja penuh, mereka berhenti di halte. Sesaat Nora melihat angkutan baru yang akan mengangkutnya pulang kosong, namun ponsel perempuan berkemeja hijau itu berdering dan tak menyadari banyak calon penumpang telah mengisi angkutan. Nora menghela napas, karena tahu dirinya tidak mungkin pergi sendiri sementara teman barunya berdiri di halte sambil menjawab ponsel.
”Bagaimana kalau patungan taksi,” ujar Nora, ketika teman barunya telah mematikan ponsel.
”Patungan?” ulang perempuan berkemeja hijau itu, memasukkan ponsel, dan menutup payungnya, ”Bisa saja, tapi percuma kalau dilihat macet begini, malah berhenti di jalan.”
Nora mau tak mau mengakui.
”Lebih baik kita jalan dulu, nanti kalau sudah tidak macet lagi, kita naik taksi, bagaimana?”
Nora mengerutkan kening, “Boleh saja.”
Mereka berdua jalan di trotoar berlawanan arus kendaraan.
”Kita nyebrang lagi,” ujar perempuan berkemeja hijau, ”di sini jalanan kurang bagus.”
”Ayo,” setuju Nora.
Mereka menyebrang lagi ke tempat yang sama, lampu penerangan cukup terang untuk berjalan malam, kendati masih ada genangan air di sana-sini.
”Oh iya, namaku Nelvi,” ujar perempuan kemeja hijau, mengulurkan tangan.
”Nora,” Nora mengulurkan tangan.
”Pulang kerja?” tanya Nelvi.
”Eh tidak, masih kuliah, tadi habis ngajar sekalian aja ke mall isi tinta,” jawab Nora, mengenggam bungkusan refill toner.
Nora merasa bingung akan memulai pembicaraan apa. Namun, dari kejauhan tampak asap tebal kebiruan terang. Warna yang pekat menyelimuti langit malam ibukota.
”Apa itu?” ujar Nelvi.
”Entahlah,” jawab Nora, ”apa ada yang kebakaran?”
”Asapnya biru.”
Tampaknya bukan hanya mereka yang mengamati asap besar itu. Orang-orang sekeliling mereka juga mengamati hal yang sama.
”Tampaknya tidak jauh,” ujar Nelvi, ”mau ke sana?”
Banyak orang berlarian menuju asap biru, namun tak sedikit yang mengamati dari kejauhan.
”Sebentar saja,” ujar Nora.
Mereka mengikuti arah arus para pekerja pulang kantor menuju asal asap biru. Kesemrawutan kemacetan tidak lagi menarik perhatian Nora.
Kendati gerimis masih terus berlanjut, namun asap biru tebal di angkasa sama sekali tidak menghilang, malah bertambah tebal dan besar.
Mereka menyebrang, melewati kali dan berhenti tidak bisa berjalan ketika di belakang kerumunan banyak orang di dekat tempat penjualan taman hias.
”Ada apa?” tanya Nora, bingung, tak bisa melihat di depan dengan jelas.
”Mas, ada apa di depan?” tanya Nelvi, bertanya kepada seorang pria berkumis tebal yang baru saja dari depan.
”Ada tabrakan,” ujar pria berkumis.
”Bukan tabrakan,” sanggah pria berompi kulit di samping pria berkumis, ”tidak ada yang menabraknya.”
”Tapi mobil itu menabrak jalan,” sahut pria berkumis.
”Itu tak wajar,” gumam pria berompi.
”Tapi, mengapa ada asap biru?” cetus Nelvi.
”Itu juga yang membuat kita bingung,” jawab pria berompi, ”Ada orang di dalam mobil itu.”
”Tapi kata orang-orang yang melihat,” sambung pria berkumis, ”orang di dalam tidak normal.”
Pria berompi mengangkat bahu.
”Maksud Anda?” tanya Nelvi.
”Dia tidak punya mata,” jawab pria berkumis.
”Maksud Anda, pengemudinya buta?” tanya Nora.
Pria berkumis menggeleng, ”Bukan, dia tidak punya mata.”
Nora mengangkat alis, ”Maaf?”
Pria berompi mengangkat bahu lagi.
”Kami tidak melihat jelas,” kata pria berkumis, ”tanya saja pada yang lain,” dia melihat arlojinya, ”sudah jam setengah delapan, permisi.”
Pria berompi dan pria berkumis pergi mendahului Nora dan Nelvi, namun pria berompi sempat berbicara pelan kepada kedua perempuan itu.
”Saya tak tahu apa ini benar atau tidak,” ujar pria berompi, ”tapi saya sarankan Anda berdua tidak melihatnya. Selamat malam.”
Nora dan Nelvi saling berpandangan. Perkataan pria berompi membuat Nora penasaran. Dia nekat menerobos kerumunan orang yang masih mengeliling mobil sedan hitam yang berasap biru.
”Nora!” panggil Nelvi, ”mau ke mana?”
Nora tidak mendengar. Dia sudah berdesakan dengan banyak orang untuk melihat dari mana sebenarnya asap biru.
”Orangnya pingsan?” ujar perempuan di samping Nora.
”Tidak tahu,” jawab pria di depannya.
”Apa benar dia tidak punya mata?”
”Kata orang-orang begitu.”
Namun perkataan selanjutnya direndam bunyi sirine ambulans beberapa meter dari Nora.
Nora menunduk, bermaksud melihat jendela mobil, namun asap biru tebal menghalangi pandangannya.
Ambulans sudah makin dekat. Nora bisa mendengar sirine yang semakin kuat, ditambah sirine lain yang Nora kira mobil polisi.
”Awas, ada polisi!” teriak seseorang entah dari mana.
Perlahan kerumunan yang mengelilingi asap biru itu mencair. Seorang polisi berseragam keluar dari mobil dan langsung menuju tempat kejadian.
”Nora!” panggil Nelvi.
Nora menoleh, dan tersadar dirinya harus cepat pulang, dia berlari ke arah Nelvi.
”Ayo kita jalan lagi sampai sana,” ujar Nelvi menunjuk halte yang tidak terlalu jauh, ”di sana sudah tidak macet. Kita bisa patungan naik taksi dari sana.”
Nora mengangguk. Dirinya sempat menoleh ke asap biru itu lagi, dan melihat polisi berusaha mengeluarkan seseorang dari dalam mobil.
1st Chapter oleh Wita Dwi Maharani Putri
Perempuan berambut panjang itu nekat terus berjalan, hingga dia menyadari, seberapa jauh dia melangkah angkutan umum selalu penuh. Kini dia berdiri di atas trotoar, berpikir keras bagaimana bisa pulang. Dia memandang sekeliling, perempuan yang tampak beda beberapa tahun lebih tua dengannya berdiri menyangga payung. Nora memberanikan diri bicara.
”Nunggu angkutan juga, Mbak?”
Perempuan memakai payung itu menoleh, ”Iya, Mbak juga?”
”Iya,” jawab Nora. ”Naik apa?”
”Naik 44,” jawab perempuan berpakaian kemeja hijau itu.
Penampilan perempuan berpayung itu tampak rapih. Tampaknya dia pulang kerja dengan celananya yang panjang blus hitam, dan sepatu putih.
”Bagaimana kalau kita nyebrang ke sana, siapa tahu ada angkutan yang kosong,” saran perempuan itu.
”Boleh,” angguk Nora.
Kami menyebrang jalan, menyelip kendaraan yang tampak berhenti di jalan.
Sayang, nihil yang didapat. Kendaraan umum tetap saja penuh, mereka berhenti di halte. Sesaat Nora melihat angkutan baru yang akan mengangkutnya pulang kosong, namun ponsel perempuan berkemeja hijau itu berdering dan tak menyadari banyak calon penumpang telah mengisi angkutan. Nora menghela napas, karena tahu dirinya tidak mungkin pergi sendiri sementara teman barunya berdiri di halte sambil menjawab ponsel.
”Bagaimana kalau patungan taksi,” ujar Nora, ketika teman barunya telah mematikan ponsel.
”Patungan?” ulang perempuan berkemeja hijau itu, memasukkan ponsel, dan menutup payungnya, ”Bisa saja, tapi percuma kalau dilihat macet begini, malah berhenti di jalan.”
Nora mau tak mau mengakui.
”Lebih baik kita jalan dulu, nanti kalau sudah tidak macet lagi, kita naik taksi, bagaimana?”
Nora mengerutkan kening, “Boleh saja.”
Mereka berdua jalan di trotoar berlawanan arus kendaraan.
”Kita nyebrang lagi,” ujar perempuan berkemeja hijau, ”di sini jalanan kurang bagus.”
”Ayo,” setuju Nora.
Mereka menyebrang lagi ke tempat yang sama, lampu penerangan cukup terang untuk berjalan malam, kendati masih ada genangan air di sana-sini.
”Oh iya, namaku Nelvi,” ujar perempuan kemeja hijau, mengulurkan tangan.
”Nora,” Nora mengulurkan tangan.
”Pulang kerja?” tanya Nelvi.
”Eh tidak, masih kuliah, tadi habis ngajar sekalian aja ke mall isi tinta,” jawab Nora, mengenggam bungkusan refill toner.
Nora merasa bingung akan memulai pembicaraan apa. Namun, dari kejauhan tampak asap tebal kebiruan terang. Warna yang pekat menyelimuti langit malam ibukota.
”Apa itu?” ujar Nelvi.
”Entahlah,” jawab Nora, ”apa ada yang kebakaran?”
”Asapnya biru.”
Tampaknya bukan hanya mereka yang mengamati asap besar itu. Orang-orang sekeliling mereka juga mengamati hal yang sama.
”Tampaknya tidak jauh,” ujar Nelvi, ”mau ke sana?”
Banyak orang berlarian menuju asap biru, namun tak sedikit yang mengamati dari kejauhan.
”Sebentar saja,” ujar Nora.
Mereka mengikuti arah arus para pekerja pulang kantor menuju asal asap biru. Kesemrawutan kemacetan tidak lagi menarik perhatian Nora.
Kendati gerimis masih terus berlanjut, namun asap biru tebal di angkasa sama sekali tidak menghilang, malah bertambah tebal dan besar.
Mereka menyebrang, melewati kali dan berhenti tidak bisa berjalan ketika di belakang kerumunan banyak orang di dekat tempat penjualan taman hias.
”Ada apa?” tanya Nora, bingung, tak bisa melihat di depan dengan jelas.
”Mas, ada apa di depan?” tanya Nelvi, bertanya kepada seorang pria berkumis tebal yang baru saja dari depan.
”Ada tabrakan,” ujar pria berkumis.
”Bukan tabrakan,” sanggah pria berompi kulit di samping pria berkumis, ”tidak ada yang menabraknya.”
”Tapi mobil itu menabrak jalan,” sahut pria berkumis.
”Itu tak wajar,” gumam pria berompi.
”Tapi, mengapa ada asap biru?” cetus Nelvi.
”Itu juga yang membuat kita bingung,” jawab pria berompi, ”Ada orang di dalam mobil itu.”
”Tapi kata orang-orang yang melihat,” sambung pria berkumis, ”orang di dalam tidak normal.”
Pria berompi mengangkat bahu.
”Maksud Anda?” tanya Nelvi.
”Dia tidak punya mata,” jawab pria berkumis.
”Maksud Anda, pengemudinya buta?” tanya Nora.
Pria berkumis menggeleng, ”Bukan, dia tidak punya mata.”
Nora mengangkat alis, ”Maaf?”
Pria berompi mengangkat bahu lagi.
”Kami tidak melihat jelas,” kata pria berkumis, ”tanya saja pada yang lain,” dia melihat arlojinya, ”sudah jam setengah delapan, permisi.”
Pria berompi dan pria berkumis pergi mendahului Nora dan Nelvi, namun pria berompi sempat berbicara pelan kepada kedua perempuan itu.
”Saya tak tahu apa ini benar atau tidak,” ujar pria berompi, ”tapi saya sarankan Anda berdua tidak melihatnya. Selamat malam.”
Nora dan Nelvi saling berpandangan. Perkataan pria berompi membuat Nora penasaran. Dia nekat menerobos kerumunan orang yang masih mengeliling mobil sedan hitam yang berasap biru.
”Nora!” panggil Nelvi, ”mau ke mana?”
Nora tidak mendengar. Dia sudah berdesakan dengan banyak orang untuk melihat dari mana sebenarnya asap biru.
”Orangnya pingsan?” ujar perempuan di samping Nora.
”Tidak tahu,” jawab pria di depannya.
”Apa benar dia tidak punya mata?”
”Kata orang-orang begitu.”
Namun perkataan selanjutnya direndam bunyi sirine ambulans beberapa meter dari Nora.
Nora menunduk, bermaksud melihat jendela mobil, namun asap biru tebal menghalangi pandangannya.
Ambulans sudah makin dekat. Nora bisa mendengar sirine yang semakin kuat, ditambah sirine lain yang Nora kira mobil polisi.
”Awas, ada polisi!” teriak seseorang entah dari mana.
Perlahan kerumunan yang mengelilingi asap biru itu mencair. Seorang polisi berseragam keluar dari mobil dan langsung menuju tempat kejadian.
”Nora!” panggil Nelvi.
Nora menoleh, dan tersadar dirinya harus cepat pulang, dia berlari ke arah Nelvi.
”Ayo kita jalan lagi sampai sana,” ujar Nelvi menunjuk halte yang tidak terlalu jauh, ”di sana sudah tidak macet. Kita bisa patungan naik taksi dari sana.”
Nora mengangguk. Dirinya sempat menoleh ke asap biru itu lagi, dan melihat polisi berusaha mengeluarkan seseorang dari dalam mobil.
1st Chapter oleh Wita Dwi Maharani Putri
No comments:
Post a Comment