Monday, March 23, 2009

Untitled

“Apa?”
“Cowok itu… harus bisa ngeyakinin gue… kalo cinta dia lebih besar daripada cinta gue... Vido, Alex, Freddy dan Andrie ke lu. Selama dia nggak bisa ngebuktiin itu semua… gue nggak bakalan ngijinin lu pacaran, Nya.”
Semua terdiam. Kata-kata Marell membuat semuanya terperangah. Syarat yang diajukan Marell bukan syarat yang berhubungan dengan fisik atau pun otak seperti yang diajukan oleh empat orang teman kentalnya itu. Marell malah mengajukan syarat yang paling utama… syarat yang paling inti dari sebuah percintaan, yaitu masalah hati.
“Apaan sih kalian...?” Anya menundukkan kepalannya dan bersungut tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh keempat sahabatnya itu, “Kalo gitu kapan gue bisa punya cowok…”
“Ya sampe lu ketemu ama cowok yang memenuhi syarat-syarat itu…,” Freddy membalas perkataan Anya dengan kesan acuh tak acuh.
“Satu lagi…,” Alex mengeluarkan suarannya, “Dia nggak boleh bikin lu nangis.”
“Kalo nangis bahagia gimana, gol?”
“Apaan tuh gol?”
“Dogol!” Vido tertawa pelan berhasil menjahili Alex sekali lagi.
“Ya kalo itu sih lain cerita, bego!”
Marell kemudian berdeham pelan, “Pulang yuk! Udah jam 10 lebih nih…”
“Anak rumahan lu! Biasanya juga lu di jalanan sampe jam 3 pagi!” Freddy menyindir Marell yang terlihat lembek.
“He! Lu pikir sekarang kita lagi nge-track apa? Ada Anya, gol!”
“Sindrom… sindrom…”
“Diem lu pada!” Marell bangkit dari duduknya, “Pulang, Nya.”
“Bentar lagi aja, Rell.”
“Nggak. Besok kan masih sekolah. Cepet.”
“Rese lu!”
“Iya, iya, iya… terserah lu aja. Tapi sekarang lu harus pulang.”
Anya masih duduk di tempatnya. Ia mengapit lengan Alex dan Andrie yang duduk di kiri-kanannya. Marell menggeleng dan berjalan ke belakang Anya dan menepuk pundak Anya, “Nya… udah malem… Pulang yuk!” Anya masih tak bergeming, “Besok pagi lu kesiangan.”
“Pulang gih, Nya…,” Andrie mendukung Marell.
Anya menghembuskan nafasnya. Padahal hari ini dia merasa senang karena bisa berkumpul dengan kelima ‘penjaganya’ itu. Tapi lagi-lagi… karena sindrom kebapakan mereka semua… Anya terpaksa mengalah (lagi-lagi). Anya berdiri dari duduknya dan dengan wajah di tekuk memandang Marell. Marell menyentil pipi Anya, “Kontrol tuh muka.”
“Rese lu….”
Marell tersenyum dan menggenggam tangan Anya, “Duluan,” Marell berpamitan pada keempat temannya yang masih betah duduk di tempatnya tanpa bergerak.
“Yo. Ati-ati lu! Jangan ngebut-ngebut.”
“Sip.”
“Jaga Anya.”
“Sip.”
Marell melangkah keluar dari warung tenda itu bersama dengan Anya. Marell kemudian menyerahkan sebuah helm berukuran lebih kecil dari helmnya dan ditempel stiker huruf A kepada Anya, “Pake.”
“Rese lu.”
“Iya…,” Marel tersenyum memandang tampang Anya yang masih kelipet-lipet itu.
“Rese.”
“Iya, iya…,” Marell naik ke atas motornya dan menyalakan mesin motornya, “Naik.”
Anya naik ke atas motor Marell dan memeluk pinggang Marell dan membiarkan kepalanya menyandar pada punggung Marell, “Rese… Lu paling rese sedunia…”
“Iya, iya… Pegang yang kuat ya… Jangan ketiduran lu.”
Anya tak membalas perkataan Marell lagi. Anya sekarang memilih tersenyum, menikmati kehangatan punggung Marell yang selama satu tahun ini selalu menemaninya. Marell tak pernah memarahi dirinya, membentakknya, begitupun dengan ketiga sahabatnya yang lain. Semua yang dilakukan oleh keempat sahabatnya itu, pastilah, terbaik untuk dirinya. Terkadang Anya memang merasa jengah dengan semua perhatian yang sedemikian banyaknya. Dia merasa menjadi sosok yang manja di depan keempat orang yang selalu berada di sampingnya itu. Terlebih setelah kepergian Nickho… keempat sahabatnya itu menjadi semakin over-protective terhadap Anya. Membuat Anya takut jika semua perhatian itu hanya semata-mata rasa kasian… atau sebatas tanggungjawab atas permintaan Nickho…
“Rell…”
“Hm?”
Anya terdiam sejenak. Anya mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk pertanyaannya, “Kalian semua… baik banget ya…”
“Lu ngomong apa sih?”
“Kalian… ngelakuin semua itu… maksud gue, kalian ngejaga gue sampe saat ini bukan karena semata-mata… kasian kan?”
Marell terdiam. Dia tak menjawab pertanyaan Anya.
“Rel…”
“Bisa nggak kalo nanya tuh mikir dulu?"
Anya terdiam mendengar perkataan Marell. Dikencangkannya pelukannya pada Marell. Betapa bodoh dirinya ini… Mengapa bisa berpikiran seperti itu. Anya memejamkan matanya dan berkata pelan, “Sorry…”
Marell melepaskan tangan kirinya dari setir motornya dan menepuk tangan Anya yang melingkar di pinggangnya, “Jangan pernah mikir kayak gitu lagi…”
“Iya…”
Perjalanan pun kembali hening… hanya sesekali terdengar suara angin dan daun yang tertiup angin malam…



1st Chapter oleh Melly P. K. R.

No comments: