Satu
Den Haag, Belanda…
Ancang-ancang lari aku nggak nampak untuk jedah sedikitpun. Kutarik membelah aspal biar tenggat waktu aku bisa lebih baik. Bus besar pun nggak bakal aku peduli, karna hari ini tepat ke tiga belas kalinya aku kesiangan. Bisa ditebak angka apa itu? Angka sial, tentunya plus keterlambatan basi lagi. Ya… ya… ya… aku terlambat, pasti dapat bonus rentetan ocehan Mr. Willy. Fuuih! Semakin menambah kebodohan yang aku lakuin. Aku harus sampai secepatnya atau pesangon akhir bulan ini nggak mampir dalam kantongku.
Sedikit lagi aku sampai di depan cafe. Lariku kini lebih kencang, dan mungkin sepuluh menit lagi kaki aku akan protes karna kelelahan.
Aku menarik napas perlahan, mengatur nada engah dari alur hidungku. Di depan, cafe sudah menunggu kerjaku. Aku mengendap masuk sebelum ketahuan Mr. Willy. Selangkah aku menyerong meja. Tiba-tiba ada yang menahan aku dengan kuat, tepat di ujung sepatuku. Cepat sekali terjadi dan… aku terjungkal jatuh kemudian, berlanjut dengan insiden aneh. Menempel bibirku di lantai cafe. Uh! nyeri langsung menyerangku seperti penyakit kronis. Oh, pagiku yang buruk.
Kakiku tersangkut kursi, juga seluruh tubuh merebah sakit di lantai cafe. Sudah pasti hadiah karna aku kualat.
Lima menit aku menenangkan diri, buru-buru aku menegak, agar nggak banyak orang melihat tingkah anehku. Lelucon pagi hari yang basi abis!
Bayangan buram dari mataku nampak menghilang. Oh lagi! Pemandangan nggak banget sudah siap menjamahku. Di sudut tembok semeter dariku, hadir Mr. Willy si empunya cafe. Bersiaplah aku! Ocehannya dengan aksen bahasa Belanda pasti membombardir kupingku. Untung aku nggak begitu paham bahasa Belanda, jadi semarah apapun Mr. Willy padaku nggak bakal aku peduli.
Nampak berapi-api wajah kesal Mr Willy. Sudah kuduga! Terus saja marah biar puas dengan bahasa Belanda yang aneh itu.
Kerjaku untuk mengisi liburan musim panas hampir selesai. Dan persis beberapa jam lagi berakhir masa kerjaku di cafe ini, lalu sepuluh hari dari sekarang liburanku tamat di akhir Agustus. Rasanya tiga bulan ini, membuat aku lebih mandiri. Walau harus kuterima ocehan basi, minimal ada sedikit kebanggaan.
Sebelum marah Mr. Willy naik ke ubun-ubun aku bergeser menjauh. Mataku tertahan, kecutan senyum menyapaku. Senyum yang lumayan indah. Bisa membuat lelaki manapun jatuh cinta. Pemilik senyum itu, Kania. Ya! Dia Kania, aku sih lebih suka plesetin namanya jadi Kanye.
Setahun ini Kanye teman terbaikku di Belanda. Teman sekampusku. Juga bercikal bakal dari Indonesia. Kami mengambil study international yang nawarin basic bahasa Inggris, jadi nggak usah repot-repot aku belajar bahasa Belanda. Berkali-kali juga Kania ngebet mengajariku bahasa lain, tapi aku malah menyerah, mending disuruh belajar bahasa Eskimo sekalian. Setahun sekolah di Haagse University of Professional Education, menambah skill bahasa Inggris-ku.
“Goedemorgen .”
“Kenapa senyam-senyum. Kaget ngeliat aku makin cantik?”
Kania menangkap gelagatku.
“Nggak tuh! Cantik? masih mending si Chatty, puppy-nya Mr. Willy.”
“Ko nyamain aku ma anjing,” gerutu Kania.
Aku membalasnya dengan kedipan nakal. Tatapanku lurus darinya, tertangkap satu bayangan yang biasa di mataku. Sosok itu, terpaku di depan cafe. Sosok melongok, diam, melihat ke dalam dan menunggu.
“Dia masih di sini? Mirip security ya!”
“Siapa? Toby? Jelas dong!”
Aku berdehem melihat tingkah Kania yang segera berseri-seri dua kali lipat dari biasanya. Dua rona pipinya menjadi lebih merah.
Toby, tepatnya Toby De Ad. Pacar Kania sejak enam bulan lalu. Satu kampus dengan aku juga Kania. Memilih jurusan yang sama, Communication Management. Keren? Ya pastilah si bule ini keren tentunya. Dia layaknya pengawal presiden, siap antar jemput. Selalu nangkring setiap pagi dan sore di depan cafe hanya untuk Kania. Bisa dua jam betah bertengger, Asli! Setia abis. Kayaknya si Toby bakal jadi perangko abadi nih.
“Kamu jadi balik?”
“Jadi, sebelum liburan musim panas benar-benar selesei. Semua urusan pun udah aku set rapi. Siap beres,” ucapku santai.
Aku melangkah mundur, niatku menjejal ruang belakang. Nggak kulihat sekat besar, langsung saja tembok cafe melahap wajah ini. Terbentur keras hingga lima bintang berputar-putar di kepalaku. Sial! Lagi dan lagi. Ingin segera aku mencincang tembok besar ini. Tambahkan juga pukulan keras di kepalaku biar sekalian lengkap kesialan aku hari ini!
Aku mengoleng pusing.
Terdengar tawa Kania muncul meledekku. Uh kesal…! Dia menertawaiku.
“Lo kenapa nggak pernah bilang ke gue sebelumnya. Lo akan jauh di sana dan gue nggak tau kapan lo hadir di sini lagi, setidaknya ngucapin sesuatu yang bisa ngebuat gue ada di dekat lo.”
“Ega, kamu harus percaya aku.”
“Percaya, Al? rasanya itu emang gampang. Tapi Al kita jauh. Dan gue…”
“Aku bisa lebih setia dari seribu malaikat.”
“Gue nggak tau lagi. Yang pasti pikiran gue udah kacau.”
“Kacau! Gimana dengan janji tadi?”
“Ale, gue tau. Bahkan nggak bakal hilang janji tadi dalam benak gue. Tapi lo bisa bayangin lima menit lalu lo bilang unek-unek hati lo pada gue. Dan lo pun tau, gue ngerasa hal yang sama seperti lo. Kini! Lo bilang harus lanjutin sekolah di Belanda untuk waktu yang lama... Gue nggak bisa ngejalanin hubungan long distance!”
“Percayalah. Aku yakin kita bisa ngelewatin semuanya. Kita bisa email-emailan, bisa nelpon atau smsan…”
“Nggak segampang itu, Al! Gue tetap nggak bisa.”
Jalan Ega beberapa senti melewati bayangan di depannya.
“Ega, Please!”
Terhenti Ega seketika, badannya kemudian membalik, “Percayalah gue akan selalu setia nungguin lo.” Tangan Ega naik menyusuri satu lingkaran cincin yang tersemat manis di jarinya.
“Sorry, Ale. Gue nggak bisa make hadiah ini. Akan gue pakai jika lo balik hanya untuk nemuin gue lagi. Dan gue akan nepatin janji gue. Gue akan selalu ada untuk lo!”
Ilusi setahun lalu di pantai Lombok, kini datang menghujamku lagi. Membuatku mengingat semua tentang Ega. Jauh dari kerumanan siswa lain aku menarik Ega menikmati malam pantai Lombok. Menjauhi acara perpisahan sekolah yang membosankan. Aku dan Ega menyusuri pantai hingga kuungkapkan rasa hatiku yang berbuntut asa-menggantung.
Kini mataku naik menjamah bintang-bintang di permukaan langit Den Haag. Lagi! Tubuhku terpaku duduk di jendela flat-ku sambil berayun kaki santai. Tangan aku naik mengikis lembut cincin pengembalian dari Ega.
Di lantai tiga ini, aku bisa menikmati semuanya. Puluhan rumah berarsitek Eropa, juga suguhan seribu bintang yang terasa unik menyiram rasa kangenku terhadap Jakarta. Malam ini, Den Haag lebih indah. Parodi polusi cahaya menggeliat setiap sudut kota. Mengagungkan! Aku berharap semoga Jakarta suatu saat seperti ini, dan hanya ada aku dan Ega, selamanya…
Ega, aku akan balik. Liburanku sepuluh hari akan aku tuntaskan di Jakarta. Dan kusembuhkan asa-menggantung, penyakit kronis stadium tak terlacak ini.
Aku tersentak kaget tiba-tiba. Terdengar bunyi gaduh dari ujung koridor flat-ku. Bunyi aneh. Buru-buru kumasukan cincin dalam kantong. Aku berlari panik menyusuri arah pintu, sambil mengintai pelan.
Dengan cepat, pintu flat terbuka sendiri. Sial! Daun pintu menimpukku dengan keras. Nyeri menyerangku sekian detik. Sakit minta ampun.
“Ngapain ngoleng kayak kapal mau tenggelam,” suara Kania menyambut aku lalu menyerong langkah melewatiku.
“Kapal tenggelam! Akibat kamu ngebuka pintu, kepalaku kejedot. Sakit tau!”
Terdengar tawa lucu Kania, “Bisa-bisa sepuluh menit lagi, kamu kena geger otak.”
“Nyumpahin aku! Nggak lucu Kanye! Sama sekali gak lucu!”
“Udah berapa kali aku bilang. Aku bukan Kanye. Tapi K-A-N-I-A. Kenapa nggak nambahin West sekalian biar lengkap jadi Kanye West. Trus aku ganti kelamin. Puas?”
“Gitu aja marah. Orang cantik nggak boleh marah. Dilarang keras.”
“Gombal abis! Katanya lebih cantik puppy-nya Mr. Willy. Sekarang ngerayu abis. Nggak mempan. Lebih ampuh gombalnya Toby.”
Seketika mataku mendelik wajah Kania dengan lekat, ada perubahan di bagian pelipis Kania.
“Pelipis kamu sepertinya lebam.”
“Oh ini… aku kejedot pintu.”
“Hush! Ternyata apes nggak kemana-mana. Aku tau, hasil kejedotku kayaknya nular dari kamu.”
Aku menyusul langkah Kania menuju sofa panjang.
“Ngapain malam-malam ke sini.”
“Gak, aku hanya mau ngasih ini. Besok kamu kan udah pergi.” Tangan Kania menggenggam kubus lucu.
“Hadiah? Aku tau, kamu nggak mau kan aku balik. Kangen?”
“Enak aja! Emang muka kamu ngangenin!”
“Iya,” jawabku percaya diri.
Deheman Kania muncul meledekku, “Lalu Association Young Communication Management itu, bukannya kamu ngebet banget. Pendaftarannya terakhir besok loh. Jangan sampai sia-sia begitu saja. Apalagi dananya gratis. Dan nggak semua mahasiswa ngedapat rekomendasi seperti kamu. Aku dengar, penelitian kali ini di Barcelona.”
“Ya aku tau, Barcelona.” Aku berdiam sejenak. Spontan dengusanku keluar. Kota itu! Kota yang paling aku tunggu, melebihi Paris sekalipun.
“Tekad aku udah bulat. Bukankah untuk ngejar sesuatu, kita harus ngorbanin yang lain? Aku bakal balik ke Indonesia. Dan pastinya kali ini aku gagal gabung dalam penelitian. Lagian aku bisa ikut kelompok penelitian tahun depan, walau tujuannya bukan Spanyol. Udahlah, aku harus kembali ngejar angan aku.”
Kania menatapku heran.
“Please… selama aku balik, tolong jaga flat aku. Aku percaya kamu.”
Bunyi itu lagi! Yang sama semalam!
Aku harus bangun karna kaget. Bunyi itu memberhanguskan tidurku yang nyenyak. Padahal mataku masih betah nyaman dalam kepulasan. Selimut kutarik malas. Aku setengah sempoyongan menuju pintu. Sepertinya ngantuk masih membuntutiku. Akan kuselediki, bunyi gaduh itu.
Aku menguap, dan bunyi gaduh itu hilang lagi setelah langkahku tepat di depan pintu flat.
Tangan aku meraba pintu. Kubuka lebar. Dan…
Teriakan besar kudengar tepat membombardir telinga. Di hadapanku Kania berdiri sambil histeris. Tangannya naik menutupi dua bola matanya.
“Ngapain kamu… Ale! Cepat pergi…!” teriak lantang Kania.
Kaget menyergapku. Pagi-pagi sudah kumakan dua suara aneh. Seketika juga turun mataku memperhatikan diri. Aku hanya memakai celana pendek saja dan bertelanjang dada. Shit! Langsung saja buru-buru kututup pintu flat dengan cepat. Agar nggak banyak orang menikmati lawakan yang nggak lucu pagi ini. Cukup sepasang mata saja dan jangan tambah dengan mata-mata lain.
Aku membalikan badan. Ya! Hanya Kania saja, batinku menarik asa lega.
Indra penglihatanku menumpu pada digital yang berpendam manis di dinding. Jam sembilan pagi! Aku hampir terlambat. Pesawatku akan segera take off setengah jam lagi. Tanpa peduli apapun, ancang-ancang kakiku super kilat menerobos pintu kecil di pojokan kamar. Hampir saja menabrak wastafel.
Hanya butuh sepuluh menit, aku sudah rapi. Koper dan segala urusan mengenai paspor, visa udah beres. Sempurna! Aku siap menuju bandara.
Aku menggulung lengan kemeja, hingga menyentuh ujung siku. Mataku turun rembug dari pintu flat. Hingga nampak koper hitam kecil di samping. Jemariku masih menggerakan kunci perlahan. Kutinggalkan koperku di koridor. Aku harus menuju kamar nomor tujuh. Aku harus berpamitan pada Kania, sekaligus kutitipkan kunci flat-ku. Aku yakin si Kanye bisa menjaga flat-ku.
Kakiku melibas lantai tiga dengan sigap. Di depan flat tujuh berdiri Kania. Lekukan tangannya seperti menahan pelipis. Di sampingnya berdiri Toby, si perangko. Pasangan ini memang setia. Lebih dari sekedar serasi.
Aku mendekati keduanya. Kulepas satu senyum andalanku. Langsung rangkulan ala koboi aku melekat hangat pundak Toby.
“Kan, this is my key. Please, keep my flat.”
Kania mengambil kunci itu.
Aku menatap dua sahabat terbaikku, “Toby, Kan… Sorry I’ve got to go now.”
“Take care of yourself,” sambut Toby padaku.
Aku iri dengan kedekatan keduanya. Andai aku dan Ega seperti ini… dan bisa kubalikan kenangan pantai Lombok. Ya! Pengorbanan Barcelona akan terganti dengan kenangan Lombok.
Jalanku kembali berlawanan arah. Niatku mengangkut koper hitam kecil di depan flat. Bakal ada kerinduan mendalam yang aku tinggalin di Den Haag. Tanpa semenit berlalu, tiba-tiba benar, asa kerinduan menyergapku. Aku terhenti sejenak. Membiarkan asa itu menjalari seluruh tubuhku.
Ega… kataku terakhir lalu menapaki kaki meraih anak tangga menuju lantai bawah.
Ancang-ancang lari aku nggak nampak untuk jedah sedikitpun. Kutarik membelah aspal biar tenggat waktu aku bisa lebih baik. Bus besar pun nggak bakal aku peduli, karna hari ini tepat ke tiga belas kalinya aku kesiangan. Bisa ditebak angka apa itu? Angka sial, tentunya plus keterlambatan basi lagi. Ya… ya… ya… aku terlambat, pasti dapat bonus rentetan ocehan Mr. Willy. Fuuih! Semakin menambah kebodohan yang aku lakuin. Aku harus sampai secepatnya atau pesangon akhir bulan ini nggak mampir dalam kantongku.
Sedikit lagi aku sampai di depan cafe. Lariku kini lebih kencang, dan mungkin sepuluh menit lagi kaki aku akan protes karna kelelahan.
Aku menarik napas perlahan, mengatur nada engah dari alur hidungku. Di depan, cafe sudah menunggu kerjaku. Aku mengendap masuk sebelum ketahuan Mr. Willy. Selangkah aku menyerong meja. Tiba-tiba ada yang menahan aku dengan kuat, tepat di ujung sepatuku. Cepat sekali terjadi dan… aku terjungkal jatuh kemudian, berlanjut dengan insiden aneh. Menempel bibirku di lantai cafe. Uh! nyeri langsung menyerangku seperti penyakit kronis. Oh, pagiku yang buruk.
Kakiku tersangkut kursi, juga seluruh tubuh merebah sakit di lantai cafe. Sudah pasti hadiah karna aku kualat.
Lima menit aku menenangkan diri, buru-buru aku menegak, agar nggak banyak orang melihat tingkah anehku. Lelucon pagi hari yang basi abis!
Bayangan buram dari mataku nampak menghilang. Oh lagi! Pemandangan nggak banget sudah siap menjamahku. Di sudut tembok semeter dariku, hadir Mr. Willy si empunya cafe. Bersiaplah aku! Ocehannya dengan aksen bahasa Belanda pasti membombardir kupingku. Untung aku nggak begitu paham bahasa Belanda, jadi semarah apapun Mr. Willy padaku nggak bakal aku peduli.
Nampak berapi-api wajah kesal Mr Willy. Sudah kuduga! Terus saja marah biar puas dengan bahasa Belanda yang aneh itu.
Kerjaku untuk mengisi liburan musim panas hampir selesai. Dan persis beberapa jam lagi berakhir masa kerjaku di cafe ini, lalu sepuluh hari dari sekarang liburanku tamat di akhir Agustus. Rasanya tiga bulan ini, membuat aku lebih mandiri. Walau harus kuterima ocehan basi, minimal ada sedikit kebanggaan.
Sebelum marah Mr. Willy naik ke ubun-ubun aku bergeser menjauh. Mataku tertahan, kecutan senyum menyapaku. Senyum yang lumayan indah. Bisa membuat lelaki manapun jatuh cinta. Pemilik senyum itu, Kania. Ya! Dia Kania, aku sih lebih suka plesetin namanya jadi Kanye.
Setahun ini Kanye teman terbaikku di Belanda. Teman sekampusku. Juga bercikal bakal dari Indonesia. Kami mengambil study international yang nawarin basic bahasa Inggris, jadi nggak usah repot-repot aku belajar bahasa Belanda. Berkali-kali juga Kania ngebet mengajariku bahasa lain, tapi aku malah menyerah, mending disuruh belajar bahasa Eskimo sekalian. Setahun sekolah di Haagse University of Professional Education, menambah skill bahasa Inggris-ku.
“Goedemorgen .”
“Kenapa senyam-senyum. Kaget ngeliat aku makin cantik?”
Kania menangkap gelagatku.
“Nggak tuh! Cantik? masih mending si Chatty, puppy-nya Mr. Willy.”
“Ko nyamain aku ma anjing,” gerutu Kania.
Aku membalasnya dengan kedipan nakal. Tatapanku lurus darinya, tertangkap satu bayangan yang biasa di mataku. Sosok itu, terpaku di depan cafe. Sosok melongok, diam, melihat ke dalam dan menunggu.
“Dia masih di sini? Mirip security ya!”
“Siapa? Toby? Jelas dong!”
Aku berdehem melihat tingkah Kania yang segera berseri-seri dua kali lipat dari biasanya. Dua rona pipinya menjadi lebih merah.
Toby, tepatnya Toby De Ad. Pacar Kania sejak enam bulan lalu. Satu kampus dengan aku juga Kania. Memilih jurusan yang sama, Communication Management. Keren? Ya pastilah si bule ini keren tentunya. Dia layaknya pengawal presiden, siap antar jemput. Selalu nangkring setiap pagi dan sore di depan cafe hanya untuk Kania. Bisa dua jam betah bertengger, Asli! Setia abis. Kayaknya si Toby bakal jadi perangko abadi nih.
“Kamu jadi balik?”
“Jadi, sebelum liburan musim panas benar-benar selesei. Semua urusan pun udah aku set rapi. Siap beres,” ucapku santai.
Aku melangkah mundur, niatku menjejal ruang belakang. Nggak kulihat sekat besar, langsung saja tembok cafe melahap wajah ini. Terbentur keras hingga lima bintang berputar-putar di kepalaku. Sial! Lagi dan lagi. Ingin segera aku mencincang tembok besar ini. Tambahkan juga pukulan keras di kepalaku biar sekalian lengkap kesialan aku hari ini!
Aku mengoleng pusing.
Terdengar tawa Kania muncul meledekku. Uh kesal…! Dia menertawaiku.
***
“Lo kenapa nggak pernah bilang ke gue sebelumnya. Lo akan jauh di sana dan gue nggak tau kapan lo hadir di sini lagi, setidaknya ngucapin sesuatu yang bisa ngebuat gue ada di dekat lo.”
“Ega, kamu harus percaya aku.”
“Percaya, Al? rasanya itu emang gampang. Tapi Al kita jauh. Dan gue…”
“Aku bisa lebih setia dari seribu malaikat.”
“Gue nggak tau lagi. Yang pasti pikiran gue udah kacau.”
“Kacau! Gimana dengan janji tadi?”
“Ale, gue tau. Bahkan nggak bakal hilang janji tadi dalam benak gue. Tapi lo bisa bayangin lima menit lalu lo bilang unek-unek hati lo pada gue. Dan lo pun tau, gue ngerasa hal yang sama seperti lo. Kini! Lo bilang harus lanjutin sekolah di Belanda untuk waktu yang lama... Gue nggak bisa ngejalanin hubungan long distance!”
“Percayalah. Aku yakin kita bisa ngelewatin semuanya. Kita bisa email-emailan, bisa nelpon atau smsan…”
“Nggak segampang itu, Al! Gue tetap nggak bisa.”
Jalan Ega beberapa senti melewati bayangan di depannya.
“Ega, Please!”
Terhenti Ega seketika, badannya kemudian membalik, “Percayalah gue akan selalu setia nungguin lo.” Tangan Ega naik menyusuri satu lingkaran cincin yang tersemat manis di jarinya.
“Sorry, Ale. Gue nggak bisa make hadiah ini. Akan gue pakai jika lo balik hanya untuk nemuin gue lagi. Dan gue akan nepatin janji gue. Gue akan selalu ada untuk lo!”
Ilusi setahun lalu di pantai Lombok, kini datang menghujamku lagi. Membuatku mengingat semua tentang Ega. Jauh dari kerumanan siswa lain aku menarik Ega menikmati malam pantai Lombok. Menjauhi acara perpisahan sekolah yang membosankan. Aku dan Ega menyusuri pantai hingga kuungkapkan rasa hatiku yang berbuntut asa-menggantung.
Kini mataku naik menjamah bintang-bintang di permukaan langit Den Haag. Lagi! Tubuhku terpaku duduk di jendela flat-ku sambil berayun kaki santai. Tangan aku naik mengikis lembut cincin pengembalian dari Ega.
Di lantai tiga ini, aku bisa menikmati semuanya. Puluhan rumah berarsitek Eropa, juga suguhan seribu bintang yang terasa unik menyiram rasa kangenku terhadap Jakarta. Malam ini, Den Haag lebih indah. Parodi polusi cahaya menggeliat setiap sudut kota. Mengagungkan! Aku berharap semoga Jakarta suatu saat seperti ini, dan hanya ada aku dan Ega, selamanya…
Ega, aku akan balik. Liburanku sepuluh hari akan aku tuntaskan di Jakarta. Dan kusembuhkan asa-menggantung, penyakit kronis stadium tak terlacak ini.
Aku tersentak kaget tiba-tiba. Terdengar bunyi gaduh dari ujung koridor flat-ku. Bunyi aneh. Buru-buru kumasukan cincin dalam kantong. Aku berlari panik menyusuri arah pintu, sambil mengintai pelan.
Dengan cepat, pintu flat terbuka sendiri. Sial! Daun pintu menimpukku dengan keras. Nyeri menyerangku sekian detik. Sakit minta ampun.
“Ngapain ngoleng kayak kapal mau tenggelam,” suara Kania menyambut aku lalu menyerong langkah melewatiku.
“Kapal tenggelam! Akibat kamu ngebuka pintu, kepalaku kejedot. Sakit tau!”
Terdengar tawa lucu Kania, “Bisa-bisa sepuluh menit lagi, kamu kena geger otak.”
“Nyumpahin aku! Nggak lucu Kanye! Sama sekali gak lucu!”
“Udah berapa kali aku bilang. Aku bukan Kanye. Tapi K-A-N-I-A. Kenapa nggak nambahin West sekalian biar lengkap jadi Kanye West. Trus aku ganti kelamin. Puas?”
“Gitu aja marah. Orang cantik nggak boleh marah. Dilarang keras.”
“Gombal abis! Katanya lebih cantik puppy-nya Mr. Willy. Sekarang ngerayu abis. Nggak mempan. Lebih ampuh gombalnya Toby.”
Seketika mataku mendelik wajah Kania dengan lekat, ada perubahan di bagian pelipis Kania.
“Pelipis kamu sepertinya lebam.”
“Oh ini… aku kejedot pintu.”
“Hush! Ternyata apes nggak kemana-mana. Aku tau, hasil kejedotku kayaknya nular dari kamu.”
Aku menyusul langkah Kania menuju sofa panjang.
“Ngapain malam-malam ke sini.”
“Gak, aku hanya mau ngasih ini. Besok kamu kan udah pergi.” Tangan Kania menggenggam kubus lucu.
“Hadiah? Aku tau, kamu nggak mau kan aku balik. Kangen?”
“Enak aja! Emang muka kamu ngangenin!”
“Iya,” jawabku percaya diri.
Deheman Kania muncul meledekku, “Lalu Association Young Communication Management itu, bukannya kamu ngebet banget. Pendaftarannya terakhir besok loh. Jangan sampai sia-sia begitu saja. Apalagi dananya gratis. Dan nggak semua mahasiswa ngedapat rekomendasi seperti kamu. Aku dengar, penelitian kali ini di Barcelona.”
“Ya aku tau, Barcelona.” Aku berdiam sejenak. Spontan dengusanku keluar. Kota itu! Kota yang paling aku tunggu, melebihi Paris sekalipun.
“Tekad aku udah bulat. Bukankah untuk ngejar sesuatu, kita harus ngorbanin yang lain? Aku bakal balik ke Indonesia. Dan pastinya kali ini aku gagal gabung dalam penelitian. Lagian aku bisa ikut kelompok penelitian tahun depan, walau tujuannya bukan Spanyol. Udahlah, aku harus kembali ngejar angan aku.”
Kania menatapku heran.
“Please… selama aku balik, tolong jaga flat aku. Aku percaya kamu.”
***
Bunyi itu lagi! Yang sama semalam!
Aku harus bangun karna kaget. Bunyi itu memberhanguskan tidurku yang nyenyak. Padahal mataku masih betah nyaman dalam kepulasan. Selimut kutarik malas. Aku setengah sempoyongan menuju pintu. Sepertinya ngantuk masih membuntutiku. Akan kuselediki, bunyi gaduh itu.
Aku menguap, dan bunyi gaduh itu hilang lagi setelah langkahku tepat di depan pintu flat.
Tangan aku meraba pintu. Kubuka lebar. Dan…
Teriakan besar kudengar tepat membombardir telinga. Di hadapanku Kania berdiri sambil histeris. Tangannya naik menutupi dua bola matanya.
“Ngapain kamu… Ale! Cepat pergi…!” teriak lantang Kania.
Kaget menyergapku. Pagi-pagi sudah kumakan dua suara aneh. Seketika juga turun mataku memperhatikan diri. Aku hanya memakai celana pendek saja dan bertelanjang dada. Shit! Langsung saja buru-buru kututup pintu flat dengan cepat. Agar nggak banyak orang menikmati lawakan yang nggak lucu pagi ini. Cukup sepasang mata saja dan jangan tambah dengan mata-mata lain.
Aku membalikan badan. Ya! Hanya Kania saja, batinku menarik asa lega.
Indra penglihatanku menumpu pada digital yang berpendam manis di dinding. Jam sembilan pagi! Aku hampir terlambat. Pesawatku akan segera take off setengah jam lagi. Tanpa peduli apapun, ancang-ancang kakiku super kilat menerobos pintu kecil di pojokan kamar. Hampir saja menabrak wastafel.
***
Hanya butuh sepuluh menit, aku sudah rapi. Koper dan segala urusan mengenai paspor, visa udah beres. Sempurna! Aku siap menuju bandara.
Aku menggulung lengan kemeja, hingga menyentuh ujung siku. Mataku turun rembug dari pintu flat. Hingga nampak koper hitam kecil di samping. Jemariku masih menggerakan kunci perlahan. Kutinggalkan koperku di koridor. Aku harus menuju kamar nomor tujuh. Aku harus berpamitan pada Kania, sekaligus kutitipkan kunci flat-ku. Aku yakin si Kanye bisa menjaga flat-ku.
Kakiku melibas lantai tiga dengan sigap. Di depan flat tujuh berdiri Kania. Lekukan tangannya seperti menahan pelipis. Di sampingnya berdiri Toby, si perangko. Pasangan ini memang setia. Lebih dari sekedar serasi.
Aku mendekati keduanya. Kulepas satu senyum andalanku. Langsung rangkulan ala koboi aku melekat hangat pundak Toby.
“Kan, this is my key. Please, keep my flat.”
Kania mengambil kunci itu.
Aku menatap dua sahabat terbaikku, “Toby, Kan… Sorry I’ve got to go now.”
“Take care of yourself,” sambut Toby padaku.
Aku iri dengan kedekatan keduanya. Andai aku dan Ega seperti ini… dan bisa kubalikan kenangan pantai Lombok. Ya! Pengorbanan Barcelona akan terganti dengan kenangan Lombok.
Jalanku kembali berlawanan arah. Niatku mengangkut koper hitam kecil di depan flat. Bakal ada kerinduan mendalam yang aku tinggalin di Den Haag. Tanpa semenit berlalu, tiba-tiba benar, asa kerinduan menyergapku. Aku terhenti sejenak. Membiarkan asa itu menjalari seluruh tubuhku.
Ega… kataku terakhir lalu menapaki kaki meraih anak tangga menuju lantai bawah.
***
1st Chpater oleh Ello Aristhosiyoga
http://elloaristhosiyoga.blogspot.com
http://elloaristhosiyoga.blogspot.com
5 comments:
Pasti saat semua baca setiap 1st chapter, tanda tanya bakal menghampiri, maksudnya apa? Kok putus gitu aja nggak ada lanjutannya? Nah kenapa mesti aku ninggalin komen di sini?
Izinkan aku mau ngasih apresiasi terbesarku buat pihak Gagas yang telah menemukan salah satu 1st chapter terbaik, dibanding yang telah ada. Jadi, sekarang bakal aku kupas sesuai kacamataku.
Jujur aku nggak suka ninggalin commen di artikel yang kurasa kurang bagus. Tapi aku kecantol dengan tulisan ini sebab beberapa hal;
Pertama: Judulnya orisinil, meski gue nggak nemuin satupun yang berhubungan dengan judul novel ini, tapi asli, penentuan judul bisa narik pembaca untuk ngebaca nih novel. Intinya, judul Vega Syndrome bikin penasaran (masalahnya adalah apakah judul ini hasil edit tim Gagas atau milik penulis sendiri).
Kedua: Bahasa penulis di sini kelihatan lebih baik dari yang di pernah dimuat, kecuali untuk cerpen yang kualitasnya OK-OK semua!
Ketiga: Setting-nya paling menggigit deh! Kate orang Nendang Banget! Gimana nggak, Den Haag? Trus ada yang di Lombok juga. Ini sih orisinil banget. Aku pikir ini imajinatif & luar biasa.
Empat: Isinya nggak Bassi, alias nggak melulu nampilin kisah cewek.
Siip buat penulisnya deh.
Yang menggugah aku tuh! Kepergian si tokoh utama ke Indonesia dan harus melupakan impiannya ke Barcelona.
Aku tunggu lanjutannya, (tapi di sini nggak ada 2nd chapter kan? ) BTW, lanjutannya bakal seseru first chapter-nya nggak ya?
eeeeenggggg.....
ane agak bingung baca cerpennya,bahasanya agak susah buat orang yg g peka...
bisa2 g nyambung...
trus peran Mr.Willy yg ilang tiba2..
krg menonjol perannya Mr.Willy
tapi oke juga,ada persahabatan,perpisahan,impian...
Ada Indonesia, n Eropa....
Ampun… panjang bener, seneng rasanya ngeliat tulisan ini karena perluasan seting penulis2 sekarang sangat memukau. Tapi emang dasarnya untuk semua first chapter membuat bingung, soalnya nggak ada ending-nya. Frist chapter ini lumayan bagus. Isinya juga banyak menggunakan pemberdaharaan kata. Cukup imajinatif untuk seorang penulis. Nggak tanggung-tanggung penulis memasukan tiga setting langsung di bagian pertama novel ini, Den Haag - Belanda, Lombok, dan mungkin segera menyusul Barcelona.
The last, mau ngasih selamat buat yang nulis, lo hebat. Nyaris nggak ada kesalahan dalam penulisan. Keren euy!
cmn dkit ja komen dr aku,tlisannya chi da mnarik cmn terlalu bnyak km gunain bhs gaul gtu!!!jd slit bgi sbagian orng tuk ngarti jlan crita dr tlisan km yg satu ini.tp lmayan chi!!bs mnarik prhatian sbgian bsar pembca,sala-satu di antranya ya aku.mnurut pngamatan sy tulisan km sudah lmayan bgus ya,,mskipun sy blm smpat bc tulisan km smpai hbis.km sudah ngrti bnyak dlm hal pnulisan mlai dr pnempatan tanda baca,sprti koma,seru,tanya dan tanda ti2k.krn bnyak pngalaman yg sy tmukan dlm berbagai cerpen maupun hasil tulisan yg smpat di trbitkan oleh kawan2 yg bru bljar membuat cerpen puisi dll msih trdapat bnyak kelemahan dlm hal pnempatan tanda2 baca.!!!apresiasi sy yg trakhir buat km turus kembangkn bakat nulis km krn sy ykin suatu hr nanti km akn mnjadi seorang pnulis yg handal dan propersional,dan km akn mnjadi lbih baik dr saat ini.dan muda2han tlisan km bs di pkai sbgai bhan pnutan bgi smua orang di masa yg akan dtang..!!!!!
Hak Jawab
Waduh, kagak nyangka sebelumnya komentarnya pada panjang leuuubar kayak gini, aku bakal jawab sebisanya, boleh? Ya dibolehin dong!!!
@Omel Sweet: pertama: makasih udah komentarin tentang judulnya. Judulnya emang segitu aslinya, bukan hasil editan tim Gagas. Dan sengaja pula nggak beberin maksud Vega Syndrome sendiri, kalo emang bikin penasaran, thanks banget, itu yang gue pengin. Dua: luar dugaan memang, bahasa aku dibilang lebih baik. Maybe gue mesti belajar lagi, soal bahasa dalam penulisan biar tambah lihai. Ketiga: Setingnya nendang banget? Wow really? Kayaknya berlebihan deh… setingnya di situ karena beberapa pertimbangan. Empat: isinya emang cowok, pokoknya cowok banget deh, jenis tulisannya sendiri Ladlit.
@My Simple Dream: mampus! tulisan gue dibilang nggak nyambung? Mungkin benar apa yang dikatakan oleh My Simple Dream, kali aja nggak peka dalam bacanya, mungkin dibaca sambil ngedengerin musik kali ya… biar asik. Tapi itu lumrah kok. Itu juga terjadi padaku, saat aku baca 1st novel Lafaz Cinta milik Sinta Yudisia, 1st teenlit That Silent Summer milik Elaine Medline atau 1st teenlit New Age karya Andryan Suhardi. 1st tiga novel itu agak bingung buatku, belum tahu maksudnya apa, tapi dari 1st itu yang kita bisa narik kesimpulannya. ya, mungkin… komentarnya yang bisa diambil yaitu: tentang bahasanya, setingnya, bayangan beberapa pertanyaan dari kisahnya yang masih mengganjal ato yang dibilang bikin penasaran gitu. Dan trus masalah peran Mr. Willy kurang menonjol itu… tunggu aku suka dengan cara kamu menilai 1st novelku ini, teliti banget. Emang sih kuakui semua tokoh di situ kurang menonjol, mungkin baru bagian pertama kali ya, tapi aku appreciete banget kritik kamu. Dan terakhir, aku bangga kamu bisa menilai bagian pertama ini dengan sekali baca, bisa ngambil kesimpulan kalo ada “Persahabatan, Perpisahan, Impian, Indonesia dan Eropa”, sungguh aku kagak nyangka sebelumnya. Tapi… penjelasan kesimpulan itu bisa kebukti mungkin dibagian 2nd, 3rd hingga the last chapter kali ya…
@Tiber: ya emang begitu, namanya juga novel, pasti bagian pertamanya nggak ada ending-nya kan? Trus soal pembendaharaan kata, thanks banget, aku pikir aku amatiran., ternyata lagi-lagi diluar dugaan. Aku dibilang imajinatif? Aku harus lebih giat menulis lagi sekarang, karena motivasiku berada di tangan pembaca. Tiber, Untuk masalah seting udah aku jawab di atas.
@Sarlin: kalo nggak ngerti bahasa gaul sih…. Aku nggak tau ya… lain soal kalo kamu nggak ngerti soal bahasanya. Atau mungkin bacanya secara online, makanya nggak sempat ngerti jalan ceritanya. Aduh… masalah lagi! Secara garis besar teenlit, metrochic atau ladlit banyak gunain bahsa gaul memang, jauh dari kesan bahasa baku, bila bahasa formal digunain, kurasa kaku banget untuk konsumsi pembaca remaja. Tapi alhamdulillah tulisan aku bisa narik pembaca, (jadi ge-er). Eit napa kamu nggak baca sampai tuntas? Berarti nggak pool dong ngasih komennya. Trus makasih udah ngebandingin tulisan aku dengan beberapa tulisan kawan-kwan yg masih salah nempatin tanda baca, sehingga sejauh ini tulisan aku masih aman-aman saja, maksudnya penempatan tanda bacanya pas ya?. Lagi2 nih apresiasinya kelebihan tuh, kok akunya dibilang sampai begitu. Mudah2an deh semuanya kewujud seperti yang kamu bilang di atas… jadi penulis professional n handal. Tapi tetep kita kan mesti belajar, kan nggak ada salahnya lebih giat lagi. Btw ini tulisan pertama aku di blog-nya gagas kok.
Buat semua yang udah kasih komen, sekali lagi aku ucapin terima kasih paling dalam deh. Maaf… balasan komentarnya panjang bener. Kunjungi blog aku dong, ada review buku dipostingan paling baru (http://elloaristhosiyoga.blogspot.com)
Post a Comment