Tuesday, May 26, 2009

Kelopak Flamboyan Luruh

aku melabuhkan malamku padanya
secarik kisah dan selibat dusta
masihkah kata-kataku menyayatnya?
menggumpal duka di dalam lelapnya?

elmo



Jurnal Elmo, 1 Februari 2006
Saat-kau-memutuskan-untuk-tidak-mengenalku

Tiga detik yang lekat di kenangan. Kau berdiri tegak dalam bingkai pintu kamarku. Angin beku. Matamu sedih. Kata-katamu mengiris waktu. Memutus kisahmu dalam hariku. Kalimat standar dalam akhir semua lakon, “Terima kasih, Elmo!”

Dan kau pergi dengan segayut duka.

Jika aku terus menulis tentangmu saat ini. Mungkin akan ada cerita berjudul Kisah Kekeliruan. Kekeliruan yang wajar. Kekeliruan yang akan meretas sebuah kemungkinan. Persis mimpi yang menjadi benih kehidupan.

Seperti daun-daun yang jatuh. Berserak, bereaksi, perlahan-lahan, dipanggang waktu, matahari dan hujan. Menjadi humus, memberi hara pada akar-akar yang menggeliat di tanah.

Sebanyak jalan mimpi, maka kekeliruan adalah jalan lain yang tak pernah kita pilih. Namun terkadang ada hal-hal yang membuat kita terbelok, bahkan tercampak ke jalan lain itu tanpa kita sadari. Kekeliruan yang berbuah sama wajar dengan impian yang mewujud.

Orang Amerika bilang every cloud has silver lining. Lagi pula mereka sudah membuktikan itu semua. Bangsa Amerika takkan seperti hari ini tanpa kekeliruan si Columbus dalam perjalanan menuju India bukan?

Dalam pahit kesalahan, selalu ada hal manis yang menunggu. Hanya, ya, hanya jika kita percaya. Dan SEMESTA! Aku menunggu!



Rabu, 16 November 2005. SMA Taman Ilmu (Tami), Jakarta.
Elmo: Melirik Cinta.
Dia punya alasan untuk berdiri di sana. Adegan yang belakangan ini paling ingin kuhindari, tapi mata kami bertemu. Layangkan, Elmo layangkan pandangan ke arah lain! Kaki. Merah.

Pagi sebelum berangkat, aku menjatuhkan kalender meja. Halaman November 2005. Gambar taman dikerubuti merah. Gerombolan tulip mekar. Mungkin di Keukenhof. Konon Keukenhof adalah taman bunga yang paling sering di potret untuk kalender. Entahlah. Sebagaimana cerita yang berawalan konon. Asal-usulnya memang sulit ditelusuri. Yang pasti, warna merah itu milik bunga mekar musim semi. Tapi kenyataannya, yang kualami, November ini adalah saat angin dingin sering bertiup, merontokkan daun, kelopak bunga, dan seringkali hujan.

Aku meliriknya sedikit lagi. Menarik nafas.

Alih-alih mengalami semi, ataupun musim rontok, perasaan Cinta Lestari pasti sedang dalam masa kemarau; tandus. Menatap wajahnya yang kaku. Aku merasa mirip seperti Marlin yang mencari Nemo namun harus berhadapan dengan hiu.

“El?” Ia menodongku dekat pohon flamboyan yang bercokol di sudut sekolah.

Satu-satu siswa melintas. Sebagian besar telah menyerbu deretan meja jajanan, dan bangku kantin. Di sana ia sendiri, menjulang kokoh di atas sebentang lautan merah dari kelopak flamboyan. Alasannya mencegatku, hanya satu. Minta tanda tangan buat tetangganya yang lagi ngidam? Iya, kalau aku Nicholas Saputra.

Jika saja aku bisa menjawab dengan senyuman. Ini sungguh saat yang sempurna. Suasana indah, lalu ada rasa bahagia yang tumbuh di hati. Tapi kadang ada keadaan tertentu membuat dua hal asing berjodoh menjadi sebuah kepatutan. Mungkin seperti bunga di dalam bakso misalnya. Dan kali ini harus menjadi adegan klise perjodohan bunga rontok dan air mata. Persis filem tipikal digemari-cewek-karena-bisa-nangis-berjamaah-pas-nonton. Sweet November? Autumn in New York? The Note Book? Dan jika ini adalah adegan filem semacam itu. Mungkin judulnya adalah, Finding Elmo?

Cinta menggigit bibir bawahnya yang melengkung seperti pisang raja. Aku sudah sangat tahu pertanyaan yang tersembunyi di balik bibirnya itu, wajah itu, kernyit itu. Butuh satu tahun untuk memahaminya. Dan dengannya ia telah menarikku menjadi bagian dari kehidupannya. Paling tidak untuk satu hal yang sedang ia tunggu sekarang.

Ah, jika terkadang aku ingin bertemu Hermione dan minta disihir menjadi pohon pisang. Saat ini adalah satu diantaranya. Karena aku tidak bisa melakukannya dengan cara yang lebih baik.

Cinta melarangku.

Padahal hal terberat menjadi manusia bagiku adalah bersedih. Menangisi sebuah tragedi. Dan aku punya sendiri. Tapi ini bukan tentang hidupku. Karena itu aku menerimanya.

Ia terus menatapku. Keringat meluncur di pipiku. Kegelisahan ini, tentu bukan karena tiga kado pagi pak Sarwani. Soal-soal fisika adalah mainan favoritku. Walaupun aku bukan tipe ksatria olimpiade. Tapi untukku disodori soal fisika seperti kebanyakan cowok disodori cewek cantik pake rok mini -kalau kamu tahu apa yang aku maksud.

Mataku bertemu dengan matanya. Aku menarik nafas panjang. Satu detik, dua detik, tiga detik. Ini saatnya.

Leherku, berputar kekiri dan kekanan. Menggeleng.

“Enggak ada…”

Apa mukaku sudah terlihat cukup sedih? Entahlah. Tidak ada kaca disini.

Angin bertiup kencang. Sosoknya seperti patung malaikat di kuburan tua. Berkerut dan penuh lumut. Ia menerima gelenganku dengan wajah muram.

Sebetulnya aku sangat bisa memilih mengatakannya diiringi senyum atau tawa. Lagipula penelitian membuktikan, menatap orang tersenyum akan mengundang wajah kita ikut tersenyum.

Sekali aku pernah menjawabnya dengan gelengan. Bilang tidak sambil tersenyum. Dan ia tersinggung. Aku tidak menghargai perasaannya, katanya. Orang cemas memang kadang suka sensitif, atau mungkin juga saat itu dia sedang PMS. Yang jelas, sejak itu aku terpaksa menyelaraskan warna mukaku dengan berita yang aku bawa.

Angin semakin kencang. Lalu kami berjalan menembus serpihan bunga flamboyan.

Duduk pada jejeran bangku plastik di depan gerobak bakso pak Mamat. Dan Cinta minta
semangkuk bakso bunga.

Sudah hampir tiga bulan. Wajahnya redup. Dan dia terpaku menatap meja putih penuh coretan.
Kuis: Eta? a.Bebek b.Ember Cinta Inside!
Someone Loves Dinda Mirtha Rocks!
Elmo Love Bella

Sial! Kenapa coretan itu masih disitu?

Aku harap ada yang datang memecahkan kebekuan kami. Dan semesta menjawab. Your wish is my command!

Duk! Sebuah timpukan mengenai bahuku. Aku menunduk. Mataku menangkap segulung kaos yang terbungkus plastik, diikat karet dengan label Elmo.

Sorry friend…” Dono yang tangannya baru saja dipinjam malaikat, menghampiri meja kami. Tahun lalu dia adalah kepala Redaksi Sky, majalah sekolah, dan aku salah seorang anggotanya. Tahun ini kami sudah tidak dalam redaksi, merangkak menjadi anggota kehormatan. Yeah Right!

“Eh, katanya PAT bulan ini absen. Pak Irwan minta satu halaman…” Ucapnya sambil mencomot kerupuk di meja. Kriuk!!!

“My eternal question, kenapa halaman PAT terus yang jadi korban?“ Aku teringat saat aku masih memegang kolom PAT (Parodi Anak Taman Ilmu), nasibnya juga serupa. Digusur untuk informasi lain yang katanya lebih penting. Tapi Dono si ketua redaksi tidak pernah tega mengabsenkan kolom PAT. Hanya mengecilkan halamannya.

“Biasa pak Irwan. Sosialisasi peraturan, mungkin.” Pak Irwan itu kepala sekolah Taman Ilmu. Or we need to call him King? Aku mendengus.

Amir adiknya bang Mamat mengangsurkan dua mangkok bakso di meja depanku.

“Elmo ya Mir!” Dono mengacungkan bungkusan kerupuk yang masih tersisa di tangannya lalu menunjuk padaku.

Kenapa aku? Dan dia pergi membawa tawa.

Asap mengepul naik. Lima biji bakso dan mie kuning. Daun sawi dan bawang goreng. Benda-benda sederhana yang menggenang dalam kuah bening itu biasanya mampu membangkitkan hasrat menggila yang tidur dalam perutku. Aku melirik Cinta. Ia menerimanya dengan raut dingin. Dan menular padaku.

Mataku kembali terantuk pada kaos yang tergulung di meja. Sepenggal tulisan Jurnalis Sekolah membuatku berpikir. Sebetulnya aku bukan termasuk diantara yang disebut jurnalis sekolah. Karena yang aku tulis adalah parodi dari berita siswa di sekolah kami. Lebih tepat di sebut fiksi adaptasi. Rekaan yang berdasarkan pada kenyataan. Seperti karikatur dalam format kata-kata.

Cinta masih tercenung menatap isi mangkuknya. Sementara tanganku mulai terbangun menjelajahi sehampar meja. Kecap. Jeruk nipis. Saos tomat. Sambal.

“Ngapain ngaca di situ? Tampang jelek enggak bakal jadi bagus walaupun dibandingkan sama pentol bakso!”

Dia tersenyum sedikit. Seperti garis bibir yang diukir oleh pemahat amatir di atas batangan sabun mandi.

“Aku khawatir El…”

“Dengan wajahmu yang mirip bakso?”

Kali ini dia merengut. Khas cewek sentimentil!

“Sabar. Enggak akan ada apa-apa deh!“ Kata-kataku lebih terdengar seperti doa. Sebetulnya aku hanya mengulang kalimat sama dengan cara yang berbeda. Tapi apa lagi yang bisa seorang teman lakukan? Ya itulah sebaik-baik artiku bagimu Cinta
***

Sayangnya terkadang Cinta terlalu kere untuk membeli kesabaran. Ya seandainya dijual di toko! Hanya tiga hari sejak pembicaraan di meja bakso soal kesabaran itu. Pulang sekolah ia menyerbu rumahku. Mengucap salam pada kakekku yang sedang mengamati bunga mangga yang mengerubuti pohonnya.

“E, Gita…”

Mengherankan. Kakekku ingat sosok Cinta tapi selalu salah dengan namanya. Seperti dia juga salah mengingat nama-nama anak kost yang tinggal bersama kami. Ya mungkin karena terlalu banyak nama yang harus ia ingat.

Untunglah beliau selalu ingat namaku. Cucu lelaki satu-satunya. Kecuali ‘el’ yang dari bibirnya terlafal ‘il’. Begitulah lidah orang Banjar! Padahal kakekku sudah tigapuluh tahun di Jakarta. Entah mengapa logat daerah tidak bisa hilang. Sama seperti medoknya lidah Jawa. Milik Cinta misalnya. Walaupun sudah tertutupi dengan ungkapan gaul Jakarta. Seringkali meluncur; sendhal, dhudug. Kalian tahulah!

“Wah, buahnya akan banyak nih!” Cinta selalu bersikap sopan.
***


Farah H.


Sejak kunjungan kelima dia sudah tidak tertarik mengoreksi kesalahan kakekku mengingat namanya. Lagi pula kali ini dia datang karena dorongan lain. Memeriksa kotak surat merah di samping batang pohon mangga. Kosong, tentu saja hari minggu tak ada surat. Paling dijejali brosur menu makanan pesan antar. Dan memang ada satu brosur baru: Aneka sate. Tanpa pesanan minimum.

Sudah terhitung delapan bulan aku meminjamkan alamat untuk Cinta. Menampung kiriman-kiriman yang selalu dinantinya. Yang datang setiap dua bulan Paling lama tiga bulan. Tak pernah lewat.

Namun kekhawatiran Cinta tumbuh sejak dua bulan yang lalu. Saat ia seharusnya sudah menerima kirimannya yang ke tiga sejak ia meminjam alamatku. Membuatnya kerap melayangkan pertanyaan pada semesta. Kenapa kiriman itu tak lagi datang?

--------------

Catatan:
  1. Di tahun 1492 Christoper Columbus, berlayar ke barat untuk menemukan jalan terpendek ke India . Tanpa disadarinya ia menemukan dunia baru. Saat itu Columbus mengira, ia sudah sampai di India. Hingga salah menyebut penduduk asli Amerika sebagai Indian.
  2. Keukenhoff adalah taman bunga terbesar di Belanda.
  3. Marlin dan Nemo adalah nama karakter di filem Finding Nemo.




Farah H

No comments: