Monday, May 25, 2009

Melody Punch

CHAPTER I


...Makin jauh bintang
Makin redup sinarnya
Semakin ku kejar
Semakin ia menghilang
Tetaplah disini temaniku...
Jangan menjauh...bintangku...

“Arikaaa...!” Rave menjerit kencang, nafasnya tersengal, tubuhnya mandi peluh. Lirik itu lagi, kembali muncul dalam mimpi buruknya.

“Rave, ada apa?’ seorang wanita dewasa membuka pintu kamar. “Kok baru bangun sih, ini udah siang lho...” wanita itu menyibakkan gorden jendela kamar Rave, membiarkan sinar matahari pagi memenuhi kamar bercat hitam itu. “Nanti kamu ke sekolah naik taksi saja ya, bilang mau ke SMA Pendidikan, maaf ya Mama dan Papa gak bisa mengantar kamu ke sekolah baru.”

“Gak apa-apa kok, Rave kan cowok, udah gede lagi, gak perlu diantar-antar segala.” Rave tersenyum pada Mama nya. Ia lalu mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi.

* * *

“Nah, anak-anak sebelum kita memulai pelajaran pertama, bapak ingin memperkenalkan seorang siswa baru, pindahan dari Surabaya yang mulai hari ini akan bersekolah di SMA Pendidikan yang kita cintai ini.” Pak Suryo memberi sambutan yang hampir tidak didengarkan oleh semua siswa di kelas 2 IPA 3. Mereka sibuk mengagumi sosok yang berdiri di samping Pak Suryo. Koor suara sopran terdengar saat sosok jangkung itu bersuara.

“Perkenalkan nama saya Arick Ravansyah, cukup panggil saya...”

“Raveeeeeeeeee....”

“Kalian sudah kenal dengan Arick?” ujar Pak Suryo terheran-heran.”Apa kamu pernah bersekolah disini sebelumnya?” tanya Pak Suryo pada Rave, yang ditanya hanya menggeleng. “Baiklah, Arick sekarang kamu boleh duduk dengan Ste...maksud bapak, di meja kosong itu. “ Pak Suryo menunjuk meja paling pojok. Rave segara melangkah menuju meja yang dimksud, tentu saja diiringi dengan tatapan dan decak kagum seisi kelas.

“Sudah dulu ributnya, bapak tidak tahu bagaimana kalian bisa kenal dengan teman baru kita ini, tapi pelajaran tetap harus dimulai.” Dengungan decak kagum dalam kelas berganti dengan keluhan panjang.

“Bhuuuuu...!!!”

Rave melirik bangku di samping kirinya, nampaknya ia tidak memiliki teman sebangku. Selang beberapa detik kemudian, Rave tahu bahwa anggapannya salah.

“Selamat pagi, Pak.”

“...”

“Selaaaamaaaat paaagiiii, Paaaak!!!”

“Stop!” gertak Pak Suryo.”Saya tidak tuli.”

“Lha terus dari tadi saya kasih salam gak dijawab, kalo gak budek apa donk namanya?”

“Kamu ini gak lihat, sekarang jam berapa?”

“Hmm, jam 07.45.”

“Berarti kamu telat 45 menit, itu sudah hampir satu jam pelajaran, artinya kamu telah melangar aturan, hal tersebut juga menandakan bahwa kamu tidak disiplin dan patut...”

“Jadi saya boleh masuk gak nih?”

“Kamu, sudah datang terlambat, seenaknya memotong pembicaraan guru...”

“Jadi saya gak boleh masuk, ya udah...”

“Stefan, tunggu!”

“Apa lagi?”

”Duduk, kali ini kamu saya beri toleransi, tapi kalau lain kali kamu terlambat lagi...”

“Ya bapak kasih saya toleransi lagi donk.” Ujar Stefan enteng, seisi kelas tertawa melihat tingkahnya. Stefan melangkah menuju bangkunya, tapi Pak Suryo menahannya.

“Sebelum kamu duduk, tolong copot semua atribut logam kamu itu.” Stefan memutar bola matanya lalu mencopot rantai, kalung, gelang dan piercing logam dari tubuhnya.

“Nih, saya udah boleh duduk belum, pegel nih.”

“Ya sudah, duduk sana, dan jangan membuat keributan.” Tegas Pak Suryo.

Stefan melangkah ke bangkunya sambil senyum-senyum bingung.

“Pak, ini siapa?” tanyanya sambil menunjuk Rave.

“Itu Arick, teman sebangku kamu yang baru, tolong bantu kalau dia ada kesulitan.”

“Idih, ngapain...sodara gue bukan.” Stefan mencibir. Rave hanya memalingkan wajah, jengah.

“Gue Stefan.” Stefan mengulurkan tangan pada Rave, Rave menjabat tangan teman sebangkunya itu dengan enggan.

“Gue Rave.”

“Hehe kayak nama komik ya, nama lo.” Ujar Stefan, Rave hanya angkat bahu, ia kurang menyukai teman sebangkunya itu. “Tapi perasaan gue, wajah lo gak asing banget ya...hmmm, gue pernah liat lo dimana ya?” Stefan mengamati wajah Rave dengan teliti, Rave jadi risih sendiri dibuatnya. Untung saat itu Pak Suryo menegur Stefan.

“Stefan, cukup main-main nya, sebenarnya kamu ke sekolah mau apa?”

“Mau ketemu pujaan hati saya Pak, Dean...” celetuk Stefan dengan wajah konyol, seisi kelas tergelak. Pak Suryo hanya geleng-geleng kepala dengan jengkel. Setelah itu pelajaran Fisika pun berlangsung dengan cukup, lumayan...yaaa bisa dibilang lancar.

“Teeeetttt...” Bel tanda istirahat berbunyi membuat para penghuni kelas 2 IPA 3 menggila. Mereka mengabaikan makanan enak di kantin, jajanan di gerbang belakang dan segala macam perkumpulan ekstrakurikuler. Mereka punya agenda khusus hari ini, mewawancarai Rave.

“Lo beneran Rave khan...Rave yang ituuuu...” jerit salah seorang cewek.

“Rave...Rave....huaaa, kelas kita beruntung banget kedatangan lo...” timpal cewek lainnya. Mereka benar-benar terlibat dalam histeria. And the cause was...Rave.

“Woy...woy...lo pade bisa minggir kagak, gue gak bisa nafas nih...apa mau gue jotosin satu-satu?” teriak Stefan sangar, semua yang sedang ber-histeria mania itu menjauh serentak memberi jalan untuk Stefan. Rave melihat kejadian itu, dan ia punya ide brillian.

“Fan, gue boleh ikut lo?” tanya Rave, Stefan hanya menggedikkan kepala memberi tanda bahwa Rave boleh ikut dengannya. Kerumunan mengeluh kecewa.

“Ya Rave kok pergi sih...”

“Iya nih, sama Stefan lagi...”

“Lo mau jadi temen homo nya dia yaaa....”

Celetukan yang terakhir sangat menggelitik telinga Rave, mau tak mau ia jadi mengerutkan alis, Stefan homo???

“Sayaaang...hueek...darimana aja looo?” seorang cowok berperawakan tegap menepuk bahu Stefan.

“Eh, cintaaa...huek...huek...lo yang kemana aja...sibuk ya ngurusin Organisasi Siswa Intra Sekolah lo itu...” Stefan memeluk cowok tegap itu, membuat Rave bergidik ngeri.

“Halo, lo pasti Arick Ravansyah ya...ini kartu pelajar lo, udah selesai dicetak.” Cowok tegap itu memberikan sekeping kartu dengan pas foto Rave berukuran 2 x 3.

“Thanks.” Rave mengambil kartu itu tanpa banyak bicara.

“Gue Dean, ketua Osis SMA Pendidikan.” Cowok tegap itu tersenyum penuh wibawa, sekilas ia tak terlihat memiliki kelainan seksual.

“Dia temen sebangku gue di kelas.” Ujar Stefan.

“Awas ya kalo lo selingkuh.” Dean mencolek pinggang Stefan dengan genit. Lalu mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Rave mengerutkan dahi, ternyata strateginya salah, tadinya ia ingin berteman dengan Stefan karena kelihatannya Stefan adalah orang yang disegani, dengan begitu ia tidak perlu khawatir ada “kerumunan” yang menyerangnya saat ia bersama anak itu. Namun nyatanya ide itu tidak terlalu bagus. Ini sih namanya keluar mulut singa masuk mulut buaya. Akhirnya ia meninggalkan Stefan dan Dean untuk berkeliling melihat-lihat sekolah barunya, ia sengaja memakai topi untuk menyamarkan wajahnya.

“Gue heran deh sama tuh anak, ngomong jarang, pergi ngumpet-ngumpet, sok misterius banget.” Cibir Stefan.

“Ya maklum aja...selebritis emang kaya gitu.” Dean menanggapi dengan santai.

“Hah, apa lo bilang...selebritis...si Rave itu?”

“Ya ampuuuun...lo anak muda taun berapa sih, idola di zaman lo Benyamin. S ya?”

“Yang bener lo...jangan maen-maen, pantes aja muka tuh anak familiar banget buat gue.”

“Gini, Fan...lo tau gak band yang namanya Glamour?”

“Yang hit single nya ‘Bintangku’?”

“Yup bener banget, band asal Surabaya yang seumur jagung.”

“Hmm, gue inget sekarang...pas mereka lagi naik daun banget, lagi dapet banyak order manggung, album laku keras, penghargaan dari mana-mana, video klip mereka ada di chart teratas...vokalisnya mengundurkan diri...” Stefan menghentikan ocahannya.

“Karena alasan yang gak jelas.” Dean melanjutkan.

“Dan si Rave itu...”

“Lo sekarang tau kan lo sebangku sama siapa?”

“Iya, tapi gue biasa aja tuh, gak ngaruh buat gue, walo gue sebangku sama Michael Jackson sekalipun.” Stefan berkelakar membuat tawa keduanya kembali pecah.

* * *

Rave membuka pintu gerbang rumah barunya, rumah itu terletak di kawasan perumahan, dengan pintu gerbang tinggi yang menutup pemandangan ke arah jalan. Rave masuk kedalam rumah, di ruang tengah nampak seseorang sedang duduk di kursi roda, matanya menatap kosong ke arah halaman belakang.

“Rika.” sapa Rave pelan. Gadis itu menoleh sekilas dan tersenyum kering, lalu kembali menatap kosong ke arah semula. “Tadi, Kakak masuk sekolah baru lho...” Rave merasa matanya mulai berair. “Sekolahnya bagus, ada lapangan basketnya, lapangan voli, lapangan bola juga ada, tapi temen sebangku Kakak nyebelin banget...dia aneh lagi.”

“Mas Rep udah pulang ya, kebetulan.” Seorang wanita paruh baya berjalan tergopoh ke arah Rave. “Dari tadi pagi Non Rika gak mau makan, udah Mbok suapin tapi nasinya boro-boro ditelan, dikunyah juga nggak.”

“Wah, kok bisa gitu Mbok, sekarang mana makanannya biar saya yang suapin.”

“Sebentar saya ambil.” Wanita tua yang sudah 10 tahun mengabdikan diri pada keluarga Rave itu bernama Mbok Tem, ia yang menjaga Rika dan Rave semenjak mereka berdua masih kecil.
“Rika kenapa gak mau makan, mau bikin Kakak sedih ya.” Rave mengelus rambut gadis di kursi roda itu. Gadis itu Rika, saudari kembarnya, usia mereka terpaut lima belas menit.

“Ini makanannya Mas.” Mbok Tem memberikan sepiring nasi dengan kuah sup ayam dan telur dadar. Rave menerima piring itu lalu mulai menyuapi saudarinya.

“Rika makan dulu yaa, sedikit aja...nanti Kakak sedih kalau Rika gak makan.” Rave menempelkan sesendok nasi pada mulut Rika yang tertutup rapat.

“Kenapa sih Rika gak mau makan.” Rave menunduk kesal setelah upayanya menyuapi Rika gagal untuk kesekian kalinya. Rave diam, merenung. Tiba-tiba tangan Rika bergerak merogoh tas kecil yang selalu ia bawa-bawa. Ia mengambil discman dan memberikannya pada Rave.

“Kamu mau dengerin lagu sialan itu...apa kamu gak bisa makan tanpa dengerin lagu itu?” sentak Rave marah. Rika tidak bergeming, tangannya masih menggenggam discman. Rave baru saja akan beranjak ke kamarnya di lantai dua ketika suara deru knalpot motor bersahut-sahutan memekakkan telinga. Rika menjatuhkan discman-nya ia menutup telinga sambil menangis dan menjerit-jerit histeris.

“Mbok jaga Rika!” Rave berseru lalu bergegas lari keluar rumah untuk mengecek siapa yang menderu-derukan sepeda motor di depan rumahnya. “Brengsek!” Rave membuka pintu gerbang dan mendapati beberapa orang sedang hilir mudik di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor bersuara bising.

“Heh...bangsat lo semua! Ngapain lo disini...pergi lo semua!.” Rave mengamuk. Bukannya mereda, suara sepeda motor itu malah makin menjadi-jadi. Salah seorang pengendara sepeda motor itu turun dan menghampiri Rave.

“Siapa lo! Asal aja ngelarang-larang kita. Asal lo tau ya kita kesini mau ketemu sama Bos kita...gak ada urusan sama lo.”

“Tapi suara motor lo itu bikin adik gue takut.”

“Heh...peduli amat...mau adik lo takut, mau adik lo mati bukan urusan gue.”

“Brengsek lo!” Rave menghantamkan tinjunya dan kena telak di rahang kiri lawannya.
“Dia mukulin si Panjul tuh, yuk kita keroyok.” Para pengendara motor yang lain turun dan ramai-ramai menghajar Rave. Namun tiba-tiba...

“Stop!” teriak seseorang.”Ada apa nih, masa gebukin orang gue gak diajak?”

“Guys, Bos dateng tuh.” Para berandalan itu berhenti memukuli Rave yang sudah setengah babak belur.

“Lo pade mukulin siapa sih...lho...lo kan?”

“Stefan?” desis Rave.

“Ih, beneran...lo Rave...kenapa anak buah gue bisa mukulin lo?”

“Bos, dia yang duluan ngehajar Panjul.” Adu salah seorang dari para berandal itu.

“Maksud lo apa ngehajar anak buah gue hah?” Stefan menatap Rave bingung campur marah.

“Suara motor mereka bising banget, bikin adik cewek gue ketakutan.”

“Oh gitu...” Stefan manggut-manggut.

“Udah Bos, hajar aja dia...bukan urusan kita kan, mau adiknya takut kek, mau kenapa kek.” Ujar berandalan yang bernama Panjul itu.

“Buk!” bogem mentah bersarang di rahang kanan si Panjul, kini kedua pipinya bonyok. “Asal aja lo, dia ini temen sebangku gue di sekolah, tetangga gue lagi, jadi urusan dia ya urusan gue juga.”

“Oh, ma...maaf bos, gue gak tahu.” Si Panjul meringis kesakitan.

“Iya kali ini gue kasih toleransi tapi lain kali...”

“Bos kasih saya toleransi lagi ya.”

“Enak aja lo...” Stefan menjitak kepala anak buahnya itu. Lalu ia berpamitan pada Rave dan pergi bersama teman-teman berandalannya dengan menaiki sepeda motor yang amit-amit bisingnya.

Rave kembali ke ruang tengah rumahnya dan mendapati Rika terkulai pingsan di pelukan Mbok Tem.

“Mas Rep, tadi Non Rika jerit-jerit sambil nangis, terus Non juga kejang-kejang, dan sekarang gak sadarkan diri.” Mbok Tem menangis panik.

“Damn, Mbok jagain Rika dulu, saya mau nelpon dokter Ridwan.” Rave menuju meja telepon dan segera menghubungi dokter pribadi eyangnya itu.

“Halo dokter Ridwan, ini saya Rave...cucunya Bapak Wiguna, adik saya kejang-kejang dan sekarang tidak sadarkan diri dok...oke, alamat rumah saya...” Rave menyebutkan alamat rumahnya lalu menutup telepon. Ia bergegas menggendong Rika ke kamar dan membaringkannya diatas tempat tidur.

* * *

“Rika cuma shock saja, terlebih lagi kondisi tubuhnya sedang tidak baik, jadi mudah sekali pingsan.” Dokter Ridwan menggulung stetoskopnya, memasukkannya ke dalam tas dan mengeluarkan note kecil. “Ini resepnya bisa ditebus di apotek terdekat.”

“Terima kasih dokter.” Rave menerima secarik kertas resep dari dokter Ridwan. Setelah itu dokter Ridwan pun berpamitan.

“Mbok, jaga Rika, saya mau nebus resep dari dokter dulu.” Rave melepas baju seragamnya, menggantinya dengan kaus oblong dan jaket sport, kemudian ia ke garasi menstarter mobilnya dan melesat ke jalanan.

“Apa gue harus pindah rumah, atau pindah sekolah biar gue jauh-jauh dari berandalan itu...” gerutu Rave, hatinya masih mangkel bila membayangkan Stefan dan geng motornya. “...dan sekarang gue harus sebangku dan tetanggaan sama berandalan kayak dia...huh!” dengus Rave kesal. Ia memarkir mobilnya dipelataran sebuah ruko, disana terdapat sebuah Apotek.

“Mbak, bisa minta obat ini.” Rave menyodorkan secarik kertas pemberian dokter Ridwan pada cewek penjaga Apotek.

“Eh, anu...Teh Dewi ini ada yang mau nebus obat.” Cewek itu malah memanggil rekannya.

“Iya ada yang bisa saya bantu, Mas.” Seorang wanita mengenakan seragam biru muda dengan lambang menyapa Rave.

“Saya mau minta obat seperti dalam resep ini.” Rave mengulangi permintaannya sekali lagi sambil menatap cewek yang tadi ia kira penjaga apotek, cewek itu memakai kaus oblong pink dan...astaga...rok abu-abu. Ia sedang menata dus berisi obat-obatan di etalase. “Anda apotekernya?” tanya Rave pada wanita yang memakai seragam biru muda.

“Iya, saya apotekernya...kalau itu putrinya dokter pemilik apotek ini.” Apoteker itu menyesuaikan obat yang ia ambil dengan resep dari dokter Ridwan. “Oke, sudah semua, jadi semuanya seratus tigapuluh empat ribu, silakan dibayar di kasir.”

Rave mengambil uang dari dompetnya dan bergegas menuju kasir. Setelah melakukan transaksi ia pun beranjak pulang, namun sebuah suara menghentikannya.

“Mas ini struk pembayarannya!” Si cewek baju pink berseru sambil berlari menyusul Rave dan memberikan struk pembayaran yang tadi tidak sempat Rave ambil.

“Terimakasih.” Ujar Rave dan bersiap untuk berbalik, namun cewek itu mencegahnya.

“Eh, tunggu...kamu Rave kan?”

“Kalau iya kenapa...” Rave mendengus kesal...fans...fans...terus menerus fans yang ia temui di kota ini, plus seorang berandalan tentunya.”

“Kita kan satu kelas, kamu duduk sama Stefan, kan?”

“Iya, terus.”

“Kamu harus bawa baju olahraga besok, kalau belum punya kamu boleh pakai baju olahraga sekolah lama kamu.”

“Bukannya pelajaran olahraga itu hari Rabu?”

“Dulu emang hari rabu, tapi sekarang exchange sama pelajaran B. Indonesia, jadi hari Selasa.” Papar si cewek. “Tadi sepulang sekolah ada pengumuman, tapi kamu dan Stefan udah keburu pulang...jadi tolong kasih tau Stefan juga ya.”

“Ya udah, makasih.” Rave berbalik dan masuk ke mobilnya, cewek itu tidak mencegahnya.

* * *

“Gue lupa tanya nama tuh anak, alaaah...kita kan sekelas nanti juga kenal.” Rave menutup pintu mobilnya dan segera masuk ke dalam rumah.

“Rave, dapat obatnya?” tanya Mama panik begitu Rave masuk ke kamar Arika.

“Iya Ma, resepnya dari dokter Ridwan, dokter pribadinya Eyang.” Rave menyodorkan obat yang tadi ia beli. “Rika udah mau makan?”

“Udah, berkat lagu ‘Bintangku’...” Mama tersenyum. Rave malah melengos kesal.

“Papa mana Ma?” tanya Rave.

“Masih di rumah Eyangmu.”

“Rave juga belum ketemu Eyang.”

“Iya, beliau nanyain kamu tuh.”

“Besok atau lusa deh Rave kesana, sekarang Rave mau mandi, makan terus tidur.” Rave bangkit dari tepi tempat tidur Rika.”Sayang, kakak tinggal dulu ya.” Rave mengelus rambut Rika, lalu ia meninggalkan Rika berdua dengan Mama. Pedih rasanya bagi Rave kalau memasuki kamar Rika, pasti disana terpampang foto-foto Rika dengan medali, memegang piala, mengenakan pakaian adat, bersama geng (sialan) nya. Rave menarik nafas panjang, dulu Rika anak yang sangat pintar dan berbakat...dulu...hampir tiga tahun yang lalu.

* * *

Rave menjejalkan potongan roti terakhirnya lalu mencium tangan Mama dan Papanya. “Ma, Pa, Rave pergi dulu ya...”

“Hati-hati.” Ujar Mamanya. Rave tersenyum, pandangannya beralih ke Papanya yang sedang sibuk mengolesi selai kacang ke rotinya. Selai kacang, kesukaan Papa dan Rika. Papa tidak mengatakan apa-apa, jadi Rave langsung berangkat. Ia naik taksi lagi, karena belum hafal jalan ke sekolahnya.

Di gerbang sekolah ia berpapasan dengan Dean.

“Hai Rave...” sapa Dean.

“Eh, elo De.” Rave memaksa untuk tersenyum. Bagaimana berandalan kelas kadal seperti Stefan bisa ber’teman’ baik dengan cowok serapi dan sepintar Dean.

“Udah tau kemarin ada exchange?”

“Iya, olahraga dan B.Indonesia.”

“Baguslah, oya kalau butuh gue...lo bisa cari di 2 IPS 1.” Dean melambai pada Rave. Rave balas melambai dengan enggan.

Rave masuk ke dalam kelas, dan seperti biasa, kerumunan menyambutnya.

“Pagi Rave...udah tau kan sekarang ada exchange?”

“Hai Rave, kapan donk meet and greet sama kita-kita?”

Cewek-cewek itu lalu-lalang dihadapan Rave dengan centilnya, tapi ia tidak melihat cewek berbaju pink kemarin diantara mereka.

“Joey...kenapa disini gue alpa, kemarin kan gue masuk...gue kesiangan, lo liat sendiri kan.” Stefan mengguncang-guncang tubuh seorang anak laki-laki berkulit putih pucat dengan rambut klimis yang superjadul. “Pokonya gue gak mau tau, kalo lo masih mau hidup lo ubah deh ni absen.”

“I...iya Step...gue ubah dulu.” Cowok itu mengambil setip lalu menghapus huruf A di samping nama Stefan Abidharma.

“Sekalian nih, yang hari jumat kemarin.”

“Lho, itu kan ka...kamu benar-benar tidak masuk seharian.” Protes si cowok culun.

“Eh, masih ngelawan lagi mau gu ton...”

“Apa lo, hah...mau nonjok siapa?” seorang cewek menepis tangan Stefan dari kerah kemeja si culun.

“Apa lo ikut campur?” gertak Stefan.

“Gue gak ikut campur, semua yang terjadi di depan gue, itu urusan gue...apa lagi kalo kejadiannya gak bener kayak gini.” Cewek itu balas menggertak.“Kalo gak mau absensi lo kosong, masuk sekolah donk...jangan kabur-kaburan mulu.”

“Alaaah, berisik lo.” Stefan menggebrak meja lalu pergi keluar kelas.

“Joey, kamu gak apa-apa kan, maaf ya aku agak telat, ini buku kamu...makasih ya.” Cewek itu memberikan buku bersampul pada si culun Joey.

“Gak apa-apa kok...”

“Joey, lain kali Stefan jahatin kamu lagi, lawan donk...jangan mau ditindas gini.”

“Udah deh Ra, dia anaknya memang gitu, tapi aslinya dia baik banget kok...”

“Iya sih...kalo gak baik gak mungkin dia sobatan samaaa...ah udahlah.”

Cewek itu menaruh tasnya, matanya menangkap pandangan Rave sambil lalu. Dia cewek yang Rave temui kemarin di apotek. Rupanya mereka berdua memang sekelas. “Hey, gue Rave...” Rave menghampiri Joey dan mengulurkan tangannya.

“Gue Joey...” Joey menjabat tangan Rave.

“Lo ketua kelas ini?” tanya Rave ragu-ragu.

“Bukan, gue sekretaris...ketua kelasnya yang tadi itu...Rara.” jawab Joey.

“Ketua kelasnya, cewek?”

“Ho’oh.” Angguk Joey.”Biar cewek, Rara tuh orangnya keras, Stefan aja segan sama dia.”

“Oh gitu.” Gumam Rave. Bel tanda pelajaran dimulai pun berbunyi. Anak-anak kelas 2 IPA 3 berhamburan keluar dengan memakai baju olahraga. Rave terlihat paling menonjol diantara mereka, seragam olahraga sekolah lamanya seperti titik merah ditengah lautan biru.

“Rave seragamnya bagus, dari Surabaya ya.” Goda salah seorang cewek.

“Emang Rave cocok pake seragam apapun, seragam tentara juga cocok...hihihi...”timpal yang lain sambil cekikikan.

“Sst, kalian berisik banget, perhatiin instruksi pak guru donk.” Tegur Rara. Cewek-cewek itu ngedumel kesal.

Pelajaran olahraga berlangsung sampai jam istirahat. setelah pelajaran selesai Rave segera pergi ke kantin dan membeli sebotol air mineral. Kali ini ia juga dikerubungi tapi bukan oleh anak-anak cewek yang histeris, tapi oleh para cowok.

“Dua bulan lagi ada pensi di sekolah ini, lo mau gak gabung ma band kita?”

“Huss, asal aja lo, Glamour itu udah nyaris jadi band pembuka di konser band luar negeri yang superpopuler, eh lo tawarin band ecek-ecek...kalo di band gue, gak apa-apa kok jadi bintang tamu juga.”

“Aduh, guys...sori banget, tapi gue udah mutusin buat gak nyanyi lagi, gue udah off...dari band atau apapun yang berbau-bau musik.”

“Yaa, kenapa Rave, padahal suara lo itu, yahud abis...rock banget.”

“Iya Rave jarang ada yang punya suara unik kayak lo, suara yang bisa nyampe titik terendah chord gitar.”

“Sori tapi...”

“Heh...heh...pada minggir donk, gue mau lewat.” Lagi-lagi Stefan “menyelamatkan” Rave dari kerumunan. “Eh ada tetangga, sekaligus temen sebangku...kebetulan, dicari tuh sama Pak Deni.”
“Ada apa?”

“Meneketehe.” Stefan menggedikkan bahu. Rave segera meninggalkan kantin untuk menemui Pak Deni, guru olahraga.

Rupanya Pak Deni memberikan satu stel seragam olahraga SMA Pendidikan. Setelah mengucapkan terima kasih, Rave pun kembali ke kelas, dalam perjalanan ke kelasnya ia melewati ruang musik dan mendengar seseorang memainkan piano, melodinya terdengar begitu merdu sekali. Lost by Michael Bubble. Rave hampir saja membuka mulut untuk menyanyikan salah satu lagu favoritnya itu, namun ia segera mengurungkan niatnya karena melihat bahwa yang mendengarkan permainan piano itu bukan hanya ia seorang, disana ada Rara, cewek itu nampak sangat menikmati permainan sang pianis. Rave memperhatikan Rara baik-baik, gadis itu cantik dengan rambut panjang yang selalu diikat, wajahnya tidak banyak diwarnai make-up, hanya sapuan bedak tipis dan lip gloss, simple namun tidak mengurangi kecantikan alaminya. Tiba-tiba Rave merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Rave segera berbalik, meningalkan ruang musik dan kembali ke kelas. Tidak berapa lama Rara menyusulnya.

Sekolah bubar pada pukul 12.45. Rave berdiri di depan gerbang, menunggu taksi. Tak lama sebuah honda jazz berwarna pink melintas di hadapannya.

“Mau bareng?” Rara tersenyum di balik kemudi, perut Rave sedikit mulas.

“Hmm...gak usah, rumah gue...mmmh...jauh.”

“Oke kalo gitu, gue duluan ya.” Rara menaikkan kaca jendela, lalu melaju. Sedetik kemudian ada

rasa sesal menyelinap di hati Rave, entah ia sadari atau tidak.

***

Esya Anesty

No comments: