Entah mengapa dia selalu murung. Selalu jauh. Selalu terbatasi tirai tipis yang tak dapat disentuh. Gadis itu menatap Gilang dalam, penuh arti, namun tak pernah dapat Gilang artikan.
Ia mengenakan gaun putih sederhana. Rambut panjangnya terurai natural, hidungnya membentuk dasun tunggal sempurna, matanya sendu, penuh dengan kemurungan yang mempesona. Ia tak sekedar cantik, ia indah.
Berjuta kali Gilang mencoba menyentuh tirai tipis itu, hendak menyentuh si gadis, namun seakan memiliki listrik bertegangan jutaan volt, tirai itu selalu menyetrum jemari Gilang. Gilang hanya dapat menatapnya melewati tirai tipis dengan sejuta rasa. Rasa yang tak pernah masuk akal, agak gila, tapi begitu nyata…
Tanpa sepatah kata…
Tanpa sebuah senyuman…
Tanpa sentuhan…
Gilang telah jatuh cinta pada gadis dalam mimpinya itu.
Sebuah kapur terbang ke kepala seorang siswa yang terlalu berani untuk membangunkan emosi seekor macan muda. Siswa itu tak bergeming, tetap lelap dalam tidurnya.
“Gil, bangun!!!” Rino mengguncangkan bahu Gilang mencoba membangunkannya. Gilang tetap tenang dalam tidurnya.
Siswa-siswa lain mencoba menahan tawa mereka. Sebagian merasa geli karena serangan kapur Bu Macan tak berhasil, sebagian lagi merasa bahagia atas keberanian Gilang. Mereka merasa Gilang adalah seorang pemberontak yang gagah berani! Mereka yang merasa bahagia mayoritas kaum lelaki sahabat karib Gilang. Dalam hati mereka berseru, “Jangan bangun Gilang! Biarkan si macan tua itu jengkel sampai dia tak lagi berkoar-koar panjang lebar tetang vektor! Maju Gilang!”
Bu Macan mengambil sebotol air mineral di depan Gilang dan membukanya. Lalu tak lama, SYUUUR…
Sebotol air mineral membasahi kepala Gilang, membuat pemuda siuman. Air menetes-netes ke kerahnya membuatnya kedinginan setengah mati.
Saat matanya menangkap Bu Macan sebagai pelaku kekerasan dia hanya bisa tersenyum salah tingkah sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Eh ibu…” katanya entah dengan maksud apa.
“Ke kantor saya pulang sekolah!”
Gilang pun melemas.
Bulan kemarin kepala sekolah SMU MMD telah mengumpulkan seluruh staf guru untuk membahas tentang kelas 12 IPS-1. Beliau cemas bukan main karena kekacauan yang terjadi di kelas itu. Para pria bukannya sibuk dengan UAN malah sibuk bermain bola, sibuk nge-band, sibuk mengotori tembok sekolah tetangga dengan graffiti, sibuk mengintip rok Bu Manda, dan yang paling membuat kepala sekolah naik darah adalah Gilang. Selain sibuk dengan perbuatan-perbuatan onar diatas, ia juga sangat sibuk dan aktif untuk TIDUR DI KELAS.
Putri-putri di kelas itu pun tak lebih baik. Lihat saja Mira dan konco-konconya yang lebih asyik memotong rok sependek-pendek kaki kodok untuk mempertontonkan paha putih mereka, lalu Yukino dan gengnya yang terus-menerus menyeludupkan komik ke sekolah.
Satu-satunya komunitas manusia normal di kelas 12 IPS-1 adalah ke tiga Super Power Einstein Jangan Lupa Pake Kuah (baca: SPEJLPK). Mereka adalah Suyitno, dan kembar Warsito-Warsiti.
Di kelas durhaka yang akan membuat para pendiri bangsa menangis pilu melihat otak para murid yang tak berfungsi, terdapatlah oase yang menyejukan. Oase itulah yang berfungsi memuaskan kehausan para guru setelah memaki-maki habis tiap berandalan dan berindili (bandit perempun yang mengenakan sapu sihir yang dilapisi sapu ijuk). Ya merekalah SPEJLPK itu. Otak mereka paling pandai satu kelas. Sebenarnya sih nggak pintar-pintar amat. Lebih pantas dikatakan paling pintar diantara orang-orang yang sangat goblok.
Namun Suyitno yang berlagak politikus, yakni omong besar tanpa isi, lalu Warsito yang paling senang bertanya ini-itu, dan Warsiti yang paling senang mencatat di depan meja guru (dengan alasan: “Mata saya bermasalah pak!”) telah merebut hati guru-guru untuk berubah profesi menjadi guru prifat. Biasanya mereka yang sudah sangat muak dengan kelas itu hanya akan berdiri di depan meja SPEJLPK –yang berurutan- dan berceloteh panjang lebar disana. Sedangkan murid lainnya biasanya menghabiskan waktu dengan main lotre atau togel, kadang-kadang juga main kartu gaplek.
FYI, mengapa dinamakan SPEJLPK? Alasannya sih simpel aja. Kalau ngobrol sama mereka, jangan lupa bawa payung atau helm sekalian! Entah mengapa, bibir mereka bertiga sering banget mengeluarkan hujan. Kalau mereka lagi ngumpul, pasti meja yang mereka pakai bakalan basah, atau minimal berembunlah. Menurut Yanuar, si biang gossip, kebiasaan muncrat itu diawali oleh pasangan kembar Warsito-Warsiti. Nah, karena Suyitno keseringan ngumpul bareng dua makhluk tadi, maka mau tak mau dia pun tertular virus bibir berkuah. Ya untungnya air muncratan mereka itu nggak bau-bau amat. Malah aromanya agak unik, yaitu bau bedak talek yang dicampur sari mangga arum pahit.
Mengetahui guru-guru telah makan hati menghadapi mereka, murid-murid itupun tak jera juga. Buktinya mereka tengah asyik bermain bola di jam pelajaran sejarah. Mereka tengah mengusung motto High School Never Ends.
Beberapa menit yang lalu saat Bu Adinda melihat Gilang tertidur kembali, ia segera kumat penyakit bengeknya dan langsung keluar dari kelas sambil megap-mengap seperti ikan mujair minta dicium pak lurah. Akibatnya kelas 12 itu pun dibiarkan bebas tanpa induk. Bukannya menyesal atau apa mereka malah bermain sepuas-puasnya di lapangan.
Derai tawa mereka membahana membuat beberapa kelas yang menghadap lapangan menatap mereka dengan iri. Kelas 12 IPS-1 memang sangat dibenci guru-guru, namun banyak sekali yang mengidolakan kesolidan dan kebebasan mereka.
“Gil, kamu tuh apa-apaan sih? Aku denger kamu dikeluain lagi kan dari kelas? Terus sebelumnya kamu malah sempet diguyur sama Bu Macan. Kamu…” Ori tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia hanya dapat mengatur nafasnya yang terasa sesak sambil sesekali menggigit bibirnya. Ia merasa sama sekali tak dapat menyelami apa yang dipikirkan Gilang, pacarnya sendiri.
Gilang sendiri hanya diam. Sesekali ia menyeka keringat yang mengalir menuju ke dahinya. Ia mengibas-ibaskan tangannya untuk mendapatkan sedikit angin.
“Iya maaf,” kata Gilang seadanya.
“Maaf apa? Kamu selalu deh…Sekolah ini bukan buat cari gara-gara, Lang. Kapan sih kamu kapok. Kamu sendiri tau kan guru-guru udah pada kesel sama kamu? Kalau kamu nggak lulus UAN gimana?” bibir Ori gemetar dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Ya ampun, Ori. Kamu kan tau aku pintar. Ulangan aku aja nggak ada yang dibawah enam…Perkembangan kan dari taun lalu? Kamu percaya dong, pacar kamu ini nggak setolol yang kamu kira.” Ori melotot. Air matanya kini telah menetes.
“Kamu kelewatan!”
Ori berlari kencang meninggalkan Gilang sendirian di taman belakang sekolah. Gilang menghela nafas. Kenapa sih Ori begitu serius menjalani hidup. SMU kan cuma sekali seumur hidup. Bandel-bandel dikit nggak apa-apalah. Ori…Ori…
Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya yang pening karena Ori dan langsung berlari lagi ke lapangan lagi. Lapangan, kantin, dan taman belakang. Letak ketiga tempat itu saling berentetan. Kantin terletak dibagian depan taman belakang. Sedangkan lapangan teletak disebelah kantin. Dan taman belakang adalah lokasi kesukaan para siswa untuk melepaskan kejenuhan. Tapi bagi Ori dan Gilang tempat yang cukup luas tersebut adalah tempat melepaskan emosi, alias lokasi bertengkar paling asyik.
“Hahahahaha…Abis dimarahin ya sama istri? Dasar ISTI!” Ikatan Suami Takut Istri adalah julukan dari teman-teman Gilang. Gilang tak menyahut ia hanya meneguk air dinginnya dengan nafsu.
“Nggak usah dibahas ah…BT gue…!”
Rahul meminum air sodanya dengan semangat dan kemudian bersendawa kencang. Gilang yang merasa jijik dengan sendawa Rahul langsung melemparkan gumpalan tanah kering yang berada di dekat lapangan ke wajah Rahul.
“Aw…Bapuk lo Gil! Perih nih mata mempersona gue!” Rahul pun melemparkan botol soda kosong pada Gilang.
“Sialan! Sakit, tolol!” Gerombolan pria itu pun terbahak-bahak di siang hari bolong itu.
Belasan pria 12 IPS-1 lagi-lagi terkena hukuman. Akibat terlambat masuk dalam jam pelajaran Bu Manda yang seksi, membuat Bu Adinda kumat penyakit bengeknya, dan membuat Bu Macan murka angkara, hari ini para siswa kembali menerima hukuman. Entah untuk yang keberapa kalinya mereka harus membersihkan lingkungan sekitar lapangan bola itu, saat semua murid lainnya pulang dan berleha-leha di rumah.
“Eh kok tumben, yang cewek-cwek pada nggak kena hukuman juga? Biasanya mereka dihukum barengan kita!” Tungka mengutak-atik sebuah benda hitam yang kelihatannya kenyal.
“Hari ini mereka memang pada alim. Kayaknya mereka lagi pada tenggang rasa gitu sama Mira, dia kan abis diputusin sama cowoknya,” kata Yanuar, si bapak gossip 2008.
Mira, si Paris Hilton wannabe, adalalah biangnya konsumtivisme, hedonisme, dan rokminiesme. Si cantik yang centilnya bukan kepalang itu memang bercita-cita jadi model internasional yang berlenggak-lenggok di catwalk Paris, Berlin, dan Italia. Jadi jangan pernah bingung melihat dia dan konco-konconya memakai make up ke sekolah, mengetatkan kemejanya, dan hal ekstrim lainnya. Namun si lemot itu berhati mulia sekali. Dia bisa menjaga kekompakan dengan kelas, sehingga murid-murid 3 IPS 1 pun bisa menerima tingkah anehnya dengan tulus ikhlas.
“Memang nggak tau diuntung banget ya cowoknya. Siapa namanya? Robi ya? Mira kan cantik, seksi, baik lagi. Ya memang kadang suka centil dan lemot, tapi kalau gue sih nggak bakal nyia-nyiain Mira,” kata Rino penggemar setianya Mira sejak dulu.
Mendengan pengakuan polos Rino para berandal pun langsung menyerbu dengan sampah-sampah ditangan.
“Dasar ‘omdo’ lo! Kalau ada orangnya aja, lo diem…Pengecut nih!” kata Rahul. Rino hanya bisa senyam-senyum sendiri mendengar tudingan dari teman-temannya.
“Gue butuh waktu...” Sampah-sampah pun kembali berterbangan.
“Bilang aja takut!” kata Tungka yang masih saja seru dengan sesuatu yang kenyal ditangannya.
“Cewek tuh nggak bisa dingertiin. Kayak si Ori…”kata Gilang tiba-tiba dengan nada pengin curhat.
“Makin lama gue makin ngerasa dia ngerendahin gue. Kayaknya dia malu deh punya pacar tolol kayak gue. Nilai gue memang selalu pas-pasan, tapi kan gue selalu naik kelas. Kenakalan gue juga kayaknya wajar kok…Heran, protes terus…”
“Ya wajar aja lagi, sinting. Cewek lo itu kan cewek paling pintar satu sekolah. Anak IPA, mantan ketua OSIS, ketua klub Fisika, masa depannya pasti cerah banget. Dia mau jadi ilmuwan kan, Gil? Nah elo. Bandel iya, goblok iya, males iya...Sampe sekarang gue masih bingung deh Gil, kok lo bisa sih sama Ori? Well, dia lumayan cantik sih, tapi dia itu kan juteknya minta ampun. Terus perbedaannya sama lo itu kayak langit sama jurang. Kok lo bisa sama dia sih?” Timoti yang menggigiti sedotan-yang baru ditemukannya di got bertanya kebingungan.
Gilang tersenyum tipis. Lapangan hening, semua menunggu jawaban Gilang.
“Gue tertarik sama wajah murungnya. Mirip sama seseorang.” Gilang menerawang jauh, lalu tersenyum simpul.
“OMG, jadi lo sebenernya nggak suka sama dia dong? Lo Cuma suka sama wajah murungnya?” tanya Tungka.
“Jangan asal tebak lo!” Gilang menyeruput teh botol sampah yang masih berisi setengah yang terletak di dekat gawang. Pertanyaan Tungka cukup membuat Gilang berpikir. Apa benar dirinya mencintai Ori, atau karena wajah murungnya saja? Entah.
“Ih najis. Bau banget nih!” Tungka memeperkan tangannya yang ditempeli gumpalan hitam ke gawang.
“Eh bodoh! Gawangnya kan baru dicat minggu lalu. Lo ngotor-ngotorin aja deh. Itu apaan sih?” tanya Gilang dengan pandangan jijik.
“Gue juga nggak tau. Tadi ada si sepatu gue. Setelah gue teliti ternyata itu permen upil deh…”
Dan sampah-sampah pun berterbangan ke kepala Tungka membuat lapangan tambah kotor setelah mereka bersihkan.
Ayah dan bunda menatap Gilang dengan tatapan heran. Bagaimana mungkin mereka memiliki anak sebadung Gilang? Salah mendidikah mereka?
“Gilang…”Ayah terdengar menahan suaranya agar terdengar sesabar mungkin di telinga Gilang.
“Ayah mendapat surat lagi dari sekolah. Wali kelas kamu bilang kalau kamu makin lama semakin badung.” Ayah menarik nafas.
Gilang yang duduk diantara ayah dan bunda terdiam untuk mendengar tuduhan selanjutnya.
“Gil, kamu jera dong. Udah berapa kali kan kamu dihukum di sekolah? Masa nggak malu-malu juga sih? Ingat, kamu udah mau UAN lho…Kalau nggak lulus mau jadi apa? Tukang sayur? Atau pengamen?” Bunda mengusap-usap kepala anak semata wayangnya dengan gemas.
“Yah profesinya nggak asyik bunda. Kalau Gilang nggak lulus, Gilang sih pengin belajar perdukunan aja, biar tajir!”
“Gilang, ayah sama bunda nggak lagi becanda lho!” kata bunda lembut.
“Oke.” Gilang menarik nafas “Yah, bun…percaya deh sama Gilang. Kenakalan Gilang wajar kok. Cuma guru-guru aja yang suka hiperbola. Gilang cuma nyari petualangan dan tantangan yang nggak akan pernah bisa Gilang lupain sampai dewasa. Ayah dan bunda ngerti kan? Lagian nilai Gilang selalu pas kok,” kata Gilang sambil menunduk.
“Pas? Kamu bangga dengan kata pas? Sayang, bunda tau sekali kamu itu sangat cerdas. Ingat waktu TK dulu? Hanya kamu yang dapat mengerjakan puzzle 100 keping dengan waktu tercepat. Waktu SD kamu juga beberapa kali memenangkan lomba matematika. Kamu itu bisa mengerjakan lebih, nak.” Bunda membelai Gilang dengan sayang.
“Mencari pengalaman sah-sah saja, nak. Tapi nilaimu juga harus tetap seimbang,” kata ayah yang kemudian tersenyum diikuti bunda. Senyuman yang hanya mereka sendiri yang dapat mendefisinikan artinya.
“Ayah sama bunda kok senyum-senyum gitu sih? Kayak Galih dan Ratna aja!” Bunda tertawa pelan.
“Kamu itu seperti ayah waktu masih muda dulu. Badung sekali…”
Gilang pun terbahak bersama bunda. Wajah ayah memerah karena kartunya terbuka.
“Bunda nih, ayah kan jadi malu!” Mendengar pengakuan ayah, Gilang dan bunda tertawa makin keras.
Keluarga bahagia itu pun bersukacita bersama. Di tengah maraknya permasalahan rumah tangga yang terjadi di masyarakat, hanya sedikit saja keluarga yang mampu bertahan menciptakan keakraban dan keharmonisan rumah tangga, salah satunya adalah keluarga Gilang ini.
Ia mengenakan gaun putih sederhana. Rambut panjangnya terurai natural, hidungnya membentuk dasun tunggal sempurna, matanya sendu, penuh dengan kemurungan yang mempesona. Ia tak sekedar cantik, ia indah.
Berjuta kali Gilang mencoba menyentuh tirai tipis itu, hendak menyentuh si gadis, namun seakan memiliki listrik bertegangan jutaan volt, tirai itu selalu menyetrum jemari Gilang. Gilang hanya dapat menatapnya melewati tirai tipis dengan sejuta rasa. Rasa yang tak pernah masuk akal, agak gila, tapi begitu nyata…
Tanpa sepatah kata…
Tanpa sebuah senyuman…
Tanpa sentuhan…
Gilang telah jatuh cinta pada gadis dalam mimpinya itu.
Sebuah kapur terbang ke kepala seorang siswa yang terlalu berani untuk membangunkan emosi seekor macan muda. Siswa itu tak bergeming, tetap lelap dalam tidurnya.
“Gil, bangun!!!” Rino mengguncangkan bahu Gilang mencoba membangunkannya. Gilang tetap tenang dalam tidurnya.
Siswa-siswa lain mencoba menahan tawa mereka. Sebagian merasa geli karena serangan kapur Bu Macan tak berhasil, sebagian lagi merasa bahagia atas keberanian Gilang. Mereka merasa Gilang adalah seorang pemberontak yang gagah berani! Mereka yang merasa bahagia mayoritas kaum lelaki sahabat karib Gilang. Dalam hati mereka berseru, “Jangan bangun Gilang! Biarkan si macan tua itu jengkel sampai dia tak lagi berkoar-koar panjang lebar tetang vektor! Maju Gilang!”
Bu Macan mengambil sebotol air mineral di depan Gilang dan membukanya. Lalu tak lama, SYUUUR…
Sebotol air mineral membasahi kepala Gilang, membuat pemuda siuman. Air menetes-netes ke kerahnya membuatnya kedinginan setengah mati.
Saat matanya menangkap Bu Macan sebagai pelaku kekerasan dia hanya bisa tersenyum salah tingkah sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Eh ibu…” katanya entah dengan maksud apa.
“Ke kantor saya pulang sekolah!”
Gilang pun melemas.
***
Matahari bersinar cerah sekali, membuat putra-putra SMU Muda Masa Depan (MMD) menggila. Tak peduli dengan sinar matahari, yang katanya sekarang ini sudah tercemar dengan ultraviolet karena Global Warming, mereka tetap saja asyik bermain sepak bola di lapangan sebelah kantin. Saat yang lainnya sibuk berteduh atau jajan semangkuk bakso untuk makan siang, pria-pria kelas 12 IPS-1 itu malah asyik bermain bola. Hmm…Kelas 12 IPS-1...“MT lo!” Gilang mengusap-usap pangkal pahanya yang terkena bola nyasar dari Rino. Belasan anak lainnya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Gilang.
Bulan kemarin kepala sekolah SMU MMD telah mengumpulkan seluruh staf guru untuk membahas tentang kelas 12 IPS-1. Beliau cemas bukan main karena kekacauan yang terjadi di kelas itu. Para pria bukannya sibuk dengan UAN malah sibuk bermain bola, sibuk nge-band, sibuk mengotori tembok sekolah tetangga dengan graffiti, sibuk mengintip rok Bu Manda, dan yang paling membuat kepala sekolah naik darah adalah Gilang. Selain sibuk dengan perbuatan-perbuatan onar diatas, ia juga sangat sibuk dan aktif untuk TIDUR DI KELAS.
Putri-putri di kelas itu pun tak lebih baik. Lihat saja Mira dan konco-konconya yang lebih asyik memotong rok sependek-pendek kaki kodok untuk mempertontonkan paha putih mereka, lalu Yukino dan gengnya yang terus-menerus menyeludupkan komik ke sekolah.
Satu-satunya komunitas manusia normal di kelas 12 IPS-1 adalah ke tiga Super Power Einstein Jangan Lupa Pake Kuah (baca: SPEJLPK). Mereka adalah Suyitno, dan kembar Warsito-Warsiti.
Di kelas durhaka yang akan membuat para pendiri bangsa menangis pilu melihat otak para murid yang tak berfungsi, terdapatlah oase yang menyejukan. Oase itulah yang berfungsi memuaskan kehausan para guru setelah memaki-maki habis tiap berandalan dan berindili (bandit perempun yang mengenakan sapu sihir yang dilapisi sapu ijuk). Ya merekalah SPEJLPK itu. Otak mereka paling pandai satu kelas. Sebenarnya sih nggak pintar-pintar amat. Lebih pantas dikatakan paling pintar diantara orang-orang yang sangat goblok.
Namun Suyitno yang berlagak politikus, yakni omong besar tanpa isi, lalu Warsito yang paling senang bertanya ini-itu, dan Warsiti yang paling senang mencatat di depan meja guru (dengan alasan: “Mata saya bermasalah pak!”) telah merebut hati guru-guru untuk berubah profesi menjadi guru prifat. Biasanya mereka yang sudah sangat muak dengan kelas itu hanya akan berdiri di depan meja SPEJLPK –yang berurutan- dan berceloteh panjang lebar disana. Sedangkan murid lainnya biasanya menghabiskan waktu dengan main lotre atau togel, kadang-kadang juga main kartu gaplek.
FYI, mengapa dinamakan SPEJLPK? Alasannya sih simpel aja. Kalau ngobrol sama mereka, jangan lupa bawa payung atau helm sekalian! Entah mengapa, bibir mereka bertiga sering banget mengeluarkan hujan. Kalau mereka lagi ngumpul, pasti meja yang mereka pakai bakalan basah, atau minimal berembunlah. Menurut Yanuar, si biang gossip, kebiasaan muncrat itu diawali oleh pasangan kembar Warsito-Warsiti. Nah, karena Suyitno keseringan ngumpul bareng dua makhluk tadi, maka mau tak mau dia pun tertular virus bibir berkuah. Ya untungnya air muncratan mereka itu nggak bau-bau amat. Malah aromanya agak unik, yaitu bau bedak talek yang dicampur sari mangga arum pahit.
Mengetahui guru-guru telah makan hati menghadapi mereka, murid-murid itupun tak jera juga. Buktinya mereka tengah asyik bermain bola di jam pelajaran sejarah. Mereka tengah mengusung motto High School Never Ends.
Beberapa menit yang lalu saat Bu Adinda melihat Gilang tertidur kembali, ia segera kumat penyakit bengeknya dan langsung keluar dari kelas sambil megap-mengap seperti ikan mujair minta dicium pak lurah. Akibatnya kelas 12 itu pun dibiarkan bebas tanpa induk. Bukannya menyesal atau apa mereka malah bermain sepuas-puasnya di lapangan.
Derai tawa mereka membahana membuat beberapa kelas yang menghadap lapangan menatap mereka dengan iri. Kelas 12 IPS-1 memang sangat dibenci guru-guru, namun banyak sekali yang mengidolakan kesolidan dan kebebasan mereka.
***
“Gil, kamu tuh apa-apaan sih? Aku denger kamu dikeluain lagi kan dari kelas? Terus sebelumnya kamu malah sempet diguyur sama Bu Macan. Kamu…” Ori tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia hanya dapat mengatur nafasnya yang terasa sesak sambil sesekali menggigit bibirnya. Ia merasa sama sekali tak dapat menyelami apa yang dipikirkan Gilang, pacarnya sendiri.
Gilang sendiri hanya diam. Sesekali ia menyeka keringat yang mengalir menuju ke dahinya. Ia mengibas-ibaskan tangannya untuk mendapatkan sedikit angin.
“Iya maaf,” kata Gilang seadanya.
“Maaf apa? Kamu selalu deh…Sekolah ini bukan buat cari gara-gara, Lang. Kapan sih kamu kapok. Kamu sendiri tau kan guru-guru udah pada kesel sama kamu? Kalau kamu nggak lulus UAN gimana?” bibir Ori gemetar dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Ya ampun, Ori. Kamu kan tau aku pintar. Ulangan aku aja nggak ada yang dibawah enam…Perkembangan kan dari taun lalu? Kamu percaya dong, pacar kamu ini nggak setolol yang kamu kira.” Ori melotot. Air matanya kini telah menetes.
“Kamu kelewatan!”
Ori berlari kencang meninggalkan Gilang sendirian di taman belakang sekolah. Gilang menghela nafas. Kenapa sih Ori begitu serius menjalani hidup. SMU kan cuma sekali seumur hidup. Bandel-bandel dikit nggak apa-apalah. Ori…Ori…
Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya yang pening karena Ori dan langsung berlari lagi ke lapangan lagi. Lapangan, kantin, dan taman belakang. Letak ketiga tempat itu saling berentetan. Kantin terletak dibagian depan taman belakang. Sedangkan lapangan teletak disebelah kantin. Dan taman belakang adalah lokasi kesukaan para siswa untuk melepaskan kejenuhan. Tapi bagi Ori dan Gilang tempat yang cukup luas tersebut adalah tempat melepaskan emosi, alias lokasi bertengkar paling asyik.
“Hahahahaha…Abis dimarahin ya sama istri? Dasar ISTI!” Ikatan Suami Takut Istri adalah julukan dari teman-teman Gilang. Gilang tak menyahut ia hanya meneguk air dinginnya dengan nafsu.
“Nggak usah dibahas ah…BT gue…!”
Rahul meminum air sodanya dengan semangat dan kemudian bersendawa kencang. Gilang yang merasa jijik dengan sendawa Rahul langsung melemparkan gumpalan tanah kering yang berada di dekat lapangan ke wajah Rahul.
“Aw…Bapuk lo Gil! Perih nih mata mempersona gue!” Rahul pun melemparkan botol soda kosong pada Gilang.
“Sialan! Sakit, tolol!” Gerombolan pria itu pun terbahak-bahak di siang hari bolong itu.
Belasan pria 12 IPS-1 lagi-lagi terkena hukuman. Akibat terlambat masuk dalam jam pelajaran Bu Manda yang seksi, membuat Bu Adinda kumat penyakit bengeknya, dan membuat Bu Macan murka angkara, hari ini para siswa kembali menerima hukuman. Entah untuk yang keberapa kalinya mereka harus membersihkan lingkungan sekitar lapangan bola itu, saat semua murid lainnya pulang dan berleha-leha di rumah.
“Eh kok tumben, yang cewek-cwek pada nggak kena hukuman juga? Biasanya mereka dihukum barengan kita!” Tungka mengutak-atik sebuah benda hitam yang kelihatannya kenyal.
“Hari ini mereka memang pada alim. Kayaknya mereka lagi pada tenggang rasa gitu sama Mira, dia kan abis diputusin sama cowoknya,” kata Yanuar, si bapak gossip 2008.
Mira, si Paris Hilton wannabe, adalalah biangnya konsumtivisme, hedonisme, dan rokminiesme. Si cantik yang centilnya bukan kepalang itu memang bercita-cita jadi model internasional yang berlenggak-lenggok di catwalk Paris, Berlin, dan Italia. Jadi jangan pernah bingung melihat dia dan konco-konconya memakai make up ke sekolah, mengetatkan kemejanya, dan hal ekstrim lainnya. Namun si lemot itu berhati mulia sekali. Dia bisa menjaga kekompakan dengan kelas, sehingga murid-murid 3 IPS 1 pun bisa menerima tingkah anehnya dengan tulus ikhlas.
“Memang nggak tau diuntung banget ya cowoknya. Siapa namanya? Robi ya? Mira kan cantik, seksi, baik lagi. Ya memang kadang suka centil dan lemot, tapi kalau gue sih nggak bakal nyia-nyiain Mira,” kata Rino penggemar setianya Mira sejak dulu.
Mendengan pengakuan polos Rino para berandal pun langsung menyerbu dengan sampah-sampah ditangan.
“Dasar ‘omdo’ lo! Kalau ada orangnya aja, lo diem…Pengecut nih!” kata Rahul. Rino hanya bisa senyam-senyum sendiri mendengar tudingan dari teman-temannya.
“Gue butuh waktu...” Sampah-sampah pun kembali berterbangan.
“Bilang aja takut!” kata Tungka yang masih saja seru dengan sesuatu yang kenyal ditangannya.
“Cewek tuh nggak bisa dingertiin. Kayak si Ori…”kata Gilang tiba-tiba dengan nada pengin curhat.
“Makin lama gue makin ngerasa dia ngerendahin gue. Kayaknya dia malu deh punya pacar tolol kayak gue. Nilai gue memang selalu pas-pasan, tapi kan gue selalu naik kelas. Kenakalan gue juga kayaknya wajar kok…Heran, protes terus…”
“Ya wajar aja lagi, sinting. Cewek lo itu kan cewek paling pintar satu sekolah. Anak IPA, mantan ketua OSIS, ketua klub Fisika, masa depannya pasti cerah banget. Dia mau jadi ilmuwan kan, Gil? Nah elo. Bandel iya, goblok iya, males iya...Sampe sekarang gue masih bingung deh Gil, kok lo bisa sih sama Ori? Well, dia lumayan cantik sih, tapi dia itu kan juteknya minta ampun. Terus perbedaannya sama lo itu kayak langit sama jurang. Kok lo bisa sama dia sih?” Timoti yang menggigiti sedotan-yang baru ditemukannya di got bertanya kebingungan.
Gilang tersenyum tipis. Lapangan hening, semua menunggu jawaban Gilang.
“Gue tertarik sama wajah murungnya. Mirip sama seseorang.” Gilang menerawang jauh, lalu tersenyum simpul.
“OMG, jadi lo sebenernya nggak suka sama dia dong? Lo Cuma suka sama wajah murungnya?” tanya Tungka.
“Jangan asal tebak lo!” Gilang menyeruput teh botol sampah yang masih berisi setengah yang terletak di dekat gawang. Pertanyaan Tungka cukup membuat Gilang berpikir. Apa benar dirinya mencintai Ori, atau karena wajah murungnya saja? Entah.
“Ih najis. Bau banget nih!” Tungka memeperkan tangannya yang ditempeli gumpalan hitam ke gawang.
“Eh bodoh! Gawangnya kan baru dicat minggu lalu. Lo ngotor-ngotorin aja deh. Itu apaan sih?” tanya Gilang dengan pandangan jijik.
“Gue juga nggak tau. Tadi ada si sepatu gue. Setelah gue teliti ternyata itu permen upil deh…”
Dan sampah-sampah pun berterbangan ke kepala Tungka membuat lapangan tambah kotor setelah mereka bersihkan.
***
Ayah dan bunda menatap Gilang dengan tatapan heran. Bagaimana mungkin mereka memiliki anak sebadung Gilang? Salah mendidikah mereka?
“Gilang…”Ayah terdengar menahan suaranya agar terdengar sesabar mungkin di telinga Gilang.
“Ayah mendapat surat lagi dari sekolah. Wali kelas kamu bilang kalau kamu makin lama semakin badung.” Ayah menarik nafas.
Gilang yang duduk diantara ayah dan bunda terdiam untuk mendengar tuduhan selanjutnya.
“Gil, kamu jera dong. Udah berapa kali kan kamu dihukum di sekolah? Masa nggak malu-malu juga sih? Ingat, kamu udah mau UAN lho…Kalau nggak lulus mau jadi apa? Tukang sayur? Atau pengamen?” Bunda mengusap-usap kepala anak semata wayangnya dengan gemas.
“Yah profesinya nggak asyik bunda. Kalau Gilang nggak lulus, Gilang sih pengin belajar perdukunan aja, biar tajir!”
“Gilang, ayah sama bunda nggak lagi becanda lho!” kata bunda lembut.
“Oke.” Gilang menarik nafas “Yah, bun…percaya deh sama Gilang. Kenakalan Gilang wajar kok. Cuma guru-guru aja yang suka hiperbola. Gilang cuma nyari petualangan dan tantangan yang nggak akan pernah bisa Gilang lupain sampai dewasa. Ayah dan bunda ngerti kan? Lagian nilai Gilang selalu pas kok,” kata Gilang sambil menunduk.
“Pas? Kamu bangga dengan kata pas? Sayang, bunda tau sekali kamu itu sangat cerdas. Ingat waktu TK dulu? Hanya kamu yang dapat mengerjakan puzzle 100 keping dengan waktu tercepat. Waktu SD kamu juga beberapa kali memenangkan lomba matematika. Kamu itu bisa mengerjakan lebih, nak.” Bunda membelai Gilang dengan sayang.
“Mencari pengalaman sah-sah saja, nak. Tapi nilaimu juga harus tetap seimbang,” kata ayah yang kemudian tersenyum diikuti bunda. Senyuman yang hanya mereka sendiri yang dapat mendefisinikan artinya.
“Ayah sama bunda kok senyum-senyum gitu sih? Kayak Galih dan Ratna aja!” Bunda tertawa pelan.
“Kamu itu seperti ayah waktu masih muda dulu. Badung sekali…”
Gilang pun terbahak bersama bunda. Wajah ayah memerah karena kartunya terbuka.
“Bunda nih, ayah kan jadi malu!” Mendengar pengakuan ayah, Gilang dan bunda tertawa makin keras.
Keluarga bahagia itu pun bersukacita bersama. Di tengah maraknya permasalahan rumah tangga yang terjadi di masyarakat, hanya sedikit saja keluarga yang mampu bertahan menciptakan keakraban dan keharmonisan rumah tangga, salah satunya adalah keluarga Gilang ini.
***
Callistasia Anggun Wijaya
No comments:
Post a Comment