Tuesday, May 26, 2009

M for Mama

Chapter 1. Telepon



Malam ini terlalu gerah buatku, keringat tak hentinya keluar dari pori-pori tubuh ini. Kurasakan kaosku basah, membuatku tak nyaman lagi tidur-tiduran di sofa. Remote televisi kupencet berkali-kali mencari siaran yang menarik untuk ditonton. Jumat malam yang menyebalkan, acara tak menarik. Aku butuh tontonan untuk mendapatkan inspirasi. Televisi ternyata menyediakan hal-hal yang itu-itu saja.

Suasana jam 8 malam itu cukup sepi. Nenek Maryam merajut di sofa sebelahku. Momma menidurkan Kinta dan genta di lantai atas, sedangkan Poppa belum pulang dari kantor, biasanya dia pulang jam sepuluh.

Seharusnya aku menyelesaikan skenarioku, tapi ide mentok sedang menyerang. Aku butuh penyegaran, butuh istirahat walaupun kepalaku tak hentinya berputar mengatur cerita yang menjadi sebuah skenario berbahasa Inggris. Sebuah karya sebagai kunciku untuk meraih beasiswa di SIFS alias Sidney International Film School yang berada di Australia. Aku terobsesi untuk itu. Ya, aku harus mendapatkannya.

Nenek Maryam orangnya pendiam. Seperti juga diriku. Di rumah ini yang selalu bersemangat mengobrol adalah Poppa. Dia sungguh berbeda dengan ibunya. Maksudku ibu angkatnya. Nomor dua tukang gobrol adalah Momma, yang kadang-kadang bergosip dengan para tetangga. Berikutnya tentu Kinta dan Genta, dua bocah kembar yang selalu ribut jika bermain.

Selanjutnya Nenek, dan aku terakhir. Aku manusia pendiam di rumah.

Sebelumnya aku mau bilang kalau aku bukan pendiam tulen. Begini, ternyata manusia memiliki beberapa wajah yang dapat ditukar-tukar. Hal ini alami dan semua pasti merasakan. Ada wajah menurut perannya di kehidupan, sebagai orang tua, sahabat, atau guru. Dan ada wajah karena dia berhadapan dengan orang tertentu, seperti pada kekasih, pada orang tua atau guru. Yah, kamu mengerti maksudku.

Aku tak terlalu pendiam jika sudah bersama teman-temanku. Aku betah berlama-lama mengobrol dengan Alba dan Sania, sahabatku. Apalagi kami sama-sama gila baca walau kesukaan kami berbeda-beda. Alba suka buku-buku Sains (dia berencana menueruskan kuliah ke Fakultas Kedokteran), dan Sania suka kisah dongeng dan fantasi. Sedangkan aku si melankolis lebih suka buku novel romantis dan yang agak berbau psikologi. Kami juga punya akun di goodreads.com sebagi bukti kami memang pecinta buku sejati.

Aku mencoba menonton film Korea di salah satu channel, ceritanya tentang seorang cewek yang menderita kanker di kepalanya sehingga dia kehilangan memori dengan sang kekasih. Oh, kenapa tidak dari tadi aku menemukan channel ini. Ini sudah setengah jalan cerita.

Malam yang panas, menenton film Korea sambil tiduran di sofa, ditemani nenek yang tekun menjahit….oh, telepon berdering.

Aku malas bangkit. Untung saja nenek bersedia mengangkat telepon itu. “Biar nenek saja,” kata beliau.

Aku meneruskan menonton kisah cewek menyedihkan itu. Selalu saja cewek yang menderita penyakit aneh-aneh semacam leukimia, kanker, bahkan alzheimer di film Asia, kayak cewek mkhluk yang harus menderita dan dikasihani. Atau memang seperti itu? Apakah aku juga menyedihkan?

Asal jangan kena penyakit mengerikan saja deh, aku memohon. Aku takut sakit seperti itu, takut orang-orang yang kusayangi mengkhawatirkanku dan menjadi susah. Selain itu… aku membayangkan hal-hal yang menyedihkan bisa menimpaku. Bego, harusnya aku memohon untuk tidak menjadi cewek menyedihkan…

“Apa, kamu bertemu Sandrina?? Lalu apa yang terjadi, dia ingat kamu?”
Suara nenek memecah keheningan. Aku terkesiap dari buaian kisah dramatis di televisi. Aku bangkit, melihat nenek yang air matanya menggenang dan mengalir di kulit keriputnya.

Sandrina itu nama ibuku.

Aku bangkit dari tdurku dan mendekati beliau.

Nenek berkata lagi pada entah siapa diseberang sana, “Syukurlah, syukurlah… apa dia baik-baik saja? “

Aku terdiam di sebelah nenek.

“Dia belum siap berbicara dengan keluarganya?”

Aku masih bingung, tapi seperti magnet aku lebih dekat. Siapa “dia” yang belum siap itu?

Kenapa nama mamaku disebut-sebut?

Kudengar dari pintu depan suara Poppa, ternyata dia pulang lebih cepat. Suaranya terdengar gembira.

“Hai, orang rumah. Aku bawa oleh-oleh martabak. Ayo siapa yang mau.”

“Alan, anak-anak baru tidur jangan ribut!!” kata Momma yang turun dari lantai dua.

Keduanya menuju ruang keluarga tempat aku dan Nenek berdiri. Mereka juga heran melihat kami, terutama nenek yang menangis dan… tersenyum. Sedangkan aku lebih seperti orang bego yang tidak tahu apa-apa.

Nenek menurunkan gagang telepon dari telinganya dan meletakkan ke tempatnya. Poppa sigap merangkul Nenek, mengecup pipi ibunya dengan hangat.

“Ada apa, Bu?” tanya Poppa lembut.

“Sandrina…, Sandrina ditemukan… oleh teman kuliahnya di kota Tanatinggi..” Hanya itu yang nenek katakan dan beliau menangis keras di pelukan Poppa. Poppa membimbing beliau untuk duduk di sofa.

Aku makin bingung.”Ditemukan? bukankah beliau sudah meninggal… kecelakaan?” Tanpa aku sadari aku berbicara lantang, padahal kupikir aku berkata dalam hati.

Kurasakan jemari Momma menyentuhku. Aku pasrahkan tubuhku dipeluknya. Sepertinya aku akan mengetahui hal baru

Hanya saja, aku tak sanggup untuk mendegarnya. Ku jamin hal itu!

Kami duduk di sofa. Nenek sudah reda tangisnya namun Poppa masih memeluk beliau. Momma duduk disebelahku setelah mengambil piring dan meletakkan martabak diatasnya. Kupastikan ia telah dingin karena tak ada seorang pun yang berminat menikmati. Semua terbawa suasana yang tak kumengerti.

Aku menebak… saatnya kebenaran.

“Lyla,” panggil nenekku. Aku tak menjawab, hanya menatap wajahnya lekat-lekat. “Sandrina, mamamu berada di suatu kota bernama Tanatinggi, syukurlah dia baik-baik saja di sana. Dia bekerja di sebuah rumah makan.”

Aku harus menanggapi apa?

“Dia sehat disana,” nenek tersenyum, “Syukurlah.”

Telepon dari siapa sih itu, nenek jadi sableng seperti ini?

“Nenek, dia sudah meninggal. Aku dengar seperti itu dari nenek sendiri, kan?”

“Nenek…nenek…”

“Kami telah berbohong padamu… selama ini,” Poppa membantu Nenek. Dia melirik ke Momma.

“Bohong?”

Kurasakan jemari tangan Momma lagi di pundakku.

“Aku hanya tahu mama meninggal bersama papa di sebuah kecelakaan bus. Aku hanya tahu itu, Pop, Mom. Aku selalu mendengar hal itu dari kalian. Nenek selalu bercerita semenjak aku SD. Ya, kan?”

“Tidak pernah ada kecelakaan, Sayang,” kata nenek.

“Kami salah sudah membohongimu. Sebenarnya mamamu masih hidup. Hanya saja kami tak tahu dia ada dimana. Kami telah mencarinya kemana-mana dan tak menemukan. Setelah tak ada kabar begitu lama, tiba-tiba Allah memberikan berita gembira ini pada kita.”

“Kalian membohongiku? Aku sudah lima belas tahun dan tak ada yang berniat memberikan kebenaran.” Aku memprotes.

“Kami mengarang cerita untuk kebaikanmu,” Poppa membela diri

“Kebaikanku,” aku menyesal suaraku terdengar seperti meledek. Tapi tak ada yang protes. Aku meneruskan. “Mungkin jika momen ini tak pernah terjadi, aku hanya akan menelan kebohongan sampai aku mati?”

“Kami menyesal, Sayang.” Sahut Momma.

“Nenek tahu kalau bohong itu dosa, kan?” kataku lagi. Aku tahu telah berkata kasar pada nenek, tapi hatiku kesal pada mereka. Aku idiot yang tertipu bertahun-tahun. “Neraka tempat orang berbohong.”

“Ini untuk kebaikanmu, Lyla! Jaga omonganmu.” Poppa bersuara keras. Nadanya mengancamku, tapi aku tak takut. Siapa korban disini? Aku!

‘Kebaikan kalian nggak baik untukku!” Kudengar aku berteriak, lepas begitu saja. “Hakku untuk tahu keadaan orang tuaku. Mana mamaku, mana papaku? Kenapa mereka harus meninggal dan sekarang ditemukan?” Aku menekankan kata ditemukan. “Aku seperti bayi tahu. Aku bodoh dan dibohongi.”

“Kamu bukan bayi dan tidak bodoh, Sayang,” kata Momma membelai rambutku. Aku menyikutnya pelan. Langsung aku menyesal. Momma berkata lagi, “Maaf, Lyla.”

Aku menangis.

“Kalian nggak tahu rasanya jadi aku. Aku tak pernah tahu siapa orangtuaku selain yang kalian ceritakan. Foto mereka pun hanya sedikit yang kulihat. Bahkan, aku tak kenal wajah papaku. Aku nggak kenal orangtuaku. Aku nggak kenal mereka…” aku semakin menangis. Aku lebih cengeng dari pada Kinta atau Genta saat mereka rewel. Aku memang bayi besar idiot.

Momma memelukku, aku tak melawan. Aku memang butuh dipeluk.

“Kenapa harus bohong. Aku akan menerima kebenaran, sepahit apa pun.”

Poppa berdehem, amarahnya mereda. “Kami hanya ingin kamu bahagia. Oke, kami naif mengira kamu hanya ingin mendengar yang sebaiknya kamu dengar bukan apa yang harusnya kamu dengar. Kami mengira mamamu tak akan ditemukan dan biarlah dia menjadi cerita yang kami karang. Kami naif, Sayang. Maaf.”

Aku masih menangis.

“Kalau begitu kamu ingin cerita sebenarnya, Sayang?” tanya Poppa.

“Alan, dia masih shock. Nanti dulu.” Momma memprotes. Pelukannya mengendur, tapi aku masih merasa nyaman. Dia ibuku, yang merawatku, aku sayang dia. Ibuku yang sebenarnya berada entah dimana. Aku harus tahu kenapa dia tak mengasuhku. Atau memelukku disaat aku sedih seperti ini. Aku harus tahu. Walau pahit.

“Ya, aku mau dengar,” jawabku mantap.

“Yakin, Lyla?” tanya Nenek dengan wajah khawatir.

“Yakin. Sudah sepantasnya aku mengetahui. Aku siap.”

Poppa menarik nafas, dia meminta segelas the untuk kami pada Momma. Dengan patuh Momma ke dapur. Padahal aku butuh pelukan Momma, tapi biarlah.

“Sandrina, mamamu, kakakku, menghilang di suatu hari saat kau masih satu tahun. Dia hanya meninggalkan surat singkat kalau dia ingin mencari papamu. Kami diberitahunya kalau papamu keluar kota, jadi dia akan menyusul. Hanya saja kamu ditinggalkan dan kami sadar dia pergi untuk waktu yang lama.”

Aku menahan air mata sialan ini untuk tidak jatuh. Aku gagal.

“Memangnya papa kemana? Kenapa mama harus menyusulnya?”

“Papamu, dia pergi kembali ke kampungnya dan…,” Poppa seperti berusaha mengumpulkan keberanian, “berniat untuk tak kembali lagi. Karena itulah mamamu menyusulnya.”

Jadi, papa meninggalkan mama dan mama meninggalkan aku. Aku menduga mereka bertengkar dan semua karena aku.

Apa karena aku anak tak diharapkan? Aku muncul di perut mama sebelum mereka menikah. Jadi, aku anak haram. Entah kenapa pikiran itu muncul begitu saja. Mungkin aku terlalu banyak membaca novel.

“Pasti karena aku…”

“Bukan, hanya saja kisah cinta mereka rumit dan sulit.”

Aku ingin tahu seberapa rumit dan sulit. Tapi Poppa hanya menjawab, “Hanya mamamu yang mengetahuinya. Dia hanya bilang kalau semua kesalahannya dan dia harus meminta papamu kembali. Hingga sebelum telepon itu tak ada kabar dari mamamu. Dia hilang. Kami telah menghubungi polisi namun prosedurnya menyulitkan dan mamamu semakin tak diketahui lokasiya.”

“Kamu mau bertemu dengan mamamu lagi, kan? Kita kan jemput dia.”

Aku hanya menangis dan berlari ke kamar.


Abdul Aziz

No comments: