Tuesday, May 26, 2009

Live Together in 30 Days

1. Ciderella dan Pangeran Berambut Gondrong



Hari Pertama

Di siang hari yang panas panas, di salah satu sudut kota Jakarta, seorang pemuda berdiri di pinggir jalan. Ia baru saja keluar dari sebuah kantor perusahaan penerbitan. Keringatnya mengucur deras karena panasnya udara. Bau got dan asap kendaraan bermotor sudah tak dihiraukannya. Wajahnya tampak lesu menandakan bahwa ia baru saja mengalami kejadian yang membuatnya patah semangat.

Melintas di hadapannya sebuah mobil Kijang tua yang mengeluarkan asap hitam dari knalpotnya. Ia menutup mulut dan kedua lubang hidungnya karena tidak tahan dengan bau asap kendaraan itu yang terasa seperti membakar saluran pernafasannya. Tapi, ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia sedang menunggu kendaraan umum disana.

Beberapa saat kemudian melintas sebuah taksi di hadapannya, tetapi ia tidak menghentikannya karena ia memang tidak berniat menggunakan jasa angkutan umum semacam itu. Lebih baik naik bis kota atau metromini saja. Biar sumpek dan semerawut, yang penting terjangkau dan bisa mengantarkannya ke tempat tujuan.

Ketika sebuah bis melintas, pemuda itu terlihat senang. Penantiannya di tempat terbuka, panas dan kaya polusi itu akan berakhir. Tetapi, saat ia berusaha menyetop kendaraan itu, bis itu tidak mau berhenti. Ia tampak kecewa dan heran. Mengapa bis itu tidak mau berhenti saat ia cegat. Pemuda itu pun hanya dapat membuang nafas.

Tanpa disadarinya, dua orang pria tengah memperhatikannya dari seberang jalan. Dua orang pria bertampang mencurigakan itu kemudian menghampirinya.

Dengan sikap biasa saja, salah satu dari mereka menyapanya,”Sedang menunggu kendaraan umum?”

Pemuda itu menoleh dan menjawab,”Iya, tapi heran dari tadi tidak ada kendaraan yang mau berhenti.” Ia tampaknya tidak mencurigai kedua orang yang menghampirinya tersebut.

Salah satu dari kedua pria itu menghisap rokoknya dengan satu tarikan yang panjang. Lalu, ia membuang puntung rokonya dan menginjaknya dengan kakinya. Tentunya yang sudah bersepatu.

“Jelas saja tidak ada kendaraan umum yang mau berhenti disini. Kamu kan, berdiri di samping rambu lalu lintas dilarang berhenti,” ujarnya.

Pemuda itu pun menoleh ke samping kanannya. Ia pun tersadar kalau ia memang berdiri di samping tanda rambu lalu lintas dilarang berhenti. Ia langsung menepuk kepalanya sendiri.

“Oh, iya,” serunya.

Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu sehingga ia sampai tidak menyadari hal tersebut.

“Ma...makasih ya,” ucapnya berniat pindah tempat. Tetapi mereka malah menghalanginya.

“Sorry, elo nggak bisa pergi!” larang salah satu dari mereka.

“Apa maksudnya nih!?” si pemuda bingung.

“Maksudnya ini perampokan,” jawab pria yang satunya lagi.

Ia kemudian mengeluarkan sebuah pisau lipat dari balik jaketnya dan menodongkannya pada si pemuda.

“A...apa?!” Si pemuda kaget. Wajahya menjadi pucat.

"Sekarang serahkan barang-barang berharga milik loe!” salah satu dari penjahat itu mencoba menarik tas punggung milik si pemuda.

“Ta...tapi sa...saya tidak punya barang berharga...,”

“Sudah serahkan saja!”

Mereka berhasil merebut tas pemuda itu dan segera memeriksa isinya.

“Apaan nih? Cuma kertas doang isinya?” ujar mereka setelah membuka tas si pemuda yang hanya berisi berlembaar-lembar kertas A4 yang telah digambarinya dengan gambar-gambar bergaya komik.

“I...iya cuma itu yang saya punya...,” ucap si pemuda.

Mereka melempar tas si pemuda berserta isinya ke tengah jalan sehingga semua kertas dari dalam tas itu pun berterbangan ke udara. Si pemuda memandang hal itu dengan wajah seperti orang kehilangan harapan. Kehilangan mimpi lebih tepatnya.

Namun kedua penjahat itu belum mau melepaskannya. Mereka kemudian memaksanya untuk menyarahkan dompet dan handphone miliknya. Dan, dengan terpaksa si pemuda menyerahkan keduanya.

“Lumayan juga pendapatan kita hari ini,” seru salah satu dari penjahat itu.

Setelah mengambil dompet dan handphone si pemuda, kedua penjahat itu berniat kabur dengan mengendarai sepeda motor mereka yang mereka parkir di seberang jalan. Saat sepeda motor mereka akan melaju, seseorang menarik kerah baju salah seorang penjahat itu dari belakang sampai ia terjatuh dari motornya.

“Brengsek!”

Si penjahat kaget dan kesakitan. Ia segera bangkit dan menyerang gadis yang tadi menariknya sampai jatuh dari motor.

Ia melayangkan pukulan tetapi berhasil dihindari gadis tersebut. Dengan menendang kemaluan si penjahat, perempuan muda itu berhasil membuatnya ‘kelenger’ untuk sesaat. Di saat itulah ia langsung menghantam wajah si penjahat dengan tinjunya sampai tersungkur.

Mengetahui rekannya tersungkur, si penjahat yang satunya lagi turun dari motornya dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan rekannya tadi, menyerang gadis tersebut. Tetapi, serangannya itu berhasil dihindari oleh perempuan muda misterius itu. Karena hampir putus asa, si penjahat pun segera mengeluarkan pisaunya dan mengacung-acungkan benda itu di depan wajah gadis itu.

“Coba dengan ini. Apa elo masih bisa menghindar!?” ancam si penjahat.

Baru selesai mengatakan ancamannya, si penjahat itu langsung terkena serangan yang sama dengan rekannya tadi. Kemaluannya ditendang sekuat tenaga oleh perempuan itu.

“Huaaaaahh!!” Si penjahat menjerit. “Sa...sakiiittt!!” pekiknya.

Dengan sekali tinju di wajah, si penjahat itu pun berhasil dijatuhkannya. Ia terlentang di atas aspal dengan tetap mengerang kesakitan. Gadis itu kemudian mengorek barang curian mereka dari saku celana si penjahat itu.

“Be...brengsek loe! Cewek setan!” umpat salah satu dari mereka sambil mencoba bangkit.

“A...awas loe, kalau ketemu lagi gue bales!” ancamnya dengan wajah cengeng seperti mau menangis.

Ia lalu membantu rekannya berdiri. Setelah itu, dengan terpontang-panting mereka kabur menggunakan sepeda motornya.

Si gadis misterius menyeka keringat di dahinya. Ia membiarkan mereka kabur.

Si pemuda terperangah dan terpesona menyaksikan hal itu. Ia kagum akan keberanian gadis itu melawan kedua penjahat tadi. Baginya, adalah hal yang luar biasa apabila seorang perempuan dapat mengalahkan dua orang pria jahat plus sebuah pisau lipat. Ia juga lega dompet dan handphonenya tidak jadi berpindah tangan.

Gadis itu kemudian menghampiri si pemuda di seberang jalan. Ia lalu menyerahkan apa yang tadi sempat dicuri para penjahat itu darinya.

”Ini dompet dan handphone loe,” ucapnya.

Si pemuda tak berkedip memandang perempuan cantik berwajah oriental dihadapannya itu. Bukannya menerima kedua benda miliknya itu, ia malah terus memandang wajah gadis itu dengan mulut yang agak sedikit terbuka. Seperti terhipnotis.

“Eh, maaf ini dompet dan HP loe.” Si perempuan agak mengeraskan suaranya. Tetapi pemuda itu masih saja bengong seperti orang kesambet jin budeg. “Hey!” Kali ini si gadis berteriak. Ia langsung meyerahkan kedua benda milik pemuda tersebut kepadanya. “Nih, gue balikin dompet dan HP punya loe,” ucapnya agak sedikit ketus.

“I....iya,” jawab si pemuda. Matanya berbinar, pipinya memerah dan ia menggaruk-garuk kepalanya sendiri walau tidak gatal. Salting (salah tingkah).

Melihat hal itu, gadis tersebut menjadi kesal. Ia langsung membalik tubuhnya. “Dasar cowok aneh,” pikirnya.

“Tu...tunggu...!” tahan si pemuda. “Nama kamu siapa?” tanyanya.

Dengan malasnya gadis itu membalik badannya kembali. “ Gue nggak ngasih tahu nama gue ke sembarangan orang,” katanya.

“Aku... cuma mau berterima kasih saja,” ucap si pemuda tersenyum.

Gadis tersebut membuang nafas. Ia tampak malas meladeni pemuda tersebut. Apalagi hanya seorang pemuda aneh berambut gondrong yang tidak dapat melindungi dompet dan handphonenya sendiri.

“Aku Ryan,” Pemuda itu menjulurkan tangannya, mengajak bersalaman.

Si perempuan sempat memandang tangan Ryan. Ia tampak tak berminat. Ryan tersenyum lagi padanya. Senyumannya terlihat tulus, dan gadis tersebut jadi terdiam menatapnya. Ia merasa aneh. Ia merasakan ada sesuatu dalam diri Ryan yang mengingatkannya tentang dirinya sendiri. Sesuatu yang ia sendiri pun tak mengerti.

“Gue Ryanti,” jawab gadis itu. Sesuatu yang ia tak mengerti itu membuatnya menerima juluran tangan Ryan.

“Ryan dan Ryanti ? Aneh, nama kita hampir mirip,” ucap Ryan. “Terima kasih ya, kamu udah nolongin aku. Aku nggak tahu deh, gimana kalau nggak ada kamu,” ucapnya lagi.

“Nggak apa-apa kok. Itu bukan hal yang besar buat gue,” ucap Ryanti ketus. Tetapi di telinga Ryan, itu terdengar seperti ia sedang merendah di hadapannya. Ryan jadi bertambah kagum. Sudah cantik, jago berkelahi tapi rendah hati.

“Jadi sekarang aku berhutang budi dong ke kamu. Gimana caranya biar aku bisa ngebalesnya?” tanya Ryan.

“Nggak usah. Gue nggak mengharapkan hal itu kok,” jawab Ryanti. “Ngebales budi? Apa yang bisa diharapkan dari cowok lemah yang bahkan nggak bisa melindungi dompet dan HP-nya sendiri,” pikirnya.

“Jangan gitu dong. Aku kan jadi nggak enak,” jawab Ryan.

Ia kemudian membuka dompetnya dan mengambil selembar uang seratus ribuan dari sana. Ia berniat memberikannya pada Ryanti.

“Nggak usah,” jawab Ryanti menolak. “Gue kan menolong dengan tulus. Enak saja menghargai perbuatan baik gue dengan uang,” pikirnya.

“Nggak apa-apa kok, terima saja,” bujuk Ryan semakin merasa tidak enak.

“Nggak usah,” geleng Ryanti. “Gue menolong bukan karena mengharapkan balesan apa-apa. Gue cuma nggak bisa diem aja kalau ngeliat ada orang kesulitan. Itu saja kok,” jelasnya.

Ryan jadi terdiam mendengarkan kata-kata Ryanti barusan. Ia jadi semakin kagum saja akan sikap rendah hati gadis berkulit putih tersebut. Tetapi ia benar-benar merasa tidak enak dan berhutang budi.

Ryanti yang sudah bosan meladeninya pun segera berbalik badan. Namun, lagi-lagi Ryan menghentikannya.

“Tunggu!” katanya.

Walau malas dan kesal Ryanti kembali membalik badannya. Kemudian Ryan mengambil sehelai kertas dari kertas yang berserakan di jalan dan sebuah pulpen. Ia lalu menuliskan nomor handphonenya disana. Kemudian ia memberikannya kepada Ryanti.

“Apa ini? Nomor HP?” gumam Ryanti. “Dasar cowok,” pikirnya.

“Iya, itu nomor HP aku. Kamu bisa menghubungiku kalau-kalau suatu saat kamu butuh bantuan. Kalau kamu punya masalah atau keperluan apa pun pasti aku bantuin untuk membalas budi. Jadi kamu hubungi saja aku, oke,” terang Ryan.

Ryanti sempat memandang sehelai kertas tersebut. Tadinya ia bingung dan tak mau menerimanya, tetapi karena lagi-lagi ia melihat senyuman yang terasa begitu tulus di bibir Ryan, ia mau juga menerimanya.

Terima sajalah, supaya dia tidak tersinggung,” pikirnya.

“Ya... ya... sudah,” ucap Ryanti berniat pergi.

Ryan tersenyum dan mengangguk. Ia membiarkan gadis itu menyeberang jalan. Setelah berada di seberang jalan, Ryan memberi isyarat agar ia meneleponnya bila suatu saat membutuhkan bantuannya. Setelah itu, gadis itu pergi dengan menaiki sebuah metromini.

“Aduh! Naskah komikku!” teriak Ryan. Ia baru sadar tentang naskah komiknya yang berserakan di tengah jalan.
* * *

Sebuah metromini berhenti di samping sebuah halte yang ramai. Bukan hanya ramai dengan penumpang tetapi karena adanya para pedagang kaki lima. Pedangang bakso, mie ayam, nasi goreng dan gorengan berjejer di samping halte. Harus diakui bangsa Indonesia memang bangsa yang pandai dalam berbisnis. Bisa mengubah sebuah halte menjadi restoran.

Ryanti keluar dari dalam metromini dengan wajah lega layaknya orang yang terbebas dari ruangan penyiksaan. Bagaimana ia tidak tersiksa kalau harus seharian duduk di atas kursi metromini yang terbuat dari besi dan tidak empuk sama sekali. Apalagi metromini tersebut melaju di jalan yang tidak rata dan berlubang. Maklum, jalanan itu memang sering tergenang air kalau sedang musim hujan.

Ryanti melanjutkan perjalananya pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Ia berjalan menuju sebuah gang, beberapa meter di depannya. Gang yang bernama gang Kehormatan itu adalah gang kecil menuju tempat kostnya. Karena melihat tong sampah di samping jalan masuk gang tersebut, ia jadi teringat sesuatu.

Ryanti mengorek sesuatu dari dalam saku celananya. Itu adalah kertas yang telah ditulisi Ryan dengan nomor handphonenya dan diberikan padanya. Ia kemudian mendekati tong sampah tersebut dan membuang kertas itu ke dalamnya.

“Gue rasa, gue nggak membutuhkan nomor itu,” pikirnya. Sesudah itu ia berjalan kembali memasuki gang tersebut.

Ryanti tiba di depan tempat kostnya. Ia lalu mengambil kunci rumah tersebut dari dalam tas yang dibawanya. Dengan kunci itu ia membuka pintu. Tapi baru saja ia berniat masuk ke dalam rumah itu, seorang wanita bertubuh gemuk memanggilnya dengan suara keras dari arah belakangnya.

Ryanti yang kaget langsung menengok. Ditemukannya wajah sang pemilik kost yang menyeramkan. Ryanti jadi agak ketekutan.

“Ta...Tante pemilik kost,” sapanya gugup.

Tante pemilik kost tidak menjawab sapaannya. Ia lalu berjalan mendekati Ryanti di depan pintu. Ryanti semakin gugup. Ada sesuatu yang selalu ditakuti oleh para anak kost di saat akhir bulan sperti saat ini.

“Sekarang tanggal berapa?” tanya Tante pemilik kost dengan suara cempreng yang terdengar menakutkan. Lebih menakutkan daripada suara Mak Lampir.

“Ti...tiga puluh Tante,”jawab Ryanti bergemetar.

“Kamu tahu tanggal 30 itu waktunya untuk apa?”

“Bayar... uang ko...kost,” jawab Ryantu lagi, semakin bergemetar.

Si Tante kost menadahkan tangan kanannya tanpa mengatakan apa pun. Tentu saja Ryanti tahu maksudnya. Dan, karena hal itulah ia ketakutan.

“Ma...maaf Tante,” ucap Ryanti pelan.

Wajah tembem si Tante pemilik kost semakin cemberut. Kedua bola matanya memelototi Ryanti. Gadis itu hanya bisa berusaha menghindari tatapan bernuansa kemarahan itu.

“Sa...saya belum dapat uang Tante. So...soalnya waktu gajiannya diundur, yang biasanya hari ini jadi taggal lima Tante. Ta...tapi setelah saya gajian pasti saya bayar kok, Tante,” jelas Ryanti terbata-bata.

“Nggak peduli! Nggak ada alasan!” bentak si Tante kost.

“Ta...tapi Tante...”

“Orang yang nggak bisa bayar uang kost tepat waktu harus angkat kaki dari tempat ini. Kamu tahu kan peraturan itu?” tegas si Tante kost. Ia tampak benar-benar marah. “Kamu sudah nunggak tiga bulan, tahu. Kalau bukan karena Tante kasihan sebab kamu sebatang kara, Tante sudah usir kamu sedari dulu. Dari saat pertama kamu nunggak uang kost,”

Ryanti tertunduk, ia tidak tahu harus bebicara apa. Ini bukan pertama kalinya ia dimarahi oleh Tante kostnya gara-gara terlambat membayar uang kost.

“Udah deh, daripada Tante pusing gara-gara hal ini, lebih baik kamu keluar dari tempat ini,” usir si Tante kost. Sungguh tak berperasaan.

“Tapi Tante, nanti saya akan tinggal dimana? Sekarang kan saya belum punya uang,” pekik Ryanti memelas. Pengemis pun kalah mengelas darinya.

“Bukan urusan Tante. Sudah, kamu keluar dari tempat ini! Kemasi barangmu dan pergi! Karena tempat ini akan Tante sewakan ke orang lain yang berani membayar dengan jumlah sedikit lebih besar daripada yang kamu bayarkan tiap bulannya,” usir si Tante kost lagi. Memang tak berperasaan.

“Tapi... bukankah kalau begitu Tante rugi. Tante mengusir saya sebelum saya bisa melunasi tunggakan saya yang tiga bulan itu,” ucap Ryanti.

“Tidak juga,” jawab si Tante kost. “Soalnya orang yang akan menyewa tempat ini sudah berani membayar sampai lima bulan ke depan. Jadi walaupun kamu belum membayar uang kost yang tiga bulan itu, Tante tetap diuntungkan,” ujarnya.

Ryanti jadi terdiam. Walaupun merasa kesal tetapi ia sudah tidak mampu berkata-kata lagi.

“Lihat, tidak baik bagaimana Tante sama kamu? Tante rela mengikhlaskan biaya kamu tinggal disini selama tiga bulan untuk tidak dibayar. Tetapi Tante tentu tidak bisa terus berbuat baik padamu. Dalam hal ini Tante cuma mencari keuntungan. Tante juga tidak mau rugi terus dong,” jelas si Tante kost.

Ryanti cemberut karena kesal. Gadis berumur 20 tahun itu menatap wajah Tante kostnya dengan tatapan menantang. Ia sudah marah dan tak mau bersikap memelas lagi. Ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh wanita gemuk tersebut.

Dasar Nenek Lampir bengkak,” pikir Ryanti. Ia hanya bisa memaki dalam hati. “Oke, saya akan pergi dari tempat ini. Lagian tempat ini sama sekali tidak nyaman buat saya,” ucapnya lantang. Ia sudah tidak dapat menahan kemarahannya.
* * *

Ryanti berdiri seorang diri di pinggir jalan, di depan gang Kehormatan. Di tangan kirinya terdapat sebuah koper beroda, dan di tangan kanannya terdapat kardus bekas mie instan yang telah dirangkai dengan tali rafia agar bisa dijinjing. Sepertinya ia sudah membereskan semua barang miliknya dan memutuskan untuk mmeniggalkan tempat kostnya sesuai dengan permintaan si Tante pemilik kost.

Dilihat dari wajahnya masih tampak sisa-sisa kekesalannya pada sang Tante kost. Ia juga terlihat bingung kali ini.

Ntar malam gue tidur dimana nih?” pikirnya.

Saat melihat isi dompetnya, ia bertambah bingung. “Cuma ada lima puluh ribu. Nggak cukup untuk nyari tempat kost baru. Buat biaya penginapan semalam saja nggak cukup,” gumamnya.

“Nggak punya teman, nggak punya keluarga yang bisa dimintai bantuan. Ternyata hidup sebatang kara itu sangat menyiksa,” gumamnya lagi.

Tanpa sadar saat ia memikirkan hal itu air matanya menetes. Ia jadi teringat masa lalu. Masa-masa saat kedua orang tuanya masih hidup. Kini, kenangan indah itu malah membuatnya sedih.

Kebingungan yang ia rasakan hampir membuat ia putus asa. Namun, di saat itu ia tiba-tiba teringat akan sesuatu. Sesuatu yang pada awalnya ia anggap tidak dibutuhkan. Iya, ia ingat akan secarik kertas yang bertuliskan nomor ponsel yang diberikan Ryan padanya. Mungkin pada pemuda yang baru dikenalnya itu ia bisa meminta bantuan.

Ryanti segera mendekati tong sampah yang berada di dekat jalan masuk gang Kehormatan., tempat ia membuang kertas itu tadi. Ia kemudian mengeluarkan semua sampah yang berupa kertas dari dalam sana. Diperiksanya satu-persatu sampah kertas tersebut. Ia berharap bisa menemukan kembali kertas yang tadinya ia anggap tak berguna itu. Matanya langsung berbinar ketika menemukan kertas itu. Lebih berbinar daripada mata orang yang melihat setumpuk emas batangan.

“Ah, akhirnya,”

Ia mendekap kertas itu di dadanya. Ia benar-benar merasa lega melihat kertas dan tulisan di dalamnya masih utuh. Ia menarik nafas dan menghembuskannya.

Seorang petugas kebersihan melihat kejadian itu dan segera menghampiri Ryanti untuk menegurnya.

“Hei, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu malah mengobrak-abrik sampah dari tong sampah itu!?” tegurnya.

“Ma...maafkan saya Pak. Tadi saya mencari benda berharga mlik saya yang tidak sengaja terjatuh ke dalam sini Pak,” jawab Ryanti beralasan.

“Benda berharga? Apa itu? Apa sudah ketemu?”

“Su...sudah kok Pak. I...ini dia,” ujar Ryanti sembari memperlihatkan selembar kertas di tangannya.

Kening orang itu agak berkerut melihatnya. “Ya... ya sudah kalau begitu, cepat bereskan kembali tempat sampahnya,” katanya.

“I...iya,” jawab Ryanti.

Ia segera memunguti kembali sampah-sampah tersebut dan memasukanya ke dalam tong sampah itu lagi. Setelah itu ia langsung pergi dengan membawa kertas tersebut dan semua barang bawaannya menjauhi si petugas kebersihan itu.

Si petugas kebersihan terus memandangi Ryanti yang telah jauh meninggalkannya sambil bergumam, “Tambah banyak saja orang stress di kota ini.”
* * *

Di tempat lain, lebih tepatnya di perpustakaan kota, Ryan tampak tengah duduk di atas kursi dan menghadap sebuah meja lebar sambil membaca buku. Tetapi ia tidak benar-benar sedang membaca buku. Sebenarnya ia sedang secara diam-diam memperhatikan seorang gadis yang kelihatannya dikenalnya. Gadis berambut panjang itu tampak sedang memilah-milah buku di depan sebuah rak buku. Ia sama sekali tak menyadari kalau sebenarnya ia sedang diawasi oleh Ryan.

Ryan terus memperhatikan gadis itu. Sesekali ia mengintip dari balik buku yang dipegangnya. Pada saat tertentu ia kembali menutupi wajahnya dengan buku tersebut dan kembali berpura-pura membaca. Dari wajahnya, Ryan tampak sangat gugup dan tegang. Itu tampak dari keringat yang mengucur di keningnya. Bahkan, orang lain yang duduk di sampingnya pun sampai dapat mendengar suara jantungnya yang berdetak dengan kencang.

Berkali-kali Ryan menelan ludahnya. Dan, setelah mengumpulkan segenap keberaniannya, ia pun memutuskan untuk menghampiri gadis tersebut. Namun, baru saja ia beranjak satu langkah dari tempat duduknya, suara ponsel di saku celanannya langsung menghentikannya. Muka Ryan makin bertambah tegang.

Seorang wanita penjaga perpustakaan tersebut merasa terganggu dengan bunyi ringtone ponsel Ryan. Ia segera menegurnya dengan cara mendesis dan memberinya isyarat agar ia mematikan ponselnya atau keluar dari tempat itu. Dengan terpaksa Ryan memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Kejadian tadi sungguh membuatnya malu. Tetapi, untungnya, gadis yang ia perhatikan itu tidak menyadari akan kejadian barusan.

Di luar perpustakaan Ryan menerima panggilan telepon tersebut. “Halo?” sapanya dengan suara agak ketus. Rupanya ia merasa agak sedikit terganggu dengan adanya panggilan masuk di saat ia berniat mendekati gadis pujaannya.

“Ha...halo,” Terdengar suara perempuan di ujung telepon itu. Suaranya terdengar seperti suara orang bingung yang baru saja menemukan sebuah harapan. Itu adalah suara Ryanti.

“Si...siapa ini?” tanya Ryan. Ia merasa asing dengan suara gadis itu di telepon.

“Ini gue, Ryanti,” jawab Ryanti.

“Ryanti?” Ryan seketika itu bergumam. Ia langsung teringat akan wajah cantik gadis yang telah menolongnya tadi siang itu.

“Iya, ini gue yang tadi siang nolongin elo,” jawab Ryanti.

Sekarang Ryan jadi merasa yakin kalau orang yang meneleponya itu adalah Ryanti, gadis yang menolongnya dari para penodong tadi siang. Tetapi, ia tidak menyangka kalau gadis itu akan benar-benar menghubunginya. Apalagi dalam waktu secepat itu.

“O... oh, kamu... a...ada apa?”

“Gue butuh bantuan elo,” ucap Ryanti langsung tanpa basa-basi. Ia memang tidak menyukai basa-basi. Semua yang basi memang tidak enak.

“Ba...bantuan?” tanya Ryan.

“Iya,” jawab Ryanti. “Bisa kita ketemuan?”

“Ketemuan? Dimana?”

“Di rumah loe. beritahu gue alamat rumah loe,” jawab Ryanti.

Ryan kaget mendengarnya. Ia heran, mengapa gadis yang baru dikenalnya itu sudah berani meminta aalamat runmahnya. Ryan jadi bingung mau mejawab apa.

“Untuk apa?” tanya Ryan.

“Gue mau meminta bantuan elo, tapi nggak enak kalau ngomongin ini di telepon. Lebih baik kita bicarakan ini di rumah elo aja,” jawab Ryanti terdengar seperti memakasa.

“O...oke deh.” Ryan setuju walaupun masih belum mengerti.

“Kalau begitu kasih tahu gue alamat rumah loe.”

“E... iya. Catet ya...,” ucap Ryan. “Jalan Kenangan nomor 23, Jakarta Barat,” katanya.

“Iya, udah gue catet,” jawab Ryanti. “Terima kasaih,” ucapnya. Kemudian ia mematikan sambungan teleponnya.

Ryan jadi terdiam mendengar kata terakhir yang diucapkan Ryanti tadi. Kata terima kasih darinya itu terdengar seperti tulus keluar dari dalam hatinya. Itu tidak terdengar seperti kata terima kasih yang diucapkan hanya untuk sekedar basa-basi saja.
* * *


Phiyouzink

No comments: