SEHARI DI PARIS
Hari ini musim dingin untuk pertama kalinya dimulai lagi. Udara dingin sangat kentara berada disetiap sudut ruangan. Gundukan-gundukan kecil nampak menutupi jalanan dan sebagian atap rumah penduduk. Gundukan putih yang bernama salju. Traski berjalan mendekati jendela. Disibaknya tirai yang menutupi kaca jendela apartemennya. Dari jendela apartemennya yang berada dilantai lima ini, jalanan terlihat sangat jelas. Traski memutar duduknya, sesekali ia mencondongkan tubuhnya kedekat kaca jendela, sedetail mungkin berusaha mengamati keadaan diluar sana. Tak ada yang menarik…sama seperti musim dingin sebelumnya. Dengan gerakan malas ia bangkit dari duduknya. Suasana diluar jendela membuatnya kesal. Ia sebal dengan salju. Ia benci salju!!!
Sebuah suara bel terdengar meraung-raung di gendang telinganya.”Ughh…”keluhnya pelan. Ia heran kenapa ada orang yang sangat senang mengganggu kehidupan orang lain. Contohnya bertamu saat pagi buta bengini. Traski melirik jam dindingnya. Dugaannya benar, baru jam Sembilan. Yang artinya masih terlalu sangat pagi baginya untuk memulai aktifitas, apalagi dengan menyambut seorang tamu. Walaupun setengah mengomel , Traski akhirnya beranjak untuk membukakan pintu.
Seorang pemuda yang berperawakan tinggi, dan memiliki mata yang tajam bewarna coklat berdiri tegap didepannya. Devo penghuni baru apartemen disebelahnya alias tetangga baru Traski memberikan senyuman indahnya, yang sepertinya memang sudah dia persiapkan dari tadi. Sepotong kue pai yang masih mengepulkan asapnya di pegang Devo. Erat.
Apakah ia pikir aku bisa disogok dengan sebuah pai? Dengusnya kesal.
“Masuklah….” Traski mempersilahkan Devo memasuki apartemennya. Devo mengulum senyumnya dan mengangguk pada Traski. Sopan sekali.
“Aku tidak terlalu suka kerapian” ujarnya singkat setelah ia melihat Devo sedikit takjub melihat apartemennya yang…ya ampun!!! Nyaris seperti baru saja dihantam angin puting beliung.
“Ooh….”tanggap Devo tergagap. Buru-buru ia menyodorkan pai apel yang dari tadi ia pegang kearah Traski. ”Untukmu……”.
Traski tersenyum. Ia hanya merasa heran, kenapa masih ada pemuda yang sangat sopan hadir dalam kehidupannya sekarang.
“Terima kasih…” masih dengan senyumannya, Traski mengambil pai apel itu dan langsung mencicipinya. Lahap. Sebenarnya ia sangat lapar. Hanya saja kulkasnya kini sedang kosong, tanpa satupun penghuninya. Penghuni yang terakhir habis dilahapnya tadi malam. Itupun hanya sepotong coklat yang hampir kadaluarsa. Jadi….. siapa bilang ia tak bisa disuap dengan sepotong pai apel?
“Senyumanmu manis. Eh maksudku kamu lebih manis tersenyum dari pada cemberut seperti tadi”
“Benarkah…?” Traski tak ambil peduli. Cowok selalu bilang begitu jika pertama kali bertemu. Selalu saja ia akan mendapat sebuah pujian. Entah senyumnya yang manis, giginya yang rapi, atau penampilannya yang oke. Traski bosan mendengarnya.
“Apakah kau kemari hanya ingin memuji senyumanku?”
“Tentu saja tidak. Aku datang kesini ingin meminta bantuanmu.”
Traski mendelik…sudahlah! nilai sopan tadi langsung dicabutnya kembali. Cowok didepannya ini kini mulai membuatnya sebal. Dihentikannya kunyahannya tadi. Ia tak suka diganggu, sekarang cowok ini malah ingin meminta bantuannya. Padahal mereka baru saja kenalan.
“Apa alasanmu meminta bantuanku?”
“ayolah…aku baru pindah kekota ini. Aku tak tau apa-apa tentang apapun disini. Dan hanya kau yang aku kenal. Tidakkah itu alasan yang cukup? Atau aku perlu bilang kalau kita ini sama-sama orang Indonesia yang harus selalu saling membantu jika sedang berada dinegeri orang.” Panjang lebar Devo menjelaskan alasannya yang justru membuat Traski tambah sebal. Ia sangat benci orang Indonesia yang selalu meminta tolong sesamanya jika ada suatu urusan di negri asing ini. Rasanya dulu ia tak begitu. Saat pertama kali datang ke Paris, ia langsung bisa akrab dan bertahan hidup sendiri tanpa meminta bantuan orang Indonesia yang ia kenal.
Entahlah…rasanya sudah berapa kali ia mengulang kata benci hari ini. Ternyata musim dingin yang penuh salju itu benar-benar tak pernah menyenangkan untuknya.
“Memangnya apa yang bisa aku bantu untukmu?”
“Aku hanya ingin kamu mau mengantarku jalan-jalan di kota ini”
“Baiklah, asal kau senang. Aku akan berusaha membantumu. Jam berapa kita berangkat?”
“Kalau siang bagaimana? Siap Sholat Dzuhur kita berangkat”
Traski tak dapat menahan tawanya. Pertama, karena tiba-tiba saja ia memutuskan untuk mau menemani cowok ini jalan-jalan. Kedua, karena mereka akan berangkat selesai Sholat Dzuhur. Astaga…sudah berapa lama rasanya ia tak pernah lagi mendengar kata itu. Dulu waktu ia masih tinggal di Indonesia, ibunya pasti dengan sangat cerewet memintanya untuk tidak meninggalkan Sholat. Sekarang jangangankan untuk melakukakannya, kata sholat saja baru sekarang ia dengar lagi, setelah lima tahun ia menetap di Paris. Traski memandang Devo, tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
“ Kenapa tertawa…apa ada yang lucu?” Devo terlihat kikuk. Matanya tak henti-hentinya memandang penampilannya. Siapa tau ada yang salah pada penampilannya kali ini.
Traski menggeleng pelan.”Baiklah aku tunggu kamu besok. Oh ya aku senang bisa berkenalan denganmu” ucapnya jujur. Devo tersenyum bahagia. Syukurlah…ia pikir gadis ini akan jutek selamanya padanya, ternyata Traski gadis yang sangat menyenangkan. Mudah tertawa tanpa sebab yang jelas.
*******
Jalanan terlihat sepi. Selain memang orang-orang tengah sibuk dikantor mereka masing-masing. Tapi juga karena hanya orang bodoh yang mau jalan-jalan di musim dingin ini. Kalau sedang libur biasanya orang akan lebih senang tidur dirumah mereka. Menghidupkan mesin pemanas ruangan sambil minum secangkir coklat hangat, saling bercengkrama dengan anggota keluarga yang lain. Hmm…pasti nikmat.Traski merapatkan jacket yang melapisi tubuhnya. Jacket bulu yang ia pakai beberapa lapis itu tak terlalu bisa menghangatkan tubuhnya. Traski menggigil menahan dingin. Harusnya setelah lima tahun bermukim di Paris, ia sudah harus mulai bisa tahan terhadap musim dingin. Tapi tetap saja. Oh…lihatlah darah segar keluar dari hidungnya. Ia selalu mimisan saat musim dingin. Salah satu penyebab ia sangat benci musim dingin. Devo memberikan sapu tangan birunya pada Traski. Ia merasa sangat bersalah.
“Kurasa sebaiknya kita pulang saja. Aku akan bersabar menunggu musim dingin ini berlalu baru akan mengajakmu jalan-jalan lagi”
“Oh…tidak perlu. Aku sudah cukup baikan sekarang. Sebenarnya kau mau kemana?” Tanya Traski sedikit penasaran. Pemuda yang ada disampingnya ini mulai menarik perhatiannya.
“Aku ingin kemenara Eifel” singkat namun ternyata bisa membuat Traski sangat terkejut. Sebenarnya wajar saja setiap orang yang pertama kali ke Paris ingin kesana. Bukankah memang menara itu yang sangat terkenal disini. Tapi itu kalau dimusim yang wajar. Dan sekarang? Hei ayolah…apa indahnya sih menara eifel yang sedang ditutupi salju. Atau mungkin memang indah? Hanya saja Traski yang terlalu parno sama salju hingga tak bisa melihat keindahannya.
“Baiklah akanku antar, asalkan setelah itu kau bersedia mentraktirku di restoran Indonesia.
Aku tak pernah sangat-sangat bisa menyukai masakan Eropa”
“Tentu saja aku akan mentraktirmu. Dengan senang hati” mata Devo berbinar-binar saking senangnya. Traski kembali menyunggingkan senyuman manisnya. Rasanya ia mulai menyukai musim dingin bersama pemuda ini.
******
Menara yang berdiri angkuh itu terlihat sangat tak menarik dengan selimut putihnya. Namun entah mengapa pamuda disampingku ini sangat terlihat kagum padanya. Akupun tak mengerti. Sekali lagi kuhantar pandanganku pada menara itu mencoba mencari letak indahnya. Tetap sama. Tak menarik!!!“Melamunkan apa?” suara Devo mengagetkan Traski.
“Ah…tidak. Aku hanya berpikir sudah lama sekali tak pulang ke Indonesia. Rasanya kangen juga”
“Yah…kurasa memang begitu. Orang-orang yang disanapun pasti sangat merindukanmu”
“mungkin memang sebaiknya aku balik ke Indonesia. Oh ya kau orang mana sih?” Traski menatap mata coklat Devo, dalam.
“ Apa menariknya asal usulku. Apakah kau serius ingin balik?”
Traski mengerutkan keningnya.” Entahlah, akanku pertimbangkan lagi”
“Jika ingin balik, aku bersedia menemanimu”
Traski terlonjak terkejut. Ini gila, pemuda ini sangat gila. Ia baru saja tinggal di kota ini, baru saja menikmati sensasi indah Paris, tapi sudah hendak menemaninya balik ke Indonesia.
“Apakah kau sedang sakit” Traski berusaha meraih dahi Devo ingin memastikan keadaannya. Devo menarik wajahnya kebelakang, berusaha menghindari sentuhan Traski. Ia memang tak pernah suka di sentuh cewek.
“oh…maaf” Traski memalingkan wajahnya. Ia piker mereka sudah cukup akrab. Lagi pula ia tak bermaksud apapun. Ia hanya ingin memastikan keadaan Devo. Ia tak bermaksud lancang dengan menyentuh dahi Devo. Kenapa harus menghindar begitu.
“ aku yang harusnya minta maaf. Aku tak bermaksud menghindar. Ini sudah gerakan reflekku. Dari dulu aku memang tak biasa di sentuh cewek, makanya aku akan langsung menghindar jika ternyata ada yang berniat ingin menyentuhku. Mungkin ini terdengar lucu olehmu, tapi aku serius”
Traski tertawa. Devo benar-benar cowok yang aneh. Sudahlah sangat sopan, sekarang ia malah menemukan kenyataan kalau Devo tak suka di sentuh cewek. Cowok mana sih yang tak suka di sentuh cewek? Rasanya baru sekali ini ia menemukan cowok seperti Devo.
“Apakah aku boleh menemanimu balik ke Indonesia?” Devo kembali mengutarakan maksudnya tadi.
Traski terdiam. Berusaha berfikir keras. Ia baru mengenal Devo, tapi ia sudah sangat yakin Devo bukanlah pemuda yang jahat. Tapi kenapa ia berniat sekali menemaninya balik ke Indonesia.
“ sebenarnya kau kesini ingin apa sih? Kau baru saja sampai di sini. Dan sekarang kau ingin menemaniku balik ke Indonesia”
“ aku hanya ingin jalan-jalan. Setelah sekian tahun memimpikan ingin kesini akhirnya tabunganku cukup juga. Tapi setelah bertemu denganmu aku rasa aku lebih merindukan Indonesia. Selama ini aku tinggal di Tokyo, bekerja dan bertahan hidup disana. Aku sama sekali belum pernah bisa kembali ke Indonesia. Apa salahnya jika sekarang aku kembali ke Indonesia.Yah…. Sudahku putuskan kita akan kembali ke Indonesia tiga hari lagi. Kita urus semuanya disini dulu.bagaimana?” Devo tersenyum riang. Menghadirkan sederet giginya. Ia yakin Traski akan setuju dengan usulnya.
Lagi lagi Traski mengerutkan keningnya. Kenapa harus Devo yang memutuskan semuanya. Bukankah yang berniat balik itu dirinya. Lagian kalau hanya ingin jalan-jalan kenapa harus menyewa apartemen segala. Dasar aneh!
“baiklah…kita memang harus pulang” ujatrnya sesaat kemudian.
Devo tertawa, Traski mengamatinya dengan tatapan aneh. Kemudian tawanyapun meledak memecahkan dinding tak sukanya pada pemuda dihadapannya ini.
******
Rahma Delvia Sarza
No comments:
Post a Comment