Tuesday, May 26, 2009

Devil King

Bab 1
Kunci dan Lilin



Hey, sudah saatnya,” seorang pria menegur Mullo sehingga tersadar dari lamunannya. Dilihatnya sosok besar dengan kaca mata hitam berdiri di hadapannya. Kepalanya gundul dan jenggotnya yang terlihat seperti garis memanjang kebawah. Badannya sedikit gemuk dengan otot yang menonjol di seluruh tubuhnya.

“Umm. . .” Mullo bergumam. Sebelum sempat berkata pria besar tadi sudah menariknya dari tempat duduknya. Tangannya kasar petanda pekerjaannya yang berat. Dia menggiring Mullo ke arah sebuah pintu besar di ujung ruangan. Sebelum memasuki pintu, bagian sebelum ruangan terlihat beberapa lukisan manusia dengan wajah tersenyum sombong dan menyipitkan mata.

Pintu dibuka. Terdapat seseorang yang menghadang di depannya sambil duduk memandangnya. Mulutnya tersenyum sombong persis seperti lukisan di luar ruangan. Perlahan diangkat tangannya membuat posisi telapak memangku dagu sama persis dengan lukisan dirinya yang terletak di belakangnya sendiri. Seakan dipenuhi rasa senang yang luar biasa dia berkata, “Jadi, berapa yang kau peroleh kali ini.”

“Dua ratus bijih emas sir,” jawab Mullo tegas. Suaranya tanpa bergetar petanda dia tak takut sama sekali dengan apa yang akan diterimanya nanti. Dalam hatinya hanya ingin agar keluar dari ruangan ini secepatnya. Dirinya menatap dalam-dalam mata seseorang dihadapannya yang tetap tersenyum menatap dirinya.

Senyuman itu perlahan hilang berganti dengan raut masam petanda kesal. Masih dengan nada sombong dia berbicara, “Dua ratus bijih emas kau kira cukup untuk menebus hutangmu selama ini. Benar-benar tak tahu---”

“---Bukannya saya tidak tahu terimakasih sir. Saya sudah berusaha untuk mengumpulkan sebanyak itu.”

Orang itu tak berbicara. Ditatapnya mata Mullo dalam, berharap dia akan terbakar hanya dengan sebuah tatapan. Melihat tidak terjadi apa-apa, dia menjentikkan jarinya. Orang yang tadi membawa Mullo menyeret Mullo keluar dari ruangan itu. Dia seakan senang dapat menyiksa orang yang lebih lemah darinya. Mullo agak meringis kesakitan saat diseret karena tangannya tertarik cukup keras dan juga orang itu menggenggam tangannya seperti ingin meremukkan telapak tangannya.

Dia mendorong Mullo keluar dari bangunan itu. Sebuah bangunan megah berwarna putih perak yang kokoh dengan karpet merah didepan pintu masuknya. Dengan tangan kasarnya, direbutnya kantong berisi bijih emas dari tangan Mullo. Mullo yang tak berdaya menyerahkan begitu saja bijih emas yang didapatnya dengan susah payah .

Pria besar itu kembali masuk ke dalam bangunan itu. Seingat Mullo sebelum dia masuk kembali dia sempat meludahi wajahnya terlebih dahulu. Dengan pakaiannya yang lusuh Mullo menyapu ludah itu dan menghilang bercampur keringatnya.

Beberapa orang yang dari tadi berjalan hilir mudik menatap Mullo sebentar dan kemudian kembali berjalan tanpa memperdulikan. Mullo berbalik dan berjalan perlahan ke arah air mancur yang berada di depan bangunan tersebut. Langkahnya tak beraturan karena lapar yang dirasakannya. Dirinya belum makan seharian penuh karena sibuk bekerja di tambang emas.

Dirinya duduk di batas kolam air mancur. Dia sama sekali tidak mempunyai uang untuk makan. Seakan sekarang dia tidak punya harapan untuk hidup lagi. Dirinya hanya bisa melamun dan menghayal suatu hal yang tidak bisa dia capai. Berharap ada keajaiban datang dan menolongnya dari segala siksa dunia ini. Tapi sepertinya harapan itu walau bagaimanapun tidak akan pernah datang untuknya, walau dia bekerja sekeras apapun.

Terdengar derap langkah menghampirinya. Sosok orang tua dengan jenggot tipis berwarna putih dan rambut yang dipenuhi uban duduk di sampingnya. Tongkatnya diarahkannya ke sebuah pohon besar yang berada jauh di samping Mullo. Entah apa maksudnya tapi kemudian dia menjelaskan, “Kau pikir berapa tahun pohon itu dapat berkembang sebesar itu.”

Mullo tidak menjawabnya. Setelah beberapa detik dan mulai tahu tidak akan pernah menerima jawaban, pria tua tadi menjawabnya sendiri, “butuh waktu lima ratus tahun untuk tumbuh seperti itu dan mempunyai banyak buah yang amat lezat.”

Mullo masih tidak menghiraukannya. Pria tua itu terkekeh kecil. “Kau tahu maksudku. Mengapa kau tidak mencicipi buahnya selama itu masih gratis di sini.”

“Humph?” Mullo dengan tatapan heran memandang pria tua tadi.

“Dulu pohon itu ditanam oleh seseorang yang amat baik. Seseorang yang memiliki sebuah kekuatan untuk merubah dunia. Pohon itu sangat berharga dulunya. Sekarang sepertinya tidak ada yang menghiraukannya lagi.”

“Benar-benar gratis?”

Pria tua itu kembali terkekeh. Jadi anak muda ini dari tadi tidak memperdulikan kata-kataku. “Tentu saja. Dan kau tahu siapa yang menanam pohon itu?”

Mullo sudah berlari meninggalkan pria tua itu. Dengan tangan lemahnya dia panjat pohon tinggi itu. Karena terus terjatuh harapannya seakan sudah tidak ada. Dirinya duduk di tanah karena sudah tidak ada tenaga untuk berdiri.

“Petter Hamigrad yang menanamnya.” Pria tua itu menghampiri Mullo. Tangannya dengan kuat menahan tongkat yang dia letakkan di tanah sehingga badannya dapat berdiri tegak. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk ujung tongkat yang berbentuk bola.

“Hamigrad?” Mullo mulai menghiraukan perkataan pria tua tadi. Dahinya mengerut seakan mencoba membaca pikiran orang tua itu. Dia bersandar di pohon itu sehingga dahannya yang besar bergoyang keras membuat beberapa buah berguguran. Mullo yang melihat itu dengan segera mengambil buah-buah yang berjatuhan. “Aku yakin, kau Romullo Hamigrad.” Dirinya sekarang terlihat tersenyum tapi ingin menangis. Tongkatnya terlihat sedikit bergetar. Dia membetulkan kacamatanya yang sedikit bergeser.

“Kau tahu namaku?” Mullo menggigit buah yang tadi diambilnya. Rasanya sungguh lezat sehingga digigitan berikutnya dia mengunyahnya dengan cepat.

“Ya, aku tahu. Sayang, kesini sebentar,” suruhnya kepada Mullo. Mullo mengikutinya dan berdiri di hadapannya. Di tangannya masih tersisa sedikit buah dengan bekas gigitan.

“Ada yang ingin kuberikan padamu. Waktuku tidak banyak.” Dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam bajunya, seperti kunci yang disisinya terdapat lima bangun kecil yang menyatu.

“Tentunya kamu sekarang berumur enam belas tahun dan kamu belum sekolah. Aku prihatin akan kehidupanmu yang seperti ini. Kunci ini, apabila kamu bertemu dengan orang yang bernama Romush, serahkan saja kepadanya. Dia bisa dipercaya, walaupun yah, penampilannya agak gila.”

“Kalau dia tidak datang?” Mullo kembali mengigit buah yang berada di tangannya. Seakan dia memakan makanan sepiring nasi penuh, dirinya mulai kenyang.

“Dia pasti datang. Oh ya, ada satu lagi.” Kali ini dia mengambil sebuah lilin dari saku kanan bajunya dan menyerahkannya ke Mullo. Mullo menyambutnya dengan tangan kanan sambil melihat sekeliling lilin itu.

“Ini akan berguna.”

Mullo memperhatikan lilin itu sebentar. Terlihat tulisan Petter Hamigrad. “Petter Hamigrad, sebenarnya dia itu kan__”

“__Ayahmu. Ya, dia itu ayahmu,” Rona wajah pria tua itu terlihat senang. Matanya melebar dan alisnya terangkat. Wajahnya tampak berusaha melihat jauh ke dalam diri Mullo. Senyumnya terlihat tak pernah menghilang dari wajahnya selama dia berbicara (dan Mullo baru saja menyadarinya).

“Tapi lima ratus tahun yang lalu. Aku rasa pohon ini tidak mungkin ditanam oleh ayahku bila berumur selama itu. Kecuali ayahku bisa kembali ke masa lalu, tapi itu tidak mungkin.”

“Entahlah, siapa yang tahu__” Terdengar suara bip berulang kali dari saku orang tua itu. “Owh sudah waktunya, aku harus cepat.”

Orang tua itu berlari kencang dengan tongkat masih digenggam kuat di tangannya. Sungguh aneh melihat orang tua yang masih bisa berlari seperti itu.

“Tunggu! Nama anda, sir!” Terlambat. Orang tua tadi sudah hilang dari pandangan Mullo. Siapa orang tua itu?

Mullo memutar-mutar kunci yang tlah dia dapat. Kunci tersebut terukir huruf-huruf kecil yang amat sulit untuk dilihat mata. Tapi beberapa tulisan masih jelas dibaca, seperti kata Hamigrad dan angka 31. Mungkinkah kunci ini berharga. Berapakah harga yang kudapat apabila ini dijual?

Matanya beralih ke lilin tanpa sumbu dan tak mungkin dinyalakan. Akan berguna? Huh. Dirinya memasukkan lilin itu ke saku yang tersembunyi di balik lipatan baju.

Dirinya melangkah menyusuri jalan melewati beberapa pepohonan lebat tanpa buah. Awan tebal menyelimutinya selama perjalanan. Hari memang terlihat mendung. Bahkan gelegar guntur dan kilatan petir tetap menyambar meski beberapa menit berlalu seakan tidak mengikhlaskan langkah demi langkah yang dijalani oleh Mullo.

Hujan lebat mengguyur badan Mullo membuat dirinya basah kuyub. Dia berlari sampai ke sebuah gubuk kecil yang terlihat tidak terawat dan berdempetan dengan rumah-rumah lainnya. Bagian atapnya terlihat berlubang sehingga memudahkan air hujan untuk masuk ke dalam.

Dia menggigil dan menggertakkan giginya berulang kali. Dirinya menyelinap masuk ke dalam gubuk dan mengendap ke kamarnya yang berada di tingkat dua. Ibu tirinya tidak mengetahui bahwa Mullo sudah pulang dan malah asyik dengan beberapa intan yang berhasil didapatnya di jalan.

Mullo dengan segera mengganti baju basahnya dan mendekapkan diri ke selimut. Berharap tidak diketahui orang tua tirinya, disembunyikannya lilin dan kunci yang dia dapat dari pria tua- di bawah kasur yang terbuat dari kayu jati yang sudah mulai rapuh. Apabila ketahuan dan diketahui berharga, tentu saja orang tua tirinya akan menjualnya.Sesaat kemudian terdengar teriakan dari lantai bawah. “Mullo! Di mana kamu?!”

Mullo meloncat ke lantai sambil menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Dengan sikap sedikit menunduk dia berlari ke lantai bawah sambil menghindari tetesan hujan yang berhasil menembus atap yang bocor. Dia menuruni tangga dengan sedikit meloncat dan berharap tidak terpeleset.

Beberapa langkah kemudian ibu tirinya yang bernama Petria sudah menatapnya dengan muka menyeramkan. Tubuhnya yang kurus dan matanya yang besar membuat dirinya terlihat lebih seperti seekor belalang dari kejauhan daripada seorang manusia. Bibirnya lebar dengan pipi sedikit menggembung. Tangannya memegang kedua pinggang dan melotot marah.

“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau sudah pulang, anak idiot.” Sebelum Mullo berhasil menjawab pertanyaannya, petria sudah memberikan pertanyaan lain, “mana uang yang kau peroleh hari ini.”

“Ti_”

“_Tidak dapat kau bilang!” Petria berhasil memotong kata Mullo. Mukanya memerah. Nafas dari hidungnya menghembus keras seakan-akan lehernya sekarang sedang terikat tali yang amat kencang. Dengan tangan kasarnya digenggamnya tangan Mullo dan di seretnya ke lantai atas. Dia membuka pintu kamar Mullo, memasukkannya, dan menutupnya kembali dengan dentuman keras yang menyebabkan dinding bergetar hebat. Terdengar suara retak lain di bagian atap yang menyebabkan jumlah air akibat atap yang bocor semakin banyak.

“OK anak idiot, kau tidak akan dapat makanan sebelum kau berhasil mendapatkan uang yang cukup untuk mendapatkan makan!” Dentuman kaki Petria yang menjauh keras sekali menyebabkan lantai sedikit bergetar. Tidak apa, aku sudah kenyang karena memakan buah tadi, pikir Mullo.

Tidak hanya kali ini Mullo bernasib demikian. Perlakuan ayah dan ibu tirinya serta anaknya yang bernama Doen memang membuatnya amat kesal karena orang tua aslinya meninggalkannya di rumah mereka. Tidak jarang mereka mengejek orang tuanya secara sengaja.

“Kau tahu idiot, ibumu mati karena melahirkan anak idiot sepertimu,” kata Petria saat makan malam bersama.

“Huh, bukannya dia idiot karena ayahnya yang lebih idiot lagi darinya?” Suami Petrisia yang bernama Anotio meladeni perkataan Petria.

“Haha, jatuhnya buah memang tidak jauh dari pohonnya, idiot!” Doen mencondongkan dirinya ke arah Mullo. Mullo diam saja. Sebenarnya yang cocok dikatakan idiot itu Doen. Mukanya memang terlihat seperti anak yang tidak berpendidikan dan kelakuan yang mengesalkan, tapi amat dimanja oleh orangtuanya. Kata-kata itu biasanya muncul di benak Mullo untuk menghiburnya dari ejekan mereka yang bertubi-tubi.

Sekarang dia hanya menutupi diri dengan selimut untuk melindunginya dari tetesan hujan di kamarnya. Memang lebih baik berada di dalam kamar ini daripada bertemu dengan masing-masing dari anggota keluarga Mr. Anotio.
Dirinya kembali mengambil kunci yang tadi disembunyikannya di bawah kasur. Dia berusaha membaca kembali tulisan kecil di sisi kunci. Kamarnya yang remang-remang memang sulit untuk melihat, tapi dengan bantuan sedikit sinar lampu dan kaca pembesar, cukup untuk melihat tulisan itu. Sudah dia duga, tulisan tersebut berhubungan dengan Petter Hamigrad.

Petter Hamigrad, Devil King, no.31
lima bangun yang ada di kunci tersebut tidak lain kubus dengan empat buah piramida di sisi-sisinya, dan setengah bola di atasnya. Di masing-masing bangun terdapat sebuah huruf yang tak bisa dibaca. Seperti huruf kuno atau apapun itu. Seperti hurup phi, ro, dan omega.

Kalau dilihat lebih teliti lagi warna kunci itu berubah saat menerima pantulan cahaya dari tetesan hujan. Dari warna kuning emas menjadi warna kemerah-merahan. Walaupun agak samar tapi seperti ada perubahan pada tulisannya saat warna tersebut berubah. Mullo seakan tidak percaya saat melihat tulisan Petter Hamigrad berubah menjadi Romullo Hamigrad (Walaupun awalnya dia tidak menyadari karena hanya tulisan Petter yang berubah menjadi Romullo). Letak-letak simbolpun berubah acak. Entah apa maksudnya, yang jelas di dalam benda yang bisa dibuka oleh kunci tersebut pasti merupakan benda yang berharga.

Hujan mulai reda. Mullo meletakkan kunci itu ke dalam saku bajunya dan meraba-raba bawah kasur untuk mencari lilin yang disembunyikannya. Setelah merasa lilin tersebut tersentuh bagian belakang telapak tangannya, dia terkejut karena lilin tersebut terasa membakar lengannya. Mullo menjerit pelan (tapi berusaha agar tidak terdengar salah satu dari keluarga Anotio) dan kemudian terdiam melihat tanda yang baru muncul di tangannya. Tanda seperti omega rata-rata yang kehilangan satu buah garis di sisinya. Mullo berusaha menghilangkan tanda tersebut tetapi tidak bisa hilang. Tanda tersebut seperti tatto yang terus melekat.

Hujan telah reda. Dirinya masih terkurung di dalam kamar menatap langit yang mulai gelap. Melihat burung-burung berterbangan bebas di angkasa dan berseru satu sama lain. Beberapa ekor burung mendatanginya dan kembali menjauh saat tangan Mullo bergerak menakutkannya. Citcit kecil perlahan menjauh sampai tak terdengar lagi.

Di bawah terdengar suara ribut anggota keluarga Mr Anotio. Terdengar Doen membentak kepada orangtuanya untuk dibelikan sepeda model baru yang baru dia lihat diluar. Anotio terdengar mengomentari anaknya itu dengan suara sedikit membentak. Kalender kadang-kadang bergoyang ke kanan dan kiri karena sahut dan sahutan mereka. Sangat aneh kalau rumah ini tetap bertahan sampai saat ini.
****


Ihzan Cool

1 comment:

komarcave said...

kamu pernah baca novel harry potter sama eragon yah?jalan cerita dan gaya berceritamu mirip dengan kedua novel itu...tokoh utamamu jadi anak tiri.sama halnya dengan harry potter. kemudian kalo eragon mendapat bekas luka di tangan setelah menemukan telur naga,kalo tokoh dalam ceritamu setelah mendapatkan kunci dan lilin...itu kesan yang aku tangkap dari bab pertamamu itu.