Bagian 1
Hindu meniupkan asap rokok ke arah jendela kecil di ruangan bawah tanah yang juga kecil itu. Matanya menyipit di sorot sinar matahari pagi yang juga membakar dadanya yang telanjang. Dia bisa mencium wangi roti yang baru keluar dari panggangan dan juga suara orang yang mengantri di luar toko. Sebagian mulai membentak-bentak tidak sabar. Sesuatu yang sangat biasa terjadi di Lampu Malam. Di sini, segala sesuatu di dapatkan dengan cara memaksa, merebut, atau membunuh jika dirasa perlu. Sekali lagi dia menghisap rokok yang terselip di jarinya. Dengan segera, tangannya meraih tas kecilnya dan disangkutkan ke bahunya yang telanjang. Sudah saatnya mencari uang, pikirnya.
Setelah berjalan selama satu jam, dia sampai di sisi lain dari Lampu Malam. Tempat dimana kehidupan berjalan normal, menurutnya. Dengan santai, dia berjalan menyusuri trotoar dimana bangunan-bangunan yang terurus menjual berbagai keindahan yang tidak akan dia temui di Lampu Malam. Toko bunga, tempat orang bisa membeli surat kabar, lalu duduk dan menikmati secangkir kopi atau teh. Matanya menatap lurus, mengikuti sosok seorang lelaki yang berpakaian rapih yang berjalan ke arahnya. Saat lelaki itu mendekat, Hindu tersenyum dan lelaki itu membalas senyumnya. Dengan gerakan yang sangat halus, tangan Hindu merogoh saku belakang celana lelaki itu, hanya seper-sekian detik setelah lelaki itu melewatinya. Seperti tidak melakukan apa-apa, Hindu terus berjalan lurus ke depan sementara sebuah dompet sudah masuk ke dalam tasnya.
Tidak ada yang curiga dengan Hindu. Setidaknya, paras wajahnya sama sekali tidak mengundang kecurigaan. Sekalipun penampilannya kotor dan tubuhnya tidak pernah dibungkus baju.
Hindu menghabiskan hari-harinya dengan cara seperti ini. Pagi-pagi, saat Tuan dan Nyonya Charlie mulai membuka toko roti mereka, Hindu akan bersiap untuk pergi dan mencari uang. Mencari uang adalah kegiatan dimana dia dan tas kesayangannya pergi bertualang ke sisi lain Lampu Malam dan mencari berbagai orang yang menurutnya memiliki beberapa lembar uang di saku mereka. Dia harus kembali ke toko roti sekitar jam tiga sore. Pada waktu itu, toko roti akan segera ditutup dan itulah saat dimana dia harus segera membereskan semua kekacauan yang sudah terjadi sejak pagi. Remah-remah roti yang sudah menutupi lantai toko, lemari-lemari kaca yang sudah berlemak karena mentega, panggangan roti yang sudah ditutupi bahan roti yang menempel dan sangat susah dibersihkan. Semuanya itu adalah bagian yang harus dikerjakannya jika dia masih mau tetap tinggal di lantai bawah tanah toko roti itu.
Sebisa mungkin, Hindu menghindari pembicaraan dengan Tuan dan Nyonya Charlie. Terkadang, mereka berbaik hati memberikan beberapa potong roti sisa pada Hindu. Hindu akan diam-diam masuk ke ruang bawah tanah dan memakan roti yang diberikan, atau menyimpan sisanya untuk satu atau dua hari kedepan.
Di atas tempat tidur, dia akan mengeluarkan semua isi tasnya. Hari ini, dari tas kesayangannya sudah jatuh empat buah dompet. Satu demi satu, dia memeriksa dompet-dompet itu, mengeluarkan lembaran uang didalamnya, lalu melemparkan dompet-dompet yang sudah kosong ke sudut ruangan. Apa yang dia dapat hari ini cukup untuk meneruskan hidup sampai tiga atau empat hari ke depan. Hindu menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam, meniupkan hanya sedikit asap. Dia melirik kumpulan kertas di tempat tidur dan meraih pensil. Mulai menulis beberapa baris tetapi kemudian hatinya menjadi sangat sedih. Diam-diam dia menyelinap keluar dan menaiki tangga sampai ke atap bangunan. Ada bulan penuh menggantung di langit, di sana dia duduk sambil terus menghisap rokoknya dalam-dalam. Siluet anak lelaki di bawah bulan yang meniupkan asap ke ujung langit.
Suara-suara yang sudah akrab di telinganya menggaung lagi. Suara orang-orang yang tidak sabar menunggu giliran mereka. Hindu mengerang di atas tempat tidur, menyadari pagi sudah datang. Tangannya langsung membakar sebatang rokok dan meraih tas kesayangannya. Segera dia keluar dari toko roti, menuju air mancur di tengah lapangan untuk sekedar memerciki muka dan dadanya yang telanjang dengan air. Hari ini dia tidak usah ‘bekerja’ tetapi dia harus pergi ke seberang Lampu Malam. Persediaan rokoknya sudah habis.
Sebelum dia sempat meninggalkan air mancur, entah kenapa ada rasa sakit menyerang kepalanya. Sangat sakit sampai dia harus merebahkan diri di bangku taman yang sudah berkarat. Matanya nanar menatap langit biru yang malah menambah kesepiannya menjadi pekat. Entah karena sakit di kepalanya atau rasa sepi yang selalu menghantui jiwanya, setetes air mata jatuh di wajahnya tetapi dia tidak berani bersuara. Lapangan itu terlalu sepi, jika tangisnya pecah, maka gaungnya akan kembali padanya dan menurutnya, hal itu tidak ada gunanya.
Sakit kepalanya reda beberapa menit kemudian dan Hindu memutuskan untuk terus berjalan.
Sisi lain dari Lampu Malam ini tidak sering membuatnya terkesan. Dia hanya perlu masuk ke sebuah toko serba ada yang entah kenapa pemiliknya selalu tersenyum, mengambil beberapa bungkus rokok dan beberapa botol minuman beralkohol yang jelas-jelas bukan untuk anak seusianya. Hindu sama sekali tidak berniat untuk berlama-lama di tempat ini. Dia langsung kembali ke Lampu Malam dan naik ke atap bangunan toko roti. Di sana, dia bisa merokok dengan bebas dan juga minum dengan bebas. Menjadi mabuk dengan bebas dan menulis dengan bebas.
Tulisan-tulisan Hindu adalah satu-satunya alat yang dia tahu untuk menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Dia tidak memiliki teman sama sekali di Lampu Malam sekalipun dia berinteraksi dengan warga yang tinggal di sini.
Sama sekali dia tidak ingat bagaimana dia bisa sampai ke tempat ini. Tidak ingat dimana dia pernah belajar menulis. Satu-satunya yang dia tahu adalah dia harus bertahan hidup. Temannya selama ini hanya kesepian yang sangat akrab dengan jiwanya. Banyak waktu, dia merasa bahwa dunia hanyalah sekumpulan gerakan dan muka tanpa suara dan dia menjadi sangat tidak perduli, terhadap hidupnya sendiri ataupun hidup orang lain. Kemudian dia merasa harus minum lebih banyak alkohol, sampai kesadarannya pergi meninggalkannya. Sampai dia merasa bahwa dia hanya orang biasa, sampai dia merasa cukup normal untuk menangis dan meratap. Mencoba mengentas sepi yang sangat dekat sekaligus asing. Dia meninggalkan semua tulisan, botol-botol minuman, dan rokoknya di atap bangunan itu lalu turun ke bawah untuk membersihkan toko roti terlebih dahulu.
Segera setelah semua urusannya di toko roti selesai, Hindu kembali naik ke atap, menenggak sebanyak mungkin cairan beralkohol dan membiarkan matanya mengernyit karena rasa pahit. Perlahan, dia merasakan akal sehatnya mulai terbang, dan dia mulai menangis, berusaha keras untuk terus menghisap rokok di sela-sela tangisnya, lalu minum lebih banyak lagi. Bulan masih penuh malam itu, dia sangat berharap kalau dia adalah seekor manusia serigala yang berubah pada bulan purnama, sekali saja, dia tidak ingin menjadi dirinya sendiri. Cahaya putih menerangi lapangan di depan bangunan toko, antara sadar dan tidak, dia melihat seorang wanita gipsi menari di dekat air mancur. Tarian yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Tarian yang indah yang membuatnya tersenyum, dan kemudian tertawa, entah karena kesedihan atau keindahan. Hindu terus minum dari botol-botol bening itu, dampai dia merasa ada sesuatu yang mendesak perutnya dan dia mulai muntah disela-sela tangis sekaligus tawa. Lalu kesadarannya hilang total.
Pagi sudah turun dan Hindu masih terkapar di atap bangunan toko roti. Sementara di tempat lain, di Rumah Drako, sebuah rumah hiburan yang hany abuka di malam hari, seorang gadis berpakaian ala gipsi menuruni anak2 tangga dengan membawa berbagai perlengkapan untuk membersihkan bar yang ada di lantai satu bangunan itu.
“Paman Drako, apa aku boleh menari di bar ini setiap malam? Sekedar menambah uang.”
Lelaki tua yang bernama Drako termenung sesaat. Menatap lurus pada keponakannya, Rosie, yang sedang membersihkan meja-meja kayu di tengah ruangan.
“Rosie, mengertilah kalau tempat ini tidak berisi orang2 baik.”
“Tidak apa2 paman, aku bisa menjaga diriku.”
Drako mengerti sekali watak keponakannya yang satu ini. Rosie malang, pikirnya. Setahun yang lalu, adiknya, yang adalah ayah Rosie meninggal dunia dan meninggalkan gadis itu sendiran. Ibunya adalah seorang pelacur yang meninggalkannya seminggu setelah Rosie lahir. Drako merasa bertanggung jawab atas hidup Rosie karena dia adalah satu2nya keluarga kandung yang dimiliki Rosie. Sekalipun begitu, hidup sudah sama2 membentuk mereka menjadi orang2 tangguh yang mengerti bahwa hidup harus tetap berjalan sekalipun tanpa cahaya.
Di atap toko roti, Hindu pelan2 membuka mata yang perih ditantang sinar matahari. Sekilas, bayangan seorang gadis yang menari dibawah cahaya putih bulan memenuhi pikirannya. Mungkin hanya mimpi, pikirnya. Dengan cekatan, dia memasukkan semua kertas2 dan pensil yang berhamburan ke dalam tasnya. Setelah beberapa saat, Hindu memutuskan untuk pergi ke Rumah Drako, menumpang mandi.
Drako dan Hindu sudah saling kenal sejak setahun yang lalu. Drako menyukai anak itu. Anak itu sangat pendiam, menurutnya, tetapi itu adalah hal yang baik karena kemudian, Drako bisa mengobrol berjam2 dengannya. Seumur hidupnya, Drako belum pernah menemui seorang anak berusia 16 tahun yang begitu sedih. Terkadang, dia merasa ada rasa kasihan dalam hatinya untuk anak itu. Rasa sedih yang hampir2 bisa dilihat atau disentuh. Mungkin tertulis di dadanya yang selalu telanjang, mungkin di kedua matanya yang selalu kelabu atau di wajahnya yang seakan2 selalu berpikir. Rasa sedih yang membuat orang setua Drako sekalipun menjadi iba sekaligus ngeri karena kesedihan itu seakan2 menjadikannya seseorang yang tidak perduli atas apapun.
Hindu sendiri menghormati Drako karena menurutnya, si tua itu adalah orang yang paling baik di Lampu Malam. Dia tidak keberatan menelan segala ocehannya yang tidak jelas. Dalam beberapa hal, Hindu mengerti kesepian yang dimiliki si tua Drako. Hindu selalu memilih untuk diam saat Drako sudah mulai menceritakan pengalaman2 hidupnya. Tidak pernah dia meminta imbalan pada si tua Drako, tetapi pada waktu2 tertentu, Drako akan sangat berbaik hati mengijinkannya menikmati malam di Rumah Drako. Bahkan setengah tahun yang lalu, tanpa diminta, si tua Drako membayar seorang wanita dan mengijinkan Hindu menggunakan salah satu kamarnya dengan gratis sebagai tempat bercintanya dengan seorang wanita untuk pertama kali.
Pagi itu, Hindu langsung masuk ke Rumah Drako lewat pintu belakang seperti biasa dan dia sangat terkejut saat melihat seorang wanita muda berpakaian gipsi sedang menggosok lantai bar. Wanita muda itu memang berjongkok membelakanginya tetapi dia berharap seandainya saat itu waktu berhenti. Sesaat kemudian, si tua Drako mendehem dari anak tangga.
“Aku rasa kau akan menumpang mandi pagi ini.”
Hindu hanya mengangguk dan segera naik ke lantai dua. Wanita muda itu menoleh ke arahnya sesaat dan Hindu berhenti sejenak hanya agar dapat melihat ke dalam mata wanita itu tetapi wanita itu cepat2 melanjutkan pekerjaanya menggosok lantai.
Sehabis mandi, Hindu tidak lagi melihat si tua Drako di lantai satu tetapi wanita gipsi itu masih di sana dan sekarang sedang mengeringkan gelas2 di balik bar.
“Namamu Hindu.” Wanita itu bicara tanpa berhenti mengeringkan gelas.
Hindu menoleh dan duduk di salah satu kursi bar yang terbuat dari kayu. Sekarang dia bisa dengan jelas melihat wajah wanita gipsi itu. Pastilah si tua Drako sudah memberitahukan namanya pada wanita itu.
“Aku melihatmu di atap toko roti semalam. Aku belum pernah mendengar orang menangis sambil tertawa sekaligus.”
Hindu hanya terdiam mengamati wajah wanita itu. Dalam pikirannya, dia mengerti sekarang bahwa semalam memang benar2 ada seorang wanita menari di dekat air mancur. Dia merogoh saku celananya, mencari2 bungkusan rokok dan dengan segera menyulut sebatang. Tanpa canggung, wanita itu mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya juga. Sekarang dia sudah selesai dengan gelas2 di bar dan sedang meniupkan asap rokok ke wajah Hindu. Tanpa peringatan, Hindu mendekatkan wajahnya ke wajah wanita itu dan mencium bibirnya. Saat akhirnya dia melepaskan wanita itu, dia bisa melihat wajah wanita itu menjadi merah. Hindu mundur dan hendak keluar dari bar itu.
Seketiak itu juga wanita itu berkata, “Namaku Rosie. Aku akan menari di sini setiap malam.”
Hindu mengangguk kecil lalu berbalik pergi.
Malam sudah naik tinggi saat Hindu diam2 keluar dari ruang bawah tanah. Malam ini, dia sudah berniat untuk pergi ke Rumah Drako dan melihat tarian gipsi. Rosie, dia mengulang nama itu berkali2 dalam pikirannya. Sebelumnya, belum pernah ada orang yang perduli apakah dia menangis atau tertawa.
Di dalam bar, semua orang sedang mengelilingi sebuah meja dimana seorang wanita berpakaian gipsi menari di atasnya. Hindu sendiri membeku di tempatnya berdiri menyaksikan Rosie menari.
Setelah tarian itu selesai, Rosie turun dan berjalan ke arahnya. Belum lagi sampai ke tempat Hindu berdiri, seorang lelaki bertubuh tinggi besar menarik Rosie dengan kasar. Hindu mengenali lelaki itu dengan nama Sultan. Sultan adalah seorang penjahat kambuhan yang tinggal di Lampu Malam. Reputasinya sebagai seorang penjahat memang dikenal luas. Tidak segan dia menghabisi korban kejahatannya dengan sadis. Sultan adalah tipe orang yang melakukan kejahatan demi uang, kekuasaan, atau apa saja yang saat itu menjadi keinginan hatinya.
Awalnya, Hindu bermaksud untuk menarik Rosie dari cengkraman Sultan tetapi dia sadar kalau disbandingkan dengan Sultan, dia adalah David di hadapan Golitath.
Sultan akhirnya berhasil menarik paksa Rosie yang berusaha keras melepaskan cengkraman tangannya. Dari belakang, Hindu mengikuti mereka berdua diam2. Sultan menarik paksa Rosie ke dalam toilet dan dari luar, Hindu bisa mendengar Rosie yang terisak ditimpa suara tawa Sultan.
Seketika itu juga, Hindu merasa dadanya yang telanjang seperti mau pecah. Sekuat tenaga dia berlari ke luar dan terus berlari sampai ke sisi lain Lampu Malam. Dia tahu seseorang yang tinggal di salah satu bagian yang lain ini, yang malam ini akan ditemuinya.
Hindu memasuki sebuah gang sempit dan mengetuk pintu di ujung gang itu tiga kali. Seorang lelaki kurus membuka pintu, menyipitkan matanya dan mempersilahkan Hindu untuk masuk.
“Aku hanya menjual barang pada orang yang memiliki uang.” Peto, lelaki kecil itu adalah seorang penjual senjata yang terkenal diantara penjahat2 yang tinggal di Lampu Malam. Karena reputasinya, ada peraturan yang tidak memperbolehkan adanya senjata di Lampu Malam. Peto adalah satu2nya orang yang mengetahui pasti siapa2 saja di Lampu Malam yang memiliki atau pernah memiliki senjata. Peto sudah sangat sering berhadapan dengan penjahat2 terkejam yang keluar masuk Lampu Malam dan sekarang, di hadapannya, ada seorang anak muda dengan dada yang telanjang yang belum pernah didengar namanya sebelumnya. Sekalipun begitu, Peto bersiaga menghadapi anak muda ini. Ada sebuah pancaran kesedihan dan kemarahan yang mematikan di sekitar anak muda ini.
“Jangan pernah khawatir tentang uang. Siapa saja yang memiliki senjata di Lampu Malam?” Hindu bertanya datar tanpa beranjak sesentipun dari tempatnya berdiri.
“Saat ini tidak ada. Terakhir, Sultan menjual lagi senjatanya padaku karena dia membutuhkan uang.”
“Sebutkan harganya.”
“Dua ratus ribu bonus sekotak peluru.”
Hindu mengeluarkan uang sebanyak dua ratus lima puluh ribu dari dalam sakunya dan meletakkannya di sebuah meja. Peto membuka lemari besinya dan menngeluarkan sebuah pistol berwarna perak dan sekotak peluru. Dia terkejut saat mengetahui banyak uang lebih yang diberikan Hindu kepadanya.
Hindu seakan tidak perduli dengan jumlah uang yang diberikan. Dia menyelipkan pistol itu di pinggang celananya dan kotak peluru di dalam sakunya. Dengan nafas memburu dia segera berlari kembali ke Rumah Drako.
Rumah Drako sudah hampir sepi saat dia sampai. Dia tidak lagi melihat Rosie di dalam ruangan tetapi dia melihat Sultan yang masih minum di bar. Si tua Drako melayani Sultan dengan wajah yang tidak senang. Hindu memutuskan untuk menunggu Sultan di luar.
Tubuh besar Sultan berjalan agak goyang meninggalkan Rumah Drako. Hindu bisa melihat bayangan tubuhnya terseret di tanah. Hindu mengikuti Sultan dari belakang dan setelah agak jauh dari Rumah Drako, Hindu memanggil namanya.
“Sultan!”
Sultan berbalik dan tersenyum merendahkan pada Hindu.
“Kuman! Apa yang membuatmu berani menahanku!”
“Kau tidak akan pernah lagi meletakkan tanganmu pada wanita penari itu.”
Sultan meludah dan tiba2 menjadi sangat marah. Anak lelaki telanjang dada ini tiba2 datang entah dari mana dan memberitahunya hal yang seharusnya tidak dia lakukan.
“Kalau saat ini aku menarik pelacur itu keluar dari tempat persembunyian pamannya dan menidurinya tepat di sini, di depan matamu yang menyedihkan itu……..berkali2, apa yang bisa kau lakukan padaku?” tawa Sultan tiba2 pecah dan Hindu merasa dadanya benar2 akan meledak. Hindu menarik pistol yang sudah terisi penuh dari belakang punggungnya dan mengarahkannya tepat ke kepala Sultan.
“Ini!” katanya dingin.
Sepersekian detik, Sultan merasa mengenal senjata itu tetapi dia sudah terlalu mabuk. Juga untuk menyadari bahwa anak lelaki di depannya ini jauh lebih berbahaya dari yang dapat dia bayangkan. Kemudian suara senjata yang meletus membelah malam yang sudah sunyi. Sultan terjatuh ke tanah dengan mata yang masih membuka. Hindu menyelipkan kembali senjata itu ke belakang punggungnya dan dengan santai berjalan pulang ke ruang bawah tanahnya.
*****
Sisca
1 comment:
sisca keren euy bab pertamanya.udah jadi berapa bab?gaya bahasanya mirip dan brown.beneran...
sok lah semoga noevlnya jadi.LANJUTKAN!!
Post a Comment