Sunday, February 15, 2009

Boys Do Cry

Prologue

“Kita, putus aja ya dit...”

“Aku salah apa sih ra ?...”

“Ngga, kamu ngga salah apa-apa kok dit, aku cuman lagi pengen sendiri”

Kemudian yang aku dengar hanya suara telepon yang ditutup, meninggalkanku termenung di kursi yang ada didepan resepsionis Kelt, tempat les bahasa inggrisku. Tiba-tiba saja semuanya terlihat samar, dan pelan-pelan mengabur karena bisingnya klakson mobil dan kemacetan Surabaya di sore hari. Tanpa terasa aku sudah berada di kamarku, di sudut dekat lemari masih tergeletak celana jeans ¾ yang aku pakai tadi malam, di sudut lainnya terlihat tumpukan buku-buku kuliah dan fotokopi handout. Di sebelah kananku terdapat meja kopi kotak yang disusun berjajar, diatasnya terdapat stereo, kertas-kertas tidak jelas yang berserakan, NDS, PSP, dan sebingkai pigura kuning yang didalamnya terdapat fotoku disamping foto seorang cewe, cewe itu namanya Lia, Angelia. Dia adalah adik kelasku ketika aku berada di bangku SLTP, SMU, dan Kuliah, aku masih ingat menyuruhnya masuk SMU yang sama denganku, dan akhirnya dia juga memutuskan untuk masuk fakultas yang sama. Aku masih memandangi pigura hadiah ulang tahun darinya itu sampai beberapa saat kemudian lamunanku dikejutkan oleh suara mamaku dari depan pintu kamar.

”Sudah sholat belum ?, kalo belum cepet.. liat tuh, sudah jam setengah 7”, kata mama.

“Ya ma..”

Aku bergegas mengganti baju, kemudian menutup pintu dan duduk diatas ranjang lalu terdiam. Terlintas didalam kepalaku sudah sejak berapa lama aku berhenti sholat. Sudah sejak 7 tahun yang lalu, aku berhenti mengingat-Nya, sejak aku sudah berhenti untuk mengharap dia kembali, dia yang begitu dalamnya menggoreskan sayatan di hatiku ini, hati seorang lelaki yang pada saat itu mungkin masih terlalu dini untuk berkata, ”cinta”.

Namaku Aditya Persada, dan ini kisahku...


Chapter 1

The Beginning

”Ampun, haussnnyaaaaaa....”, keluhku.

”Hus, puasa tu nggak boleh kayak gitu”

Sepertinya itu kalimat pertama yang aku dengar dari mulutnya, mulutnya yang mungil, dan suaranya yang kecil tapi agak berat... untuk ukuran seorang cewek.

”Betul dit kata Tiara, lagian bukannya kamu lagi pelajarannya Pak Tono ya ?”

”Aduh ndi, ngantuk dikelas, ceramah terus, dehidrasi nihh”

Ruangan sanggar osis SLTP Harapan Bangsa siang itu panas sekali, pondok ramadhan sedang diadakan dalam rangka bulan puasa, siswa-siswi diwajibkan datang selama 2 hari untuk mengikuti materi sampai waktu berbuka puasa. Di ruangan sanggar osis itu terdapat 2 buah kursi kecil dan sebuah sofa panjang yang diatasnya ada aku yang sedang tiduran karena merasa haus dan lapar, dibelakangku ada 2 buah meja dan juga 2 buah kursi di dalamnya, duduk di dekatku si Andi, teman satu angkatanku yang anggota osis, dan di salah satu kursi yang ada dibalik meja dibelakangku duduk cewe yang baru aku tahu namanya saat itu, saat aku menginjak kelas 2 SLTP Harapan Bangsa, namanya Tiara, Tiara Patricia. Walaupun mataku terpejam aku tidak bisa tidur, aku memang tidak biasa tidur siang, setelah beberapa jam memejamkan mata tanpa sadar bel istirahat berbunyi. Aku beranjak dari kursi dan terkejut, sepatuku harusnya berada di bawah kursi, tapi sekarang lenyap entah kemana.

”Woy ndi, sepatuku kamu taruh mana, dah istirahat neh, musti balik ke kelas”, tanyaku.

”Lah mana aku tahu, tanya Tiara tuh”, balas Andi.

Mataku tertuju kepada Tiara yang sedang duduk dibelakang meja dan menulis sesuatu sambil tersenyum-senyum, pada waktu itu aku belum begitu mengenalnya, dan dengan canggungnya aku bertanya padanya.

”Emmm, Tiara liat sepatuku yang tadi disini apa ngga ?”

”Wah, kurrrang tau ya dit, kamu lupa kali naruhnya tadi dimana... Eh dit, ndi, aku balik ke kelas dulu yah”, kata Tiara menirukan gelagat gugupku sembari beranjak dari kursi.

Tiara pergi ninggalin aku dan Andi yang masih ada didalam sanggar osis. Aku masih terbingung-bingung mencari sepatuku yang hilang saat aku menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal di balik senyuman di wajah Andi.

”Tai ndi !!, kamu nyembunyiin sepatuku ya”

”Lahh, kok aku yang dituduh, enak aja... gini de, kalo aku bisa nemuin kamu kasi apa?”

”Aduh, udalah ndi, jangan nggodain orang lage puasa, dosa tuh”

”Iya de iya, tuh didalem meja, Tiara yang nyembunyiin”

Jail banget yah ternyata si Tiara itu. Kemudian aku mengambil sepatuku, memakainya, dan kembali ke kelas, aku melambaikan tanganku ke atas dan Andi mengangguk tanda iya, masih sekilas aku liat kalau ia sedang menahan tawa, dasar Andi.

Pak Tono sudah pergi meninggalkan kelas, teman-teman sekelasku sebagian besar tinggal didalam kelas saat istirahat, lagi puasa kaya gini males banget buat keluar kelas dan mengerahkan tenaga yang tersisa untuk berjalan. Kemudian teman sebangkuku yang bernama Ari memanggil dari bangku kita yang ada di deret paling pojok menghadap ke pintu.

”Dit, kemana aja kamu, enak amat, nggak ikut pelajaran Pak Tono sama sekali”, kata Ari sambil cemberut.

”Hehehe, biasa, tidur-tiduran di sanggar osis”, balasku.

Tiba-tiba pundakku di tepuk seseorang dari belakang, dan ketika aku menoleh aku terkejut melihat siapa yang ada dibelakangku saat itu.

”Udah ketemu dit, sepatunya”

Tiara berdiri dibelakangku, entah apa yang ada dibalik senyuman yang terpercik diwajahnya.

”Udah ra, ngomong-ngomong nih ya, jail banget sih kamu, kalo nggodain orang puasa tar batal loh puasanya”

”Yee, justru itu kan dit, godaan orang puasa, hahaha”

Aku baru menyadari bahwa dibalik wajahnya yang manis, ketawanya ngakak seperti orang yang sedang melihat acara komedi di televisi, ketawa yang saat itu tanpa aku ketahui akan jadi ketawa yang paling berkesan didalam kenanganku tentangnya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam, mataku sudah mulai mengantuk, entah kenapa setiap aku pulang dari kampus belakangan ini aku jadi sering tidur lebih awal, bukan jam 1 atau jam 2 pagi seperti biasa. Kemudian aku meraih remote stereo yang ada di meja dan menyalakannya, aku baru ingat kalau aku baru saja membuat cd yang berisi beberapa lagu yang lagi ngetrend sekarang, saat cd itu mulai berputar dan masuk track pertama aku langsung terbayang tentang kejadian yang baru saja aku alami seminggu yang lalu, pada saat itu Fakultas Kedokteran Universitas Pemuda sedang mengadakan acara penutupan piala dekan. Lagu yang aku taruh di track pertama, itu lagu Afgan, bintang tamu yang diundang buat ngisi acara tersebut. Aku bersama temen-temen tongkrongan sudah janjian untuk dateng ke acara itu karena salah satu dari mereka jadi band pengiringnya.

”Dan, jadi nggak nonton si Setyo besok di FK?”, kataku kepada Dana di telepon, malam sebelum hari acara tersebut.

”Jadi lah dit, lo jadi bareng Lia ma ade’ lo?, balasnya.

”Yup, lo ma gue aja Dan, gue bawa Opel kok, cukup buat bertujuh”

Kalo dipikir-pikir, logat Surabayaku sudah menghilang sekian lama ditengah terpaan logat gaul anak muda jaman sekarang, logat Jakarta. Aku masih ingat bahwa logat Jakarta itu mulai keluar saat aku menginjak bangku SMU. Waktu itu ngetren banget game online yang namanya Ragnarok Online, hampir tiap minggu aku bisa ngendon di warnet cuman buat maen Ragnarok, happy hour dari jam 11 malem ampe jam 6 pagi. Nggak terasa kalau saat itu sudah sekitar setahun sejak aku ninggalin bangku SLTP, sudah setahun sejak aku berhenti bertemu dengannya, dengan Tiara. Sedikit sekali hal yang spesial semasa aku SMU, aku bukan anak basket, ataupun anak osis, apalagi theater, just an ordinary guy, in a quite ordinary place. Walaupun ternyata banyak kisah yang tanpa aku duga akan terjadi waktu itu, saat masa SMU-ku semakin menipis karena lekang oleh waktu.

Libur bulan puasa sudah berakhir, dan datang hari dimana aku harus masuk sekolah lagi seperti biasanya. Senin, macet-macetnya jalan, aku tahu aku harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat sampai sekolah, apalagi kalo ramai... angkotnya susah. Akhirnya setelah 45 menit perjalanan aku sampai di sekolah, sudah 3 minggu aku tidak melihat sekolah ini, sejak sesekolah diliburkan dalam rangka lebaran. Beberapa saat setelah aku menginjakkan kaki di jalan depan sekolah bel berbunyi, aku yang masih tertegun didepan gerbang kontan langsung berlari, untung saja kelasku dekat dengan lorong pintu masuk, kelas 2E.

”Aditya Persada?”, guru bahasa inggrisku yang bernama Bu Tani mengabsen tiap pelajaran akan dimulai, dan apes-nya namaku berada paling atas, sehingga aku adalah orang pertama yang nggak boleh terlambat kelasnya.

”Yes Mam !!”, liburan puasa yang panjang membuat malas sekali masuk pada hari itu, hari di mana pelajaran jam pertama adalah pelajaran Bu Tani. Ari yang duduk disebelahku hari itu belum masuk, sehingga aku duduk sendiri. Waktu terasa berjalan lambat hari itu, ocehan Bu Tani yang sedang membaca cerita dalam bahasa inggris membuat kantukku makin menjadi-jadi. Aku yang sedang terkantuk-kantuk dan berusaha tetap terbangun tiba-tiba di kagetkan oleh suara keras orang memanggil namaku.

”Aditya Persada, what can you tell about the main character in the second paragraph of the story i’ve just told ?”, cerocos Bu Tani dalam bahasa inggris.

Mati deh, aku tidak mendengarkan orang itu cerita apa. Sepertinya Bu Tani menyadari bahwa semenjak tadi aku tidak memperhatikannya mengajar. Aku yang masih shock, cuma bisa terdiam, walaupun tidak shock aku pasti tidak mengerti harus menjawab apa.

”Emmmm, i don’t know mam..”, hanya kata-kata itu aja yang bisa keluar dari mulutku. Wajah Bu Tani sudah berubah merah padam, seperti orang yang sedang kepedasan sehabis makan sambal 1 piring, aku menyadari bahwa sebentar lagi cerocosan marah dalam bahasa inggris bakalan keluar dari mulut Bu Tani. Dan kemudian entah ada mukjizat apa, saat Bu Tani hendak membuka mulutnya didepanku, lonceng berdering. Bu Tani tidak jadi berkata apa-apa, ia kemudian kembali ke mejanya dan membereskan buku-bukunya untuk bersiap meninggalkan kelas, aku langsung berpikir bahwa lonceng sekolah udah nyelametin aku, yah.. setidaknya dari omelan Bu Tani.

”Adit, i want a full review about the story that i’ve just told. Next week, first thing in the morning, got it !!”, tegas Bu Tani sebelum beranjak keluar kelas.

“Yes, mam !!”, balasku.

“Dare to forget it, and I guarantee you’ll get 4 on the final exam”.

Bu Tani kemudian berjalan keluar kelas, aku menatapnya dari bangku sambil menghela nafas, ini hari pertama dan sudah jadi permulaan hari yang.. ”bagus”, jam berikutnya bakal diisi sama pelajaran Fisika, salah satu pelajaran yang aku paling malas. Aku memutuskan untuk keluar dari kelas, lama-lama dikelas juga tidak membuat keadaanku bertambah baik, aku memutuskan untuk pergi ke kantin, kalaupun nanti ada guru, aku tinggal sembunyi saja di balik bilik warung bu kantin. Waktu itu kantin bakso sangat dekat dengan sebuah ruang yang tidak terpakai, aku duduk dan menengok kedalam, beberapa anak osis termasuk si Andi ada di dalamnya, mungkin sedang ada rapat osis, pikirku.

Sambil melahap semangkuk bakso yang ada di hadapanku aku melihat dari jendela apa saja yang terjadi di dalam. Dan mataku tertuju kepada seorang cewek yang duduk di deret pojok kanan bangku nomer 3 dari depan, disitu sedang duduk cewek manis yang wajahnya masih segar di dalam ingatanku waktu puasaan kemarin, Tiara sedang duduk memperhatikan salah satu kakak kelasku yang jadi ketua osis. Aku masih saja belum mengakui firasat bahwa saat itu aku sudah menyukainya, namun pada saat yang sama aku masih memendamnya itu dalam-dalam, aku tidak punya modal apa-apa untuk mengejarnya, tidak ganteng, tidak tajir, pinter..?, apalagi yang satu itu. Omong kosong sekali kalo saat itu aku berniat mendekatinya.

Tak terasa waktupun berlalu, lonceng berdering menandakan jam fisika sudah selesai, dan jam istirahat dimulai, rapat yang berlangsung didalam kelas itupun dibubarkan, kemudian Andi yang menyadari keberadaanku menghampiriku yang baru saja selesai makan.

”Wogh, bolos kelas lage neh kayaknya kamu dit ?”, Kata Andi sambil kemudian menyalamiku.

”Alah, kaya g tau aku aja kamu ndi, fisika, Bu Sastro, penat banget..., eh ngomong-ngomong minal aidzin ya ndi, maafin kalo aku ada salah-salah”, balasku padanya.

”Wah, sama-sama bung, aku juga banyak salahnya ma kamu, tengkyu-tengkyu”

”Eh, mau ada apaan ndi?”

”Itu ?, mau ada.....”, Andi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, saat itu tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara dari belakang Andi, suara cewek.

”Eh, aku belum minal aidzin sama Adit ya?”, aku langsung menyadari siapa cewek yang ada dibelakang Andi, cewek itu Tiara, yang sedang aku perhatikan sejak tadi.

”Iya ra, sama-sama ya..”, balasku, sebenarnya aku juga ingin bilang kalau dia banyak dosa kemaren sudah berkali-kali nyembunyiin sepatuku, tapi kata-kata itu hilang di tenggorokanku, entah apa yang menimpaku waktu itu, semakin deket aku sama dia, hatiku semakin gugup. Aku berfikir apakah aku bener-bener suka ama Tiara, tapi aku tetap harus memendamnya dalam hati, aku tidak pantas buat Tiara.

”Umm, yawdah deh kalo gitu dit, ndi, aku duluan”, pamit Tiara.

Itu terakhir kalinya aku melihat Tiara hari ini, hari pertama aku masuk sekolah, hari yang dimulai dengan tidak bagus, ternyata berubah jadi sangat indah, meskipun hal tersebut cuman sebuah permintaan maaf lebaran.

***

Malam itu aku dan adikku berangkat ke FK Universitas Pemuda sore-sore, karena sebelumnya harus jemput Lia dan Dana, Lia rumahnya deket airport, sedangkan Dana memutuskan untuk nunggu di rumah si Setyo. Dana anak kost, dulu SMUnya Jember, Danalah yang ngenalin aku sama si Setyo, bassist dari sebuah band Jazz yang juga temen sekampusku, harusnya saat itu ada satu lagi temen baikku yang ikut nonton si Setyo, namanya Mikha, tapi dia sedang ada acara di Malang. Sekitar maghrib kami sampai di FK, waktu itu lokasi konser masih sepi, setibanya di lokasi Dana mengingatkanku untuk maghrib dulu, daripada ketauan sama adikku dan cewekku, akhirnya aku ikut Dana ke musholla, pada akhirnyapun aku terpaksa ikut sholat bareng Setyo sama Dana, dan sekembalinya dari musholla menuju lokasi konser, aku ketemu seseorang.. seseorang yang sudah lama sekali nggak pernah ketemu, seorang cewek yang mondar-mandir di depan lorong FK sambil telepon pake HP, rambutnya lebih panjang dari ketika aku mengingatnya terakhir kali sewaktu dia masih kuliah Psikologi 2 tahun belakangan, sewaktu dia belum diterima di FK angkatan 2007, aku bergegas menyuruh Dana untuk berjalan dengan cepat, aku nggak mau cewek itu menyadari ada aku disitu, melintas didepan wajahnya.

”Napa sih dit ??”, tanya Dana.

”Nggak papa Dan, nggak papa”, nggak mungkin aku cerita bahwa baru saja tadi aku bertemu dengan mantan pacarku sewaktu SLTP, mantan pacar yang membuatku cinta setengah mati dengannya, Tiara Patricia.

Kemudian aku menghampiri Lia dan Nadine adikku, kami menunggu cukup lama sampai band si Setyo naik panggung, kakiku rasanya capek, aku memang nggak begitu suka liat konser macam kayak begini, yang panas dan cuman bikin kaki pegel. Selama kami bereempat ada di lokasi panggung, Tiara nggak henti-hentinya melintas di depan mataku, dia mondar mandir bersama teman-temannya satu kampus.

”Tuh dit, liat deh, ada Tiara !, nggak kamu sapa tah?”, kata Lia padaku.

Aduh, bisa diem nggak sih Lia, aku nggak buta, aku tau ada Tiara disitu, dan aku nggak akan nyapa dia !!, kataku dalam hati. Ini hal yang nggak aku suka dari Lia, dia selalu mengungkit masa lalu yang pernah aku punya, tidak mungkin Lia tidak mengenalnya, aku dulu sering sekali menitipkan salamku pada Tiara lewat dia, ketika dia masih memakai seragam putih merah, saat ospek SLTP, 6 tahun yang lalu. Hampir saja waktu itu aku marah padanya karena berkata seperti itu, tetapi aku menahan diriku, aku tidak boleh memperlihatkan bahwa aku masih peduli pada Tiara, Lialah cewekku yang sekarang, yang menemaniku, yang peduli sama aku, bukan Tiara.

Akhirnya band si Setyo naik panggung, waktu itu bandnya mengiringi anak FK nyanyi, selain ngiringin mereka, bandnya Cuma nyanyiin 2 lagu.

”Alah, dua lagu doank, udah terlanjur kesel berdiri..”, kataku dalam hati.

Kemudian akhirnya Afgan naik panggung, masih segar dalam ingatan waktu itu lagu pertamanya yang ia nyanyikan judulnya ”tanpa batas waktu”, quite a nice song menurutku, walaupun ini pertama kali aku mendengar lagu Afgan yang itu, pada saat Afgan mulai nanyiin lagu ”terima kasih cinta”, akupun menggenggam tangan Lia. Aku sayang banget sama kamu Lia, walau aku hanya bisa mengatakannya dalam hati, mulut ini rasanya nggak mampu lagi berkata-kata, aku merasa sangat tidak pantas untuk trus menyayanginya, she’s to nice for a guy like me.

***

”Eh, taw nggak sih dit, si Tiara tuh suka sama kamu”, kata Angie, teman sekelas Tiara di 2G. Aku tidak habis pikir gimana caranya aku bisa percaya sama Angie, aku ini serba tidak lebih, a super ordinary guy between so many extra ordinary, mustahil banget kalo Tiara suka sama aku, apalagi suka duluan sama aku.

”Ampun ngie, nggak mungkin banget, si Tiara?... suka?... sama aku?...”

”Ya elah dibilangin, makanya dari kemaren-kemaren tuh dia suka godain kamu kan, minal aidzin duluan ke kamu kan”

”Ya emanknya semua itu bisa jadi alesan kalo aku musti percaya bahwa dia suka sama aku, semuanya bisa aja kali ngie nglakuin itu, ngga perlu suka”

”Percaya deh dit, lagian, apa kamu nggak nyesel kalo ternyata bener”. Kata-kata Angie ada benarnya juga, aku juga harus menyadari betapa sukanya aku sama Tiara, semenjak aku melihat dia pertama kali di sanggar osis, ekspresi wajahnya ketika nyembunyiin sepatuku, aku nggak bisa terus-terusan nyembunyiin perasaanku sendiri.

Sebatang coklat toblerone putih yang berkesan... kataku dalam hati, aku ingat sekali bahwa 6 tahun yang lalu coklat toblerone ini adalah pemberian pertamaku buat Tiara, aku membelinya di tempat yang sama dengan tempat aku berada sekarang, di sebuah supermarket nggak begitu jauh sama real estate tempat aku tinggal. Nggak ada lagi yang bisa dibeli di supermarket, coklat itupun ku kembalikan lagi ke rak tempat asalnya, aku sudah tidak begitu senang dengan manis coklat, paling tidak aku tidak akan berfikir untuk membelinya dengan uang dari dompet aku sendiri.

”Ngie, titip ini buat Tiara yah”

”Cieeeee, duit titip dulu donk, enak aja gratisan”

”Halahh, ntar aku traktir bakso dee”

”Hmm, yo wis yo wis....”

“Thanks yah ngie”

“Eh ntar dulu… emanknya si Tiara dimana?”

”Di sanggar osis barusan aku liat”. Sejenak kemudian Angie pergi dengan membawa coklat toblerone putih itu ke sanggar osis, aku memutuskan untuk pulang. Namun beberapa saat kemudian aku menyadari tasku yang aku taruh di atas bangku nggak ada, aku kebingungan setengah mati, seingatku beberapa detik yang lalu tas itu masih ada ditempatnya. Masih sibuk aku mencari, ketika Angie mengagetkanku dari depan pintu kelas.

”Woy nyari apaan.!!!.”

”Ampunnn !!!, ngagetin taw ngie”

”Heehehe, sori sori, nyari apaan sih”

”Ini, tasku tadi perasaan aku taruh sini, sekarang kok nggak ada”

”Ohh, itu.. tuh di sanggar osis tasmu”

”Lah, kok bisa disitu”

”Kan tadi aku bawa sama sekalian toblerone mu.. nyahahaha”

”Yah, ambilin dong ngie, mesti buru-buru pulang neh”

”Yeeee, enak aja, nggak mau, ambil sendiri, kan aku tadi udah ngasiin coklatmu ke Tiara, masa sekarang aku mesti ngambilin tas mu, emanknya aku babumu apa..”

”Aduhh... grrr, awas ya ngie”

“Hehehehe, dijagain Tiara kok dit tas mu”. Uh, kelakuannya si Angie minta di tampar, tapi karena nggak ada lagi yang bisa dilakukan terus-menerus di kelas, akhirnya aku beranikan diri untuk ke sanggar osis buat ngambil tas. Dengan segenap hati dan muka aku masuk sanggar osis.

”Uhh, mati aku, didalem ada Tiara, mana tas ku ditaruh sebelahnya lagi, awas ya ngie”. Tiara sedang duduk di sofa, tangannya memainkan sesuatu, coklat toblerone putih yang baru saja tadi diberikan Angie dari aku.

”Emm, makasih ya dit coklatnya”, katanya didepan mukaku ketika aku meraih tasku di sampingnya.

”Umm, iya ra, sama-sama, aku pulang dulu ya”, seandainya saja mukaku bisa berubah jadi merah, aku tidak akan bisa membayangkan sampai semerah apa mukaku waktu itu, aku tidak pernah sedekat ini dengan Tiara, apa lagi diberi ucapan terima kasih dengan wajah sangat bahagia.



1st chapter by Okto Aditya Suryawirawan

No comments: