Sunday, February 15, 2009

Jauh

– CHAPTER 1 –

Sebuah Awal Baru



SMA Putra Dharma, 06.15

Di penghujung Juli, sekolah-sekolah mulai ramai kembali. Liburan kenaikan kelas telah usai dan itu artinya waktunya kembali ke sekolah. Hari ini pembagian kelas baru diumumkan, kertas-kertas berisikan tabel nama-nama siswa ditempel di mading yang berada di dekat jalan masuk menuju halaman sekolah. Pagi-pagi Lana sudah datang ke sekolah untuk melihat apakah dirinya sekelas lagi dengan sahabatnya sejak SMP yang kebetulan sekelas di kelas X dulu, Dahnia. Namun ternyata, usaha Lana sudah keduluan teman-temannya yang lain. Jalan masuk ke dalam sekolah mendadak ’terblokir’ oleh sekumpulan siswa yang berkerumun berebut melihat daftar kelasnya yang baru.

Lana melihat Dahnia yang baru saja keluar dari kerumunan itu, ia mengenakan setelan seragam baru yang tampak kusut akibat berdesakan dengan murid-murid lainnya ketika melihat daftar kelas tadi. Bergegas Lana berlari menghampiri Dahnia sambil berseru memanggil namanya. Ia tak sabar mendengar kabar dari Dahnia; bahwa mereka sekelas lagi di kelas XI ini.

”Hey, Nia. Kita sekelas lagi kan?” tanya Lana sambil menyodorkan sehelai tisu kepada Dahnia, ia melihat dahi Dahnia penuh keringat sampai poninya yang tebal jadi bergelombang dan menempel di dahi.

Thanks, Lan.” Dahnia menyeka keringat di dahinya, kemudian menyisir poninya cepat dengan jemarinya sehingga bentuk poninya rapi kembali.

”Sayangnya kita nggak sekelas lagi, Lan. Padahal semalaman aku nggak bisa tidur mikirin itu.” ujar Dahnia lesu.

Mendengar berita yang tidak sesuai dengan harapannya, raut Lana yang tadinya ceria langsung muram.

”Yah, kita nggak bisa sekelas lagi donk.” Lana merangkul Dahnia dari samping sambil menggiringnya ke bangku taman di pinggir lapangan, ”Tapi kelas kita sebelahan kan?” suara Lana terdengar ceria kembali.

Dahnia tidak langsung menjawab, ia tahu jawaban yang akan ia berikan akan membuat sahabatnya itu sedih. Setelah ia pertimbangkan, dengan demikian Lana punya kesempatan untuk mengenal teman-teman baru yang selama kelas X dulu tidak banyak dikenalnya. Ia teringat, Lana pernah berujar bahwa ia sedang belajar untuk mengenal teman-teman dan lingkungan yang baru. Karena dulunya Lana adalah pribadi yang tertutup dan cenderung diam bila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya, jangankan punya teman baru, teman sekelasnya saja belum tentu ia kenal semua.

”Lan, meskipun kita nggak sekelas. Tapi kita tetap bisa hang-out bareng kok.” kata Dahnia, meski ia tahu perkataannya tidak menjawab pertanyaan Lana.

”Nia, kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu di kelas XI IA berapa sih?” tanya Lana sambil melempar pandang sejenak ke lapangan. Memastikan sosok yang tidak diinginkannya tidak ada dalam jarak pandangnya.

”Kelas kita berjauhan, Lana. Aku di XI IA 1 dan kamu...” sejenak Dahnia mempertimbangkan lagi keputusannya. Lana melemparkan pandangan seolah berkata, ”What?”

”Kamu di XI IA 6, Lan.”

”Hah?” mulut Lana ternganga shock mendengar jawaban Dahnia yang sungguh di luar dugaan itu. Kalau di kelas yang tepisah satu atau dua kelas sih tidak masalah, tapi XI IA 6 itu letaknya jauh dari kelas XI yang lain dan jadi satu dengan anak-anak kelas XII.

”Jauhnya...” gumam Lana tanpa sadar, tatapannya menerawang ke kedua sepatu converse hitamnya yang sudah agak kusam.

”Tapi, tiap kali istirahat kita masih bisa main bareng kok, Lan. Pulangnya atau berangkat kita juga masih bisa bareng-bareng. Kamu nggak usah khawatir.” Dahnia mencoba menenangkan Lana yang belum apa-apa mukanya udah pucat gara-gara mikirin gimana-hidupnya-tanpa-Dahnia-sahabatnya.

”Tapi, Nia...Aku nggak bakal bisa survive sendirian. Aku bukan orang yang gampang dekat sama orang lain, kamu tahu itu.” ujar Lana lemas.

”Iya, aku tahu itu, Lan. Kita masih tetap bersahabat kok. Bukannya kamu sendiri pernah bilang, resolusi tahun baru kemarin kamu mau belajar mengenal teman-teman dan lingkungan baru—? Ini saatnya, Lan...” Dahnia mengingatkan pada salah satu daftar resolusi Lana yang ia buat pada malam tahun baru Januari lalu.

Lana teringat akan salah satu poin resolusinya tahun baru kemarin, ia tulis dalam jurnalnya atas dasar keinginan untuk berubah. Menjadi sosok pribadi yang lebih welcome dan friendly terhadap orang baru.

”Kamu benar, Nia. Aku rasa ini saatnya untuk melakukan poin yang itu.” Lana tersenyum sambil memandang Dahnia. Ia bersyukur kepada Tuhan memiliki sahabat seperti Dahnia, yang selalu mengingatkannya ketika ia mulai down.

Bel sekolah berdering, saatnya masuk ke kelas yang baru. Memulai pertemanan baru dan kehidupan yang baru, harap Lana optimis—meyakinkan dirinya bahwa it’s gonna be okay.

”Kita masuk ke kelas yuk, Lan.” ajak Dahnia sembari berdiri dan menggandeng tangan sahabatnya. Lana pun refleks berdiri mengikuti Dahnia.

”Nia, kita kan beda kelas sekarang. Kamu masuk kelas duluan sana gih, kelasmu kan jauh di lantai 2. Kalau aku kan tinggal jalan lurus aja udah nyampe.” kata Lana mengingatkan.

Dahnia tersenyum bangga melihat Lana yang sudah kembali bersemangat. Ia lega Lana tidak se-desperate bayangannya.

Ok, see you at lunch!” dan Dahnia pun berlalu ke kelasnya. Sedangkan Lana sengaja duduk kembali, menatap halaman sekolah yang sudah sepi karena murid-muridnya masuk ke kelas. Setelah memantapkan hati, Lana berdiri dan berjalan (sok) santai ke kelas barunya.

Melintasi lorong kelas XII seperti berjalan di dunia asing, karena isinya anak-anak senior yang asyik duduk-duduk di koridor kelas dan tak satupun dari mereka yang Lana kenal. Kecuali satu orang, ya, satu orang yang baru saja keluar dari kelas yang berdempetan dengan XI IA 6 ketika Lana akhirnya menemukan kelas barunya. Orang itu adalah orang yang paling tidak ingin dilihatnya saat ini. Dan sayangnya, orang itu malah berjalan menghampirinya.

”Hai, Alana.” sapa Aries—satu-satunya senior yang dikenal Lana.

”Kamu di kelas IA 6 rupanya. Wah, kita tetanggaan donk ya.” ujar Aries sambil tertawa mengalun (yang kelihatan seksi—kata cewek-cewek satu sekolah).

”Sialnya gue.” runtuk Lana sambil memasang tampang manyun. Harapannya, doanya, impiannya untuk jauh dari cowok bernama Aries ini sirna sudah. Dalam doanya, ia bersedia melakukan apa saja asalkan tidak berada dalam radius 50 m yang sama dengan Aries yang juga seniornya di eskul Kendo. Sayangnya, kali ini Lana harus mengalah dengan takdir.

”Hmm?” Aries mendekatkan wajahnya untuk mendengar yang digumamkan Lana.

”Mau tau aja urusan orang! Pergi sana!” seru Lana kesal.

”Alana...Alana...” Aries geleng-geleng kepala. ”Kamu masih sama juteknya ya—nanti cowok-cowok pada takut lho.” bisik Aries di telinga Lana sambil berlalu pergi meninggalkan Lana yang masih kesal direcokin pagi-pagi begini. Sesungguhnya, jauh di lubuk nurani Aries, ia berharap demikian. Sehingga hanya dirinya yang bisa menggapai satu-satunya perempuan yang jutek padanya itu.

”Dasar orang kurang kerjaan!” gerutu Lana ketika Aries sudah hilang dari pandangan. Ia pun melangkah masuk ke kelasnya dan mendapati hampir semua bangku sudah penuh. Ada satu bangku kosong, letaknya di baris nomor dua dan tepat di tengah-tengah kelas. Tempat yang strategis sebenarnya, tapi sudah ada seorang yang menempati—cowok.

Lana tidak begitu kenal dengan cowok itu, ia hanya tau namanya—Fariz. Denger-denger sih dia baru aja ikut homestay di Australia selama 2 minggu libur semester kemarin. Tapi berita itu belum sampai di telinga Lana, ia terlalu ’sibuk’ untuk mendengar gosip sekolah.

Karena tak ada pilihan lain, Lana pun berjalan menghampiri bangku kosong di samping cowok yang kulitnya cenderung putih itu.

Dengan nada takut-takut ia bertanya, ”Boleh aku duduk di sini?”

Fariz yang sedang asyik dengan iPod-nya, menoleh karena merasa ada sosok yang berdiri di sampingnya dan mengajaknya berbicara. Buru-buru ia melepas earphone yang tergantung di telinganya dan tersenyum pada Lana.

Sorry—tapi tadi kamu ngomong apa?”

”Emm...aku boleh duduk di sini nggak? I can’t find another empty.” kata Lana, entah kenapa dia malah keceplosan ngomong pake bahasa Inggris segala.

Mendengar lawan bicaranya yang kelihatan cute yet scary ini ngajakin ngomong bahasa bule yang dia juga kuasai (banget), Fariz pun ngejabanin.

Sure, please take a seat.” kata Fariz dengan gestur mempersilahkan, yang tidak sekedar basa-basi tapi memang benar-benar tulus.

Lana tersenyum kecil, ”Thanks.

”Kamu...?” terdengar Fariz mencoba mengajak Lana ngobrol. Lana yang emang kurang sensitif sama orang yang tidak dikenalnya tetap sibuk menatap keluar kelas, berharap wali kelasnya segera datang sehingga ia tidak perlu berlama-lama dalam keadaan canggung dengan teman sebangku barunya.

”Hey—” seru Fariz dengan suara yang agak keras, sukses membuat Lana notice.

Lana melempar pandangan bertanya-tanya sebelum berkata, ”Ya?”

”Nama kamu siapa?” tanya Fariz.

”Alana Raiz, but I’d prefer called Lana.” jawab Lana cepat sambil buru-buru mengalihkan pandangan ke luar kelas lagi. Tapi kemudian ia teringat akan resolusi tahun baru yang sudah diwanti-wanti Dahnia tadi pagi.

You gotta be changed, Lana. It’s gonna be fine, kata sebuah suara dari dalam hati Lana.

“Oh... Alfariz Hermenda. Fariz will be fine.” kata Fariz memperkenalkan diri. “Kok aku nggak pernah ngelihat kamu sebelumnya ya. Dulu kelas X berapa?” tanya Fariz ramah.

“Kelas X – 4.” kata Lana singkat.

”Oh ya? Padahal kelas kita tetanggaan ya, tapi kok nggak pernah ketemu.” ujar Fariz tergelak. Lana pun ikut tersenyum mendengarnya.

”Dulu aku... nggak begitu sering keluar kelas.” kata Lana.

Fariz kelihatannya ramah, bukan tipikal snob kayak kebanyakan anak-anak SMA Putra Dharma. Kecuali Dahnia, of course. Mungkin aku bisa memulainya denganmu, Fariz, kata Lana dalam hati. Ia teringat resolusi tahun barunya.

Fariz manggut-manggut mengerti mendengar jawaban Lana. Sejujurnya ia agak bingung sekaligus tertantang untuk mengenal sosok yang kelihatan frigid di sampingnya ini. Ia sendiri baru pertama kali ini ngajakin cewek ngobrol tanpa si cewek tebar pesona kepadanya.

Tak lama kemudian Pak Haris Wicaksono, Wali Kelas XI IA 6 masuk kelas dan mengajak murid-muridnya melakukan permainan sekaligus momen perkenalan satu sama lain. Alhasil, Lana pun mengenal nama teman-teman sekelasnya yang baru dalam waktu singkat. Hebatnya tak satupun dari teman sekelasnya dulu yang sekelas dengannya. Lana pun berkata dalam hati, you’re really alone here. Namun, kemudian ia meralatnya setelah melihat Banyu, teman latihannya di eskul Kendo. Well, not really alone then.

Usai pembagian perangkat kelas (di mana Fariz yang jadi Ketua Kelas), Pak Haris kemudian membagi kelas yang berisikan 30 siswa menjadi 6 kelompok, di mana setiap kelompoknya berisikan 5 orang. Entah berdasarkan apa—katanya sih random—tapi somehow Lana tidak merasa demikian, Pak Haris membagi kelompok di mana Lana berada satu kelompok dengan Fariz dan 3 orang lagi yaitu; Helga, Wita dan Banyu. Wita dan Banyu sih kelihatannya baik, apalagi Banyu—Lana cukup mengenalnya. Namun, satu orang lagi yang bernama Helga ini rasanya bisa menjadi mimpi buruk bagi Lana. Tipikal anak yang suka semaunya sendiri dan mungkin yang terpenting baginya hanyalah perfume CK keluaran terbaru atau malah brandnew handbag LV yang sudah lama diincar. Lana paling anti kalau harus berurusan apalagi dekat-dekat dengan queen bee macam Helga ini.

”Saya membagi kalian dalam kelompok-kelompok begini karena sekolah hendak memberlakukan sistem mentoring kepada siswanya. Mentor kalian nantinya adalah anak-anak dari kelas XII, setiap kelompok akan mendapat 2 orang mentor dengan jenis mata pelajaran yang berbeda dan rencananya akan digilir dengan mentor dari kelompok yang lain setiap dua minggu—saya masih menunggu keputusan rapat akhir minggu ini. Kelas mentoring bisa dilakukan di mana saja selama di sekolah setiap hari Jumat dan Sabtu serta setiap hari setelah pulang sekolah selama 90 menit. Bapak harap dengan metode baru ini kalian tidak melulu belajar dalam situasi yang membosankan seperti ini.” Pak Haris menengadahkan tangannya, memberi isyarat situasi-yang-membosankan-seperti-ini.

Kemudian mendadak kelas menjadi gaduh, karena murid-murid ramai menanggapi pernyataan Pak Haris barusan. Singkatnya, mereka setuju dengan situasi yang membosankan yang dimaksud Pak Haris—bukan kelas mentoring-nya!

Ketika mendengar mentornya diambil dari anak-anak kelas XII, jantung Lana langsung berhenti berdetak selama sedetik. Ia cemas kalau-kalau nantinya mentor kelompoknya adalah dia—sosok yang selalu membuatnya kesal sekaligus gemas. Buru-buru ia enyahkan pikiran itu namun bayangan Aries yang selalu tersenyum usil (seksi?) padanya selalu terlintas.

”Kamu kenapa, Lana?” melihat Lana meremas ujung roknya, Fariz jadi penasaran apa gerangan yang membuat Lana sampai kelihatan cemas sekali begini.

”Eh? Nggak apa-apa kok.” jawab Lana sekenanya.

Tanpa sepengetahuan Fariz apalagi Lana (yang insensitive), seseorang di depan mereka memperhatikan perhatian Fariz ke Lana dengan mata berkilat marah karena merasa dialah yang seharusnya menjadi spotlight—di mana pun ia berada. Dan sekarang cewek nggak populer bernama Lana ini sudah merenggut perhatian Fariz yang nerd but deadly cute darinya.

Setelah memberi penjelasan ini-itu mengenai kelas mentoring, Pak Haris meninggalkan kelas. Memberi kesempatan para siswa untuk mendiskusikan mengenai kelompok mentoring yang sudah dibentuk tadi; tentang tempat pelaksanaan dan sedikit berandai-andai siapa kiranya senior yang jadi mentor mereka.

Siangnya di kantin,

”Lana!” panggil Dahnia ketika melihat Lana sedang antri batagor di kantin, dilihatnya pula seorang lagi berdiri di sampingnya. Sebersit rasa curiga (jealous?) muncul di benak Dahnia. Mungkinkah Lana sudah mendapat sahabat baru?

Di sisi lain, seorang cowok yang sedang duduk di samping pacarnya sambil menyantap mi ayam ikut memperhatikan ke mana panggilan tadi ditujukan. Ia mengamati dari jauh, sosok yang (diam-diam) dikaguminya.

”Hai, Nia! Aku sampai lupa mau jemput kamu ke kelas. Eh, nggak taunya malah kamu yang nyamperin.”

”Nggak apa-apa, Lan. Kan kamu udah ada teman baru.” kata Dahnia yang dimaksudkan pada Wita yang sejak tadi ikut mengantri batagor di samping Lana.

”Oh, iya. Aku belum ngenalin kamu ke Wita. Wita-Dahnia, dia teman sekelasku dulu waktu kelas X.” Lana memperkenalkan Dahnia pada Wita, Wita pun tersenyum pada Dahnia yang dibalas senyuman sinis olehnya, ”Kita sekelompok lho di kelas mentoring.” kali ini yang dimaksud adalah Wita.

”Oh...” kata Dahnia singkat, dagunya terangkat angkuh.

Jadi status kita sekarang cuma mantan teman sekelas ya, Lan?, batin Dahnia pahit.

”Aku balik ke kelas dulu ya, Lan.” kata Dahnia sambil berlalu begitu saja.

”Lho kita kan mau makan bareng, Nia—?” seru Lana agak keras karena Dahnia berjalan lumayan cepat.

”Nggak jadi, aku nggak laper.” seru Dahnia balik, ia hanya memandang Lana sebentar kemudian berpaling dan berjalan semakin cepat menuju kelasnya.

Dalam hati Lana bertanya-tanya, kenapa sahabatnya jadi aneh begitu. Apa ada yang salah dengan dirinya? Apa salah kalau dia mengajak Wita ikut makan bareng mereka juga? Bukannya tadi Dahnia yang semangat mengingatkan bahwa inilah saatnya ia belajar memulai pertemanan baru di kelas yang baru.

”Batagornya pedes nggak, Mbak?” tanya Mas penjual batagor ketika line antrian terakhir di depan Lana sudah berlalu dan itu artinya tak ada siapa-siapa di depan Lana.

”Lana—?” Wita menepuk lengan Lana, menyadarkan Lana dari lamunannya.

”Oh? Hah? Ng-Nggak pedes, Mas, batagornya. Dua ya.” kata Lana terbata.

Setelah memesan batagor Lana dan Wita mencari tempat duduk di kantin yang lumayan luas ini. Akhirnya dapat juga meja kosong yang letaknya mepet tembok, anak-anak yang memakai sebelumnya baru aja selesai makan sehingga piring dan mangkok bekas makannya masih tertinggal dan belum dibereskan.

Lana pun menghempaskan tubuhnya di bangku kantin yang terbuat dari kayu dan mendadak matanya langsung bertatapan dengan mata orang yang sukses membuat nafsu makannya hilang.

”Dia lagi—.” gumam Lana sambil menusuk batagornya asal-asalan.

”Kenapa, Lan?” tanya Wita yang bingung melihat teman barunya yang kelihatan lagi BT.

”Lagi males makan, Wit.” jawab Lana dengan nada kesal.

”Batagornya nggak enak ya, Lan?” tanya Wita lagi.

Sementara Lana uring-uringan, pemilik sepasang mata yang sudah beradu pandang dengannya tadi malah tersenyum melihatnya.

”Kok senyum-senyum sih, Sayang? Ada apa?” tanya cewek yang duduk di sebelahnya, tangannya merangkul lengan Aries manja.

Merasa kesenangannya diinterupsi, raut Aries berubah emotionless ketika berkata, ”Nothing.”

Agatha Triawan—atau Aga, yang mengklaim dirinya sebagai Mrs.Aries Darmawan, sangat sensitif ketika ada ’orang ketiga’ (dalam hal ini cewek) yang mencoba mengganggu hubungannya dengan Aries. Dia dan Aries sudah sejak kelas IX menjadi sepasang kekasih, Aries yang menembaknya ketika malam Prom. Bagi Aga, mendapatkan Aries seperti memenangkan piala bergilir idaman cewek-cewek di sekolah dan dia tak ingin ada seorang pun yang memiliki Aries kecuali dirinya sendiri.

Entah karena sudah dibutakan oleh ’cinta’ atau merasa cap Mrs.Aries Darmawan mutlak tertempel di jidatnya, Aga tidak merasakan bahwa Aries sekarang berubah padanya. Aries sendiri sebenarnya sudah lelah dengan Aga yang selalu memaksanya ikut party di rumah A, datang ke kondangan anaknya Tante B atau nemenin spa di beauty clinic C. Aries bosan dengan segala kegiatan yang rasanya seperti rutinitas Aga itu. Semua itu kan gaya hidup Aga (yang hedonis abis) dan bukan gaya hidupnya. Aries merasa ingin hengkang dari lingkup kehidupan Aga itu. Segera.

”Wit, aku ke kelas Dahnia dulu ya. Nggak apa-apa kan kamu balik ke kelas sendiri?” Lana merasa nafsu makannya hilang sama sekali, padahal batagor adalah jajanan favoritnya di sekolah selain bakso Malang dan Mi Ayam.

Wita mengangguk memahami, ia sudah merasa tidak enak ketika Lana memperkenalkannya pada Dahnia. Cara memandang Dahnia yang tidak ramah sudah cukup mengisyaratkan bahwa kehadirannya di sisi Lana membuat Dahnia tidak suka.

”Oh nggak apa-apa. Aku masih ingin di sini kok.” kata Wita sambil menyeruput teh botol dinginnya yang tinggal separuh.

Lana pun berlalu dengan tatapan kesal pada seorang senior cowok yang duduk di meja yang berseberangan dengannya. Sang senior pun membalas tatapan itu sambil mengulum senyum tapi juga bertanya-tanya kenapa raut wajah Lana sedemikian muram, seperti ada hal yang membuatnya khawatir. Pasti bukan keusilannya yang menjadi penyebabnya, ada hal lainnya lagi. Mungkinkah kejadian yang tadi itu membuatnya resah? Karena ia melihat Dahnia berlalu dengan muka ditekuk ketika bertemu Lana yang berdiri bersama Wita.

Wita yang terus mengamati Lana sampai hilang dari pandangan sempat melihat tatapan kesal Lana pada Aries yang asyik bercanda dengan teman-teman segengnya. Wita yang memiliki insting yang cukup kuat, menyimpulkan bahwa: something wrong happens between Lana and him.

Sesampainya di kelas XI IA 1, Lana langsung melempar pandang ke seluruh kelas—mencari keberadaan Dahnia. Dilihatnya Dahnia sedang asyik bercanda dengan seorang cowok berkacamata yang ia ketahui bernama Galih, teman sekelasnya dulu waktu kelas X. Lana pun memberanikan diri masuk ke kelas orang dan menghampiri Dahnia yang tempat duduknya agak ke belakang dan jauh dari pintu kelas.

”Nia.” Lana memanggil Dahnia yang belum engeh akan kehadirannya, karena terlalu asyik tertawa bersama Galih.

Melihat Lana berdiri di belakang Dahnia, Galih memberi isyarat pada Dahnia untuk berbalik.

”Oh hai, Lan. Udah selesai ya makannya sama...siapa nama teman barumu tadi? Sita—?” tanya Dahnia yang kedengaran sinis di telinga Lana.

”Wita. Namanya Wita, Nia. Sejak kapan kamu jadi pelupa begini, eh?” kata Lana sambil menarik tangan Dahnia, ”We need to talk.

Galih yang melihat situasi yang sedang panas di antara kedua perempuan di hadapannya memutuskan untuk tidak ikut campur dan menyingkir dari situ sambil berkata, ”Aku pergi dulu ya.” kepada Dahnia tapi tidak cukup keras untuk bisa didengar Dahnia maupun Lana.

We’re not going anywhere. Talk to me here, right now.Suara Dahnia penuh penekanan dan determinasi, membuat Lana mengalah dan memutuskan untuk mengikuti kemauan Dahnia.

”Kamu nggak suka ya aku jalan sama Wita?” tembak Lana langsung.

Dahnia mengalihkan pandangan ke papan tulis di depan. Lana menganggap itu sebagai jawaban ’Ya’.

”Kita masih sahabatan, Nia. Dia kebetulan sekelompok sama aku di kelas mentoring dan kamu sendiri kan yang ngingetin kalo ini saatnya buat memulai pertemanan baru. I started it with Wita, you know. But, I’m not gonna leave you. You’re my bestfriend.” Lana mengambil posisi di depan Dahnia sehingga ia bisa bertatapan langsung dengan lawan bicaranya.

Bestfriend? Bukannya aku cuma temen sekelasmu dulu di kelas X, eh?” tanya Dahnia, lagi-lagi kedengaran sinis—membuat Lana terheran-heran, ternyata sahabatnya bisa sedemikian sinis kepadanya.

Sejenak Lana mencoba mencerna pertanyaan (yang kedengaran seperti tuduhan) Dahnia barusan. Lana berusaha mengingat-ingat, pernahkah ia berkata demikian pada Dahnia?

Deg! Iya, pernah. Perkenalan Wita dan Dahnia tadi di kantin.

”Aku ngaku salah, Nia. Aku nggak bilang kalau kita sahabatan juga. Tapi, Wita nggak akan merebut posisimu sebagai sahabatku, Nia. Kamu tetep sahabat baikku sampai kapan pun.” kata Lana meyakinkan.

Nggak kuat marahan terus sama sahabat sendiri, hati Dahnia pun akhirnya luluh. ”Aku juga seharusnya nggak bersikap kayak gini, Lan. Seharusnya aku bisa ngerti karena kita udah sahabatan sejak SMP. Maafin aku ya, Lan.” Dahnia beranjak memeluk sahabatnya.

”Maafin aku juga ya, Nia.” Lana pun tak mau kalah, ia memeluk balik sahabat yang sudah membantunya survive sampai sejauh ini.

Di koridor kelas XI IA 1, melintas Aries yang mengikuti Lana beberapa detik setelah Lana beranjak (dan Wita masih memperhatikan tingkah laku dua orang yang aneh ini!). Ia berbohong pada teman-teman segengnya (atau fans-nya Aga—mungkin budak lebih tepatnya) bahwa ia ingin pergi ke toilet. Namun nyatanya ia berlari melintasi lapangan menuju koridor kelas XI yang berada di lantai 2 untuk mengejar Lana yang berjalan agak terburu-buru.

Melihat Lana dan Dahnia berpelukan—melihat Lana tersenyum kembali—membuat perasaan Aries kembali tenang. Masalahnya sudah terselesaikan, pikir Aries sambil buru-buru berlalu turun meninggalkan koridor yang semakin ramai karena kehadirannya. Siswi-siswi kelas XI berebutan melihat Kak Aries yang terkenal charming dan sulit didekati karena ketatnya ’penjagaan’ pacarnya, Aga. Aries pun mempercepat jalannya dan membalas sapaan adik-adik kelasnya seadanya, karena ia tidak ingin Lana tahu ia mengikutinya.

Melihat kegaduhan di koridor kelas lewat kaca nako kelas, Dahnia penasaran ingin tahu. Ia pun mengajak Lana keluar untuk mencari tahu penyebab ramainya anak-anak di koridor.

Dahnia menghampiri Galih yang sedang duduk di bangku panjang yang sengaja diletakkan di depan kelas.

”Ada apa sih, Lih, kok rame banget anak-anak?” tanya Dahnia sambil melempar pandang pada sejumlah siswi yang asyik kasak-kusuk sendiri sambil sesekali cekikikan geli.

”Tadi Kak Aries lewat sini. Kayaknya sih lagi nyari seseorang di kelas, tapi kelihatannya yang dicari nggak ada jadi dia cuma melintas aja.” terang Galih.

Aries?, nama itu langsung menyita perhatian Lana.

”Sendirian?” tanya Dahnia lebih lanjut.

Ngapain dia jalan-jalan di koridor anak kelas XI? Sendirian pula! Nggak takut ceweknya nyap-nyap apa?!, batin Lana.

”Tumben ya Kak Aries berani jalan-jalan ke tempat selain wilayah senior. Bukannya Kak Aga nggak pernah tuh ngebiarin cowoknya jalan sendirian—? Kesannya jadi kebalik gitu.” Dahnia pun tertawa mendengar ucapannya sendiri, diikuti Galih dan Lana.

”Kalau aku punya cewek, aku yang bakal jagain dia. Bukan sebaliknya kayak Kak Aga dan Kak Aries begitu.” ujar Galih sambil melirik Dahnia sebentar.

Berani sumpah Lana tidak salah lihat, ia mendapati Dahnia blushing mendengar perkataan Galih barusan. Lana pun tersenyum memahami melihat sahabatnya yang jadi salah tingkah di depan Galih.

”Emm...Nia. Aku balik ke kelas dulu ya. Sebentar lagi bel masuk berbunyi, kelasku kan jauh. Lagi males lari-lari nih.” ujar Lana sambil tersenyum penuh arti dan buru-buru pergi meninggalkan Dahnia berduaan dengan Galih.

Dahnia pun dapat menangkap maksud Lana itu, rupanya sahabatnya itu sudah tahu tanpa harus ia beritahu.

Galih melirik arloji sport Adidas-nya, ”Padahal masih 10 menit lagi baru bel masuk.” ujarnya.

”Emm...mungkin dia ada perlu, Lih. Jadi harus buru-buru balik ke kelas.” kata Dahnia berusaha kelihatan tenang. Sesungguhnya, jantungnya berdebar kencang sekali sampai nyari copot. Ia grogi juga duduk berduaan dengan Galih begini, meskipun sekelilingnya banyak juga teman-teman yang lain. Tapi siapapun yang melihat gestur malu-malu Galih dan Dahnia, akan berpikir mereka sedang pacaran.

Dengan hati gembira Lana berjalan kembali ke kelasnya, semangatnya entah bagaimana kembali pump-up dan ia siap menjalani hari ini sampai bel pulang dibunyikan.

”Udah nggak cemberut lagi?” sebuah suara yang terdengar sangat dekat di telinga Lana sempat menghentikan langkahnya ketika hendak melintasi koridor kelas XII, di mana itu juga termasuk koridor kelasnya.

None of your business, Aries.” kata Lana jutek—tak suka dengan lawan bicaranya kini, ia menatap lawan bicaranya sejenak tanpa menghentikan langkahnya menuju kelas.

Aries yang (seperti) sudah terbiasa akan kejutekan Lana hanya tersenyum sambil memandangi Lana yang berjalan menuju kelasnya.

”Hai, Lana.” sapa Wita yang asyik ngobrol di depan kelas. Tampak Fariz juga berdiri di sebelahnya dengan beberapa buku tebal di tangannya, Lana melirik judul buku-buku yang semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Buku persiapan SAT.

Hey.” sapa Lana balik.

”Udah ketemu Dahnia tadi?” tanya Wita, mengingat alasan Lana meninggalkannya di kantin tadi adalah untuk bertemu Dahnia.

Lana mengangguk sambil tersenyum lebar, kemudian pandangannya teralih ke Fariz dengan buku tebalnya. ”Kamu mau kuliah di Amerika, Riz?” tanya Lana sambil melirik buku-buku tebal di tangan Fariz.

”Oh? Yeah, I plan to. Kok kamu tahu?” jujur Fariz agak terkejut ditembak Lana begitu.

”Buku di tanganmu itu—kakakku juga punya.” kata Lana sambil menunjuk objek yang dimaksud dengan isyarat dagunya.

Really?” Fariz murni terkejut mendengar perkataan Lana tadi. ”Kakakmu kuliah di universitas apa?”

”Dia di Oxford sekarang.” jawab Lana singkat.

”Oxford? Tapi—itu kan di Inggris, Lan?” tanya Fariz sampai alisnya bertaut satu sama lain.

”Iya, kakakku dapat beasiswa di sana. Sebelumnya dia mendaftar ke NYU, tapi Ayahku bilang sebaiknya kakakku kuliah di Inggris yang kulturnya tidak sebebas di Amerika.” Lana menjelaskan tanpa terkesan sombong. Ia sendiri heran, bagaimana dirinya bisa ngobrol lancar dengan orang baru seperti Fariz dan Wita begini.

”Tapi, Riz, kita kan masih kelas XI. Masih ada waktu setahun lagi kan buat mikirin kuliah.” sahut Wita yang tidak heran melihat Fariz yang semangat sekali kuliah padahal umur 17 aja belum lewat.

”Aku harus ikut kelas preparation sebelum ikut ujian masuk universitas di sana. Aku takut kelas XII nanti tidak sempat mempersiapkannya karena sibuk dengan persiapan Ujian Nasional. Jadi segala persiapan harus dimulai dari sekarang.” kata Fariz bijak.

”Rencana kamu mau masuk mana, Riz?”

”Maunya sih di MIT, ambil IT. Tapi papaku nyuruh aku ambil International Business di Yale. Papaku punya perusahaan keluarga yang sudah punya cabang di Singapura, beliau ingin aku meneruskan perusahaan itu. Tapi aku ingin nantinya bekerja di bidang IT, bukan bisnis seperti kebanyakan keluargaku.” kata Fariz yang nadanya terdengar murung.

”Memangnya kamu berapa bersaudara, Riz?” tanya Wita.

”Cuma dua, aku anak bungsu.” jawab Fariz.

”Kakakmu?” tanya Lana penasaran.

”Kakakku juga ambil jurusan yang disarankan papaku di UNSW.”

”Lantas kenapa papamu masih ingin kamu kuliah yang sama dengan kakakmu? Bukankah perusahaan seharusnya jatuh ke tangan kakakmu—?” tanya Lana lagi, entah kenapa mendadak dia jadi tukang interogasi begini.

”Kakakku perempuan, Lan. Dalam keluarga kami, diharuskan laki-laki yang memegang kekuasaan di perusahaan. Perempuan... masih dipertimbangkan.” kata Fariz yang sebenarnya malu dengan kenyataan bahwa keluarganya masih menganut aliran yang konservatif itu. Di jaman modern begini, pemimpin pria maupun wanita sudah bukan masalah yang berarti. Karena baik pria ataupun wanita memiliki chance yang sama untuk memegang kekuasaan, semua itu bergantung pada kompetensi yang dimiliki masing-masing orang.

Wita geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Fariz. Berbeda dengan Lana, ia masih mencoba mencerna perkataan Fariz barusan. Ia membandingkan kondisi keluarga Fariz dengan keluarganya yang semuanya serba demokratis, benar-benar tipikal keluarga modern. Ayah tidak melarang ketika Venna, kakaknya, ngotot kuliah ke Amerika dan bukannya ke Australia atau Singapura yang lebih dekat, bahkan sekarang diperbolehkan kuliah di universitas yang letaknya bermil-mil lebih jauh dari Amerika, Inggris. Begitu pula ketika Lana minta izin untuk ikut eskul Kendo, bukannya ikut cheerleader seperti Venna dulu atau masuk kelas Balet misalnya. Ayah memberi kebebasan yang bertanggungjawab pada setiap anak-anaknya.

Well, apapun keputusan kamu nantinya, Riz, pastikan kamu udah mikirin masak-masak. Kalau perlu, kamu diskusikan kembali dengan papamu. Aku yakin, kalau kamu memberikan alasan yang tepat, papamu akan mengerti.” kata Lana yang amazed sendiri dengan kata-kata yang meluncur manis dari mulutnya.

”Lagipula, kelulusan itu masih lama, Riz. Nikmatin dulu masa SMA kita yang nggak akan terulang ini.” sahut Wita yang membuahkan senyuman di wajah Fariz dan Lana.

Bel masuk pun akhirnya berbunyi, jam istirahat telah usai. Fariz, Wita dan Lana pun memutuskan untuk masuk ke dalam kelas, jam berikutnya adalah pelajaran Biologi. Denger-denger gurunya nggak mentolerir murid yang terlambat masuk ke kelas.

Namun, ketika akan melangkah masuk ke kelas, Aries menghampirinya sejenak, ”Ntar latihan kan? Kita sparing bareng ya nanti.” kata Aries sambil berlalu menuju kelasnya.

You wish.” sahut Lana masih dengan nada jutek seperti biasa kalau berhadapan dengan Aries.

I’ll wait you up, Alana.” kata Aries tanpa balik badan dan terus berjalan.

Sorenya, eskul Kendo, 15.55

Sensei Nanda tidak datang hari ini karena mendadak ada acara keluarga, sehingga posisinya digantikan oleh Aries, karena dialah yang paling senior di antara anggota eskul Kendo lainnya. Sebenarnya masih ada 3 orang lagi yang juga teman seangkatan Aries; Dira, Sakti dan Moza, tapi ketiga orang itu hari ini skipped karena katanya ada-keperluan-penting-yang-tidak-bisa-ditinggal. Aries pun mengerti apa yang dimaksud keperluan-penting-yang-tidak-bisa-ditinggal itu; nonton anak-anak baru yang lagi seleksi masuk eskul cheerleader di lapangan sekolah. Jadi, mau tidak mau Aries-lah yang menjadi sensei dadakan sore ini.

Ketika melihat calon-calon anggota baru eskul Kendo (yang sebagian besar cewek-cewek yang ingin melihat Aries lebih dekat) dan sejumlah anggota lama sudah berkumpul di tengah dojo, Aries pun memutuskan untuk memulai latihan. Namun, ketika ia melempar pandangan ke seluruh dojo, matanya tidak menangkap sosok Lana. Padahal ini sudah hampir jam 4 lewat, biasanya Lana tidak pernah telat latihan.

”Baiklah, teman-teman sekalian, kita akan mulai latihan hari ini. Saya sempai1 kalian di sini, nama saya Aries dari kelas XII IA 1. Seharusnya sensei Nanda yang berdiri di posisi ini, namun beliau sedang ada keperluan. Sehingga saya yang menggantikan. Sebelumnya, saya tidak akan panjang lebar menjelaskan apa itu Kendo, karena kalian bisa baca di brosur yang sudah dibagikan ketika masuk ke dojo tadi—” Aries melirik ke arah pintu dojo yang didorong seseorang dari depan, Lana. Ia sudah mengenakan Kendo Gi—kostum Kendowarna putih-hitam, tas sporty Converse biru tua model tabung tergantung dibahunya. Tas berisi handuk, botol minum dan kotak P3K kecil itu ia letakkan sekenanya di bangku tunggu yang terletak di tepi dojo. Sambil berlari-lari kecil, Lana bergabung ke shomen2.

”Nah, sebelum kita mulai latihan, kita lakukan meditasi terlebih dahulu. Supaya bisa fokus latihan. Bagi teman-teman yang baru bergabung bisa mengikuti gerakan saya nanti. Kemudian dilanjutkan dengan pemanasan.” kata Aries ketika melihat Lana sampai di tengah dojo.

Usai pemanasan yang dipimpin langsung oleh the only one sempai, Aries, seharusnya latihan segera dimulai. Tapi tidak ketika sebuah ide pop-up di kepala Aries.

”Sebelum latihan yang sesungguhnya dimulai, saya akan memeragakan demo bersama partner sparring saya, Alana.” kata Aries sambil memandang Lana, menanti responnya.

Mendengar namanya disebut, Lana mendongak dan dengan raut wajah bingung ia berkata, ”What?”

Sebenarnya demo gerakan Kendo di depan junior baru memang tidak diwajibkan, tapi kali ini mendadak Aries merasa ’wajib’ melakukannya. Bukan untuk pamer kekuatan atau kehebatan, tapi...apa lagi kalo bukan buat ngusilin Lana.

”Lan, kamu diajakin demo sama Kak Aries tuh.” ujar Banyu yang kebetulan berdiri di samping Lana.

”Kamu aja deh, Banyu. Aku kan baru datang. Lagian, kenapa harus aku sih? Kayak nggak ada orang lain aja.” gerutu Lana sambil melempar tatapan kesal ke arah Aries.

Seperti dapat menebak reaksi Lana, Aries pun menemukan cara baru untuk ngusilin Lana—cara supaya Lana bersedia sparring dengannya.

”Sepertinya Alana butuh dikasih semangat biar mau maju. Kasih support dong, teman-teman.” Aries mengajak anggota yang lain untuk bertepuk tangan ’men-support­’ Lana. Tak hanya tepuk tangan yang terdengar, tapi juga seruan supaya Lana mau maju bertanding dengan Aries. Mendadak dojo pun jadi gaduh kayak gymnasium yang lagi ada pertandingan basket.

”Ayo, Alana! Masa’ udah di-support gini kamu masih nggak mau maju.” sindir Aries yang sukses membuat Lana semakin dongkol. Dalam Kendo, ada aturan untuk menghormati perintah sensei atau sempai. Mengingat Aries adalah sempai-nya, mau tak mau Lana harus memenuhi perintah—atau tantangan lebih tepatnya—Aries itu.

Setelah memakai bogu3, Lana berjalan menghampiri Aries untuk mengambil shinai—pedang yang terbuat dari 4 belahan bambu yang disatukan dengan satu ikatan—yang diulurkan cowok yang namanya diambil dari rasi bintang bersimbolkan kambing gunung itu. ”Aku bersedia bukan demi kamu, Aries.” kata Lana pelan, tepat di hadapan Aries dan yang diajak bicara pun hanya merespon, ”Oh...” sambil tersenyum penuh arti.

Berikutnya, Lana berdiri dalam posisi chudan4 dengan shinai tergenggam kokoh di tangannya. Sebelumnya ia membenahi letak men dan ikatan kostum latihannya.

Aries pun berdiri dalam posisi yang sama, sedetik kemudian sparring pun dimulai. Kendo dikenal dengan ilmu beladiri atau olah raga yang cenderung agresif, sehingga baik Lana maupun Aries sama-sama melakukan serangan dalam hikitate-geiko5 ini.

Sudah tiga kali Lana mengenai bagian do—pelindung badan—Aries, sedangkan Aries sendiri sudah berkali-kali mengenai kote—pelindung tangan—Lana. Dan ketika Aries hendak melakukan serangan balasan dengan mengenai bagian men—pelindung kepala—Lana yang cukup gesit menghindar dengan melakukan front roll ke belakang Aries kemudian bangkit berdiri dengan tangan bersiap mengayunkan shinai ke leher Aries ketika cowok itu dengan tak kalah gesitnya berbalik dan mendengar kake-goe6 dari Lana. Aries kurang cepat (atau memang sengaja?) untuk menangkis serangan Lana yang bersemangat itu. Ia hanya pasrah apa yang akan terjadi padanya.

Lana menahan kekuatan terakhirnya ketika shinai-nya terayun mendekati bahu Aries sementara bahunya naik turun karena terengah-engah. Ia merasakan karet rambutnya putus—mungkin saat melakukan front roll tadi—sehingga rambut hitam lurusnya yang mencapai punggung pun tergerai di balik men-nya.

Tersirat senyum menawan di wajah Aries, senyum yang membuat Lana semakin jengkel—karena seharusnya dialah yang berhak tersenyum, dialah pemenang dalam sparring demo di hadapan anak-anak baru ini. Sejujurnya ia takjub (dan sudah menyangka) Lana akan berhasil mengalahkannya dalam demo kali ini. Tepuk tangan kontan membahana ke seluruh dojo, diiringi sorak-sorai anak-anak baru yang kagum melihat sparring seru antara Aries dan Lana. Sebenarnya, mereka benar-benar tidak pernah melihat pertandingan Kendo satu pun dan sekalinya melihat, langsung dapat yang mirip film silat beneran begini. Lana pun menarik shinai menjauh ke sisinya, Aries pun langsung berdiri dalam posisi shizentai7 dan membungkukkan badan sampai sebatas bahu, take a bow as a compliment for her. Kemudian Lana pun melakukan hal yang sama dalam tempo yang lebih cepat—maksudnya adalah menandakan bahwa pertarungan berakhir, berbeda dengan Aries.

Kemudian buru-buru ia membuka men-nya dan rambut panjangnya pun tergerai di belakang punggungnya. Baru kali ini Aries melihat rambut Lana yang ternyata cukup panjang tergerai indah, baginya Lana jadi kelihatan lebih seksi dengan rambut yang dibiarkan lepas tak beraturan begitu (meskipun masih berkostum Kendo Gi lengkap dengan pelindungnya!)

Lana melepas bogu yang melindungi badannya serta mengembalikan shinai ke tempatnya sambil membenahi ikatan rambutnya dengan ikat rambut cadangan yang selalu stand by di pergelangan tangan kanannya dan kembali ke tengah anggota yang lain.

Seorang cewek yang badannya cenderung kurus-anorexic menatap Lana terkagum-kagum, ia berdiri tepat di sebelah Lana yang baru sadar kalau sekelilingnya ada para junior yang baru bergabung. Ia kagum melihat seorang cewek yang badannya lumayan skinny kayak Lana bisa mengalahkan Aries yang obviously berbadan lebih besar dan tentunya tak kalah gesit.

”Kak Alana, aku kagum banget ngelihat Kakak tadi.” ujarnya, masih dengan tatapan admired.

Thanks.” kata Lana yang sibuk menyembunyikan pipinya yang blushing kemerahan.

”Emm...Kak, kenalin namaku Astia.” cewek pengagum Lana itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. Lana pun menjabat tangan Astia.

”Alana Raiz, tapi panggil Lana aja ya.” kata Lana mencoba ramah.

”Baik, Kak.” seru Astia diluar dugaan Lana, karena suaranya terdengar bersemangat sekali. Lana pun jadi salah tingkah berdiri di samping pengagum dadakannya begini.

”Oke, tadi itu benar-benar sparring yang seru sekali dengan partner sparring saya, Alana.” Aries bersuara setelah kembali ke posisinya sebagai temporary sensei.

Alana melotot tidak diterima, sejak kapan ia berstatus partner sparring Aries?!

”Setelah ini teman-teman dari kelas XI—termasuk Alana, akan mengajarkan gerakan-gerakan dasar serta peraturan-peraturan dalam Kendo pada teman-teman yang baru bergabung.” lanjut Aries. Lana pun menatap Aries jutek karena namanya ikut disebut-sebut. Aries sengaja melakukannya melihat beberapa anak baru sepertinya mengagumi Lana dan ingin mengenalnya.

You’re the girl of today, Lan.” goda Banyu yang berjalan melintas di depan Lana yang baru saja akan berdiri. Ia hanya tersenyum tipis menanggapi pernyataan Banyu.

Berikutnya, kelas dibagi sebanyak anak kelas XI yang hadir dan anak-anak kelas X maupun kelas XI yang baru bergabung bisa memilih bergabung di kelompok siapa. Mayoritas memang mengikuti kelompok yang dipimpin Lana, mereka ingin belajar langsung pada sosok yang berhasil mengalahkan sempai Aries yang lebih senior. Apalagi cewek pula!

Aries sendiri berkeliling mengamati teman-temannya yang masuk tahap senior mengajarkan gerakan dasar pada anggota baru. Namun, yang paling menjadi perhatiannya adalah Lana. Aries menahan tawa ketika memperhatikan Lana yang kikuk mengajarkan gerakan dasar pada para anggota baru yang semua memperhatikannya dengan tatapan admired.

Dalam hati, Lana bingung harus bagaimana berdialog dengan posisinya sebagai guru bagi anggota-anggota baru di hadapannya ini. Mana dia mendapat murid paling banyak pula dibandingkan lima teman lain yang selevel dengannya! Ia pun menatap Aries geram ketika mendapatinya sedang memperhatikan ia mengajari cara memegang bokken yang benar. Aries hanya geleng-geleng sambil tersenyum lebar yang membuatnya semakin kelihatan charming.



1st Chapter by Sara Nindya

No comments: