Tuesday, February 10, 2009

Tiny Wavy Love

There’s always the first time for everything.

So do the love.

Will this first love become such a great miracle?



Prolog

Buk! “Lo jangan bisanya main keroyokan, dong!” Buk! Dihantamnya lagi wajah babak belur di depannya. Sosok di depannya itu ingin bangkit, namun tak bisa. Kerah baju OSIS SMU-nya terus menerus dibanjiri keringat. “Kalo elo berani lagi ganggu anak sini dan main keroyokan—awas, lo! Cih!” Ia lalu membuang ludah tepat di sebelah sosok yang dihabisinya itu terkapar. “Gue nggak mau liat muka lo lagi. Guys, ayo kita cabut sekarang aja. Gue udah puas ngabisin nih anak.” Dengan kasualnya, ia memasukkan tangan ke saku celana abu-abunya, lalu berjalan ke tempat motornya berada. Ia segera melaju dengan motor sport hitamnya.


Selalu saja begitu. Santai. Simpel. Setia kawan. Drue. Sosok dengan nama 4 huruf itu terlihat begitu bebas. He loves freedom, anyway. Ia dikenal sebagai sosok yang begitu gentle. Banyak alasan yang dapat membuatnya begitu. Pertama, tubuh six pack-nya sering sekali terlihat saat bermain sepak bola di lapangan SMU Kebangsaan—sekolahnya. Cewek-cewek menjadi histeris, jelas. Kedua, ia dikenal sebagai seorang playboy ulung. Siapa sih, yang tidak terpikat sama cowok macam dia?


Ketiga, di balik sosoknya yang playboy itu, Drue sangat pandai memperlakukan seorang cewek (baca: cewek-ceweknya) bak putri raja. Walau playboy, Drue sangat sopan pada semua perempuan. Terutama pada mommy dan grandma-nya tercinta. Ia sudah diajarkan begitu sejak kecil, untuk respek pada semua perempuan. Keempat, ilmu bela diri yang pernah 5 tahun digelutinya sudah cukup membuatnya dikenal sebagai cowok yang jago berantem.


Kelima, ia terbiasa menyulut lintingan tembakau atau rokok. Mungkin, yang terakhir ini tidak bisa disebut sebagai basic Drue menjadi sosok yang gentle. Karena, mommy dan grandma-nya sering berdebat dengan Drue soal resiko kanker paru-paru saat Drue ketahuan merokok saat sedang duduk di halaman belakang rumahnya. Dan nampaknya, Drue sama sekali tidak peduli. Oh iya, terakhir, ia bisa terlihat lebih keren dari Dani atau Daniel Pedrosa saat berada di atas motor sport hitamnya itu. These are not just the damn things, right? Dan kalau boleh dikatakan, wajahnya lebih tepat dikatakan manis daripada tampan.


***


Motor Drue sekarang tepat berada di depan rumah sobatnya, Stephen. Ia segera turun dan memencet bel. Tak lama kemudian, Stephen keluar dengan kaos oblong dan boxer-nya sambil sesekali mengacak-acak rambutnya sendiri karena baru saja bangun dari tidur siang. “Nape, lo? Tumben ke sini. Ganggu gue sih, sebenernya. Baru 2 jam gitu, gue tidur.”


“Ah, bawel lo! Persilahkan gue masuk, kek. Gue abis ngabisin si Arden tuh. Asik banget! Makanya gue pengen main di sini. Gue mau pinjem CD Eminem punya lo. Yang Re-Up itu, loh. Sekalian kita ngobrol-ngobrol bentar. Dan gue—“ Nampaknya, Stephen tidak membiarkan Drue berbicara lebih banyak lagi. Karena ia langsung masuk ke dalam rumah setelah membuka pagar. Mau tidak mau, Drue harus segera masuk bersama motornya itu.


Dua orang cowok yang sobatan itu sekarang sedang berada di dalam kamar Stephen yang penuh dengan poster Backstreet Boys, peninggalan masa-masa SD-nya dulu. “Jadi, intinya lo ngapain ke rumah gue? Heran, deh.”


“Ah, nggak seru lo. Padahal, gue udah dapet informasi soal Trisha. Tetangga lo, sekaligus cewek favorit lo tuh.” Stephen membelalak kaget.


“Hah? Kok bisa? Tuh cewek kan karismanya tinggi banget, masa dia mau ngobrol sama cowok nggak berintelek kayak lo gini sih, nyet?” Tanya Stephen tidak percaya.


“Weits, jangan salah lo. Gue baca koran punya bokap tiap hari. Emang kayak lo, bacaannya nggak bermutu semua? Mentok-mentoknya beli tabloid gosip. Kalo gue nggak baca koran, bisa-bisa kayak lo. Nanti, cewek-cewek langsung menjauh dari gue. Jadi cowok tuh, harus smart dikit.”


Stephen menghela napas. “Oke, oke, gue percaya. Emang kapan lo ketemu dia? Ngomong apa aja, sih?”


“Kemaren, jadi tuh—”Drue tidak bisa melanjutkan ceritanya.


Tok … Tok … Tok … Terdengar suara ketukan pintu dari depan kamar Stephen dengan tidak sabar. “STEPHEN!!! MANA CD MICHAEL BUBLE GUE??? DASAR COWOK TUKANG MINJEM, GUE BUTUH CD-NYA SEKARANG!!! UDAH KELAMAAN LO PINJEM!” Terdengar suara cewek dari balik pintu yang membuat Drue cukup terkejut.


Stephen membuka pintunya. “Mia, adik gue, lo bisa diem nggak sih? Jangan ngomel-ngomel, deh.”


“Nggak! Udah, mana CD gue?” Tanya Mia sambil berkacak pinggang.


Stephen nyengir. “Hehehehe …”


“Jangan bilang kado CD-nya ilang!” Kata Mia dengan mata melotot.


“CD-nya gue kasih ke Drue. Tuh, orangnya. Dia minta buat cewek barunya. Gue dapet informasi soal Trisha dari dia,” ucap Stephen dengan tampang innocent-nya.


Mia langsung menghampiti Drue yang sedang bersandar di tempat tidur Stephen. “Lo tuh ngerepotin gue aja, sih! Gue minta ganti rugi! Stephen, kalo elo mau PDKT sama Trsiha, kenapa nggak bilang gue? Gue kan kenal banget sama dia!” Mia berpaling ke arah Stephen lalu memelototi mata Drue lagi. “Elo, yang gue nggak tau siapa namanya dan elo, Stephen, harus ganti rugi! Itu CD Michael Buble kesayangan gue!”, ujar Mia marah pada Drue dan Stephen.


“Tenang, tenang, gue Drue.” Drue mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan adik sobatnya itu.


“Gue nggak peduli,” jawab Mia asal.


“Oke, cewek dengan nama Nggak Peduli, gue bakal ganti rugi,” kata Drue tenang.


“Eeerrrggghhh … Terserah! Gue mau CD itu ada paling lambat lusa.” Mia keluar kamar Stephen dan membanting pintunya.


“Hahahahaha … Lucu banget, sih! Kenapa lo nggak cerita lo punya adik?” Tanya Drue sambil tertawa terbahak-bahak.


“Dan kenapa kita nggak mikirin gimana caranya beli CD Michael Buble-nya aja? Karena, gue sekarang lagi nggak punya duit sama sekali!” Ucapan Stephen ini justru membuat Drue makin terbahak-bahak.


***


Ini sudah tepat lusa, seperti ultimatum Mia, setidaknya Drue dan Stephen harus sudah membeli sebuah CD Michael Buble. Mia yang sudah pulang sekolah duluan pun, kini sedang duduk dan menunggu di ruang tamu. Ia hanya ingin tahu dan memastikan bahwa kakaknya membawa sebuah CD Michael Buble.


Suara motor yang masuk membuat Mia cepat-cepat keluar. Ternyata benar dugaannya, Stephen datang bersama Drue. Yang jelas, Mia sama sekali tidak ingat nama Drue. “Stephen, mana CD Michael Buble gue?”


“Mia, dengerin penjelasan gue dulu …” Tanpa pikir panjang, Mia mencubit-cubit seluruh wajah Stephen hingga puas saking kesalnya.


“Emangnya lo nggak tau, hah? Gue tuh lagi butuh banget CD-nya. Elo tanggung jawab, kek! Sebagai kakak yang baik …” Belum sempat Mia menyelesaikan kalimatnya, Drue mengeluarkan CD Michael Buble yang masih disegel tepat di hadapan wajah Mia.


Mia dan Stephen saling berpandangan, lalu terbelalak kaget. “Jadi—“ Mia tak sanggup berbicara lagi, lalu berlari ke dalam dengan girang, setelah menyambar CD itu.


“Sialan, lo! Katanya lo nggak berhasil menemukan CD Michael Buble di toko-toko musik terdekat. Gimana sih, lo? Elo ngibulin gue! Muka ganteng gue mau ditaroh di mana? Udah ancur kayak gini, coba … Ah, lo mah!” Stephen mengamuk berat setelah dikerjain Drue.


“Hahahaha … Nggak apa-apalah. Sekali-kali ngerjain lo asik juga. Anyway, kamar adik lo di mana?” Tanya Drue setelah menyerahkan foto 2R Trisha pada Stephen.


Muka Stephen sontak langsung menjadi berseri-seri. “Di depan kamar gue. Thanks banget ya, Drue.” Tanpa pikir panjang, Drue langsung bergegas ke depan kamar Mia dan mengetuk pintunya.


“Masuk,” kata Mia dari dalam kamar. Tampaknya, ia sama sekali tidak peduli siapa yang masuk karena Mia tengah asyik membaca novel Twilight yang dipinjamnya dari Trisha sambil mendengar lagu-lagu dalam CD Michael Buble yang baru didapatnya tadi. “Elo???” Tanya Mia yang sangat terkejut begitu melihat sosok Drue.


Drue nampaknya tidak ragu dan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Mia. Ia langsung mengacak-acak rambut Mia yang wavy itu sambil berkata, “ Adik manis, lain kali sama kakak sendiri lebih sopan ya. Kasian kan si Stephen. Tapi, gue rasa lo udah seneng karena CD Michael Buble lo udah kembali. Iya, kan?” Drue langsung keluar kamar dengan wajah puas.


“AAARRRRRGGGGGGGHHHH!!!” Mia berteriak kesal dari dalam kamarnya. Drue makin puas.

29 September 2007

Yang namanya punya pacar itu, nggak selalu enak. Iya, kan? Jujur, deh. Gue sekarang lagi pacaran sama cowok yang 2 tahun lebih tua. Gue juga udah jadian sama dia selama 2 setengah bulan. Mungkin, cowok yang lebih muda kedengaran nggak begitu oke buat gue, makanya gue pacaran sama cowok yang lebih tua. Dia tuh lebih dewasa soalnya dan lebih berpengalaman tentunya. Hahahaha … (tertawa, gila.)


Nama cowok gue itu Drue. Yang bikin dia kelihatan oke itu, badannya tinggi, atletis, dan orangnya agak sedikit ‘bandel’. Yang gue sebel, dia itu ngerokok. Abis pacaran sama gue, yang biasanya ngerokok 3 batang sehari, jadi sebungkus buat seminggu. Does it sound better? Dan gue, nggak akan berhenti berkampanye, supaya dia bisa benar-benar berhenti ngerokok. Iya nggak, sih? Drue juga selalu nganterin gue pake motor ke sekolah, walaupun dia beda sekolah sama gue. Drue adalah cowok pertama gue dan gue kenal dia dari kakak gue, Stephen.


Awalnya, sikapnya yang usil bikin gue sebel banget. Kenapa sih, dari sekian banyak temen Stephen yang pernah ke rumah, dia doang yang hobi ngegangguin gue? Gue bener-bener nggak ngerti, dari mana Stephen yang sikapnya Alien, punya temen yang lebih parah dari Alien. Huh. Tapi, ternyata, orang yang lebih parah dari Alien itu bikin gue mulai sadar kalo jatuh cinta itu aneh. Sama Drue lagi. Itu fakta yang bikin cinta pertama gue makin aneh.


Drue mungkin cowok terbaik yang pernah gue temuin—so far. Manisnya cinta, selalu dia kasih ke gue. Hehehe … Gaya banget nggak, sih? Dan yang paling penting, sebandel-bandelnya dia, Drue yang suka berantem ini orangnya sopan banget. Buat ngegandeng tangan gue aja, dia masih suka ragu. Dia tuh care banget, suka bikin orang ketawa, iseng, dan fun gitu. Kalo tampang, I think he is sweeter than my favourite candy. Dan gue, cinta sama dia, sayang sama dia.


Tapi, cinta itu apaan sih?


***


Hari Senin, 6 November

Drrrt … Drrrt … HP Mia yang tengah di-silent, bergetar pagi ini. Ia pun melirik jam dinding kamar, baru jam 05.15. “Halo …,” katanya setengah sadar.


“Mia, bangun dong. Jangan sampe telat nanti kita berangkat. Oke? Mia mam yang banyak, yah! Nanti Drue dateng ke rumah Mia jam setengah tujuh. Mandi yang bersih, pake parfum green tea-nya, ya. Biar wangi badan kamu bikin aku semangat ke sekolah. Hehehe …” Suara Drue yang gentle sekali itu pun langsung membuat Mia tertawa kecil dan nyengir lebar.


“Iya. Mia masih ngantuk banget, tau …. Drue kok tumben, bangun jam segini? Kesambet apa, sih? Hehehe … Hayo, semalem kamu tidur jam berapa? Pasti kelayapan dulu, deh.” Mia kemudian membuka dan menutup matanya berkali-kali.


“Kok kamu tau, sih? Drue semalem tidur jam 1. Soalnya, Drue nyampe rumah juga baru jam segitu. Semalem ada urusan gitu, deh. Biasalah …”


“Pasti berantem, kan? Kamu gitu, deh. Kalo sampe kamu kenapa-napa, Mia nggak peduli lagi, oke? Terus, semalem kamu ngerokok nggak?” Tanya Mia sambil menginterogasi.


“Oke, oke. Tenang aja, deh. Semalem? Bener loh, Drue nggak nye-moke. Sama sekali nggak. Lagi males aja. Abis, semalem aku kekenyangan gitu. Mia seneng dong?” Rayu Drue kemudian.


Mia tertawa kecil lagi. “Hahaha … Iya, dong. Ya udah, deh. Aku mau mandi pake bunga tujuh rupa dulu, ya. Biar bikin kamu seger, nantinya. Drue juga mandi yang bersih, yah? Jangan lupa sarapan! Daah, Drue …,” ujar Mia lalu mematikan teleponnya.


“Ya udah, deh. daah, Mia …” Mia pun tersenyum lebar sekali. Mungkin, punya pacar yang enaknya yang kayak begini. Hehehe … Gue harus cepet beres-beres. Biar nanti, pas Drue jemput gue, gue udah cantik, kata Mia dalam hatinya.


15 menit kemudian, jam 05.40. Tok … Tok … Tok … “Mia, cepetan lo mandinya. Gue mau mandi, tau. Kamar mandi satunya lagi dipake daddy. Ayo! Ayo!” Sahut Stephen, sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan penuh semangat.


“Iye, iye,” jawab Mia lalu cepat-cepat keluar kamar mandi dengan seragam lengkap, kemeja yang bagian lengannya agak membalon dengan ujung mengkerut dengan rok selutut bermotif catur hitam-putih.


Stephen manyun sejenak memandangi adiknya itu. “Dasar lo, mandi lama amat.”


“Biar cantik gitu, loh,” sahut Mia membela diri.


“Huuu!!!” Stephen lalu masuk ke kamar mandi.


Mom, sarapan apa nih?” Tanya Mia penasaran.


Sandwich tuh, ada kejunya, seladanya, tunanya, sama tomat. Oke? Tuh, sambel atau saos tomatnya, kamu kasih sendiri.” Mia pun manggut-manggut. “Kamu berangkat sama Drue, ya?”


“Iya,” jawab Mia singkat. Thanks God, Drue punya kesan baik di depan mommy and daddy. Walaupun sebenarnya, Drue anaknya bandel banget, ujar Mia dalam hati.


“Ya, udah. Kamu cepetan sarapannya.” Mia segera melahap sandwich buatan sang mommy—Tante Eva. Tante Eva kemudian beralih ke depan pintu kamar mandi. Tok … Tok … “Steph, come on. Masa kamu mandi kayak cewek begini, sih? Lama! Udah jam 6 sekarang, nak,” omel Tante Eva dari luar kamar mandi.


“Iya, mom. Lagi pake baju ini … Mia tuh, mandinya kelamaan,” gerutu Stephen dari dalam kamar mandi.


Mia yang melihat kakaknya diomelin pun cengar-cengir. Hahaha … Gue ketawa, puas. Kasihan juga kakak gue itu, pagi-pagi udah dimarahin. Seperti biasanya, dengan dasi abu-abu panjang, celana abu-abu, dan kemeja putih—seragam sekolah Stephen, ia masuk ke ruang makan. Dengan kedua tangannya, ia masih sibuk menata rambut messy look-nya.


“Ih, lo sih! Gue dimarahin, kan? Makanya, mandi jangan lama-lama.”, oceh Stephen lalu mencubit kedua pipi Mia yang chubby.


“Auuwww … Bodo, ah. Yang penting, gue terlihat cantik di depan Drue. Hahaha …,” kata Mia sambil mengelus-elus pipinya.


Whatever-lah,” sahut Stephen nggak peduli lalu cemberut.


“Eh, udah-udah. Stephen, kamu jangan gangguin adikmu lagi,” omel Tante Eva sekali lagi. Gotcha! Kasihan deh, lo! Kena telak, 2-0. Diomelin lagi, ledek Mia pada Stephen dalam hatinya.


“Uuurrrgghhh …” Stephen menggertakan giginya yang sempurna.


“Weeekkk …” MIa menjulurkan lidah dan kembali tertawa dalam hati.

Jam 06.25 …


Mia memasukkan bekal yang telah disiapkan Tante Eva sedari pagi. Satu botol susu pisang, sebuah botol air minum, dan nasi goreng sosis. “Hei, lo nanti mau dijemput nggak?” Tanya Stephen yang tiba-tiba menghampiri Mia, menyenggol tubuh kecil Mia, sementara ia menenteng backpack dengan bahu kanannya.


“Nggak usah. Paling, Drue mau jemput gue. Emang kenapa?” Tanya Mia heran.


Nothing. Setau gue, Drue nanti mau ke Insane Mania. Katanya sih, dia mau nitipin elo ke gue,” jawab Stephen santai.


Mia mengernyitkan dahi lalu mengangkat bahu. “Nggak tau, deh. Dia belom bilang ke gue.”

Ting … Tong … Bel rumah berbunyi, Mia berlari ke depan rumah, dan menjumpai Drue yang berada di depan rumah dengan motor sport hitamnya. “Mom, pergi dulu!!!” Teriak Mia tepat di depan pintu rumah.


Take care, dear,” jawab Tante Eva juga dengan teriakan.


“Hai …,” sapa Drue lalu menyerahkan helm kepada Mia.


“Hai. Drue, emangnya hari ini kamu mau ke Insane Mania? Kok nggak bilang-bilang ke Mia, sih? Stephen nanyain aku tadi, aku mau dijemput dia apa nggak.”


Tak lama kemudian, Stephen keluar dengan motor sport-nya yang juga berwarna hitam.

“Iya, Drue emang mau ke sana. Maaf ya., nggak bilang-bilang. Emang Mia mau ikut?” Drue tersenyum kecil.


“Kamu ngeledek? Aku nggak mau ikutlah…,” ujar Mia lalu cemberut. Drue hanya tertawa kecil menanggapi ucapan Mia. Ia tahu sekali bahwa Mia nggak akan pernah mau ke Insane Mania—Distro milik Abel sekaligus tempat tongkrongannya bersama Stephen dan teman-teman yang lain sejak kelas 3 SMP.


“Stephen, gue titip pacar gue, ya. Nanti lo jemput dia, oke?” Stephen yang sudah memakai helm menjawab Drue dengan acungan jempolnya.


“Berangkat, yuk,” ujar Mia yang sudah duduk di atas motor lalu memakai helm hitam mungilnya. Helm itu khusus dibeli Drue untuk Mia semenjak mereka masih dalam tahap PDKT alias pendekatan. Walaupun terdengar simple, itu salah satu hadiah termanis buat Mia dari Drue,


“Oke, deh,” sahutnya Drue setuju lalu langsung men-starter motornya. Mia pun langsung memeluk pinggang Drue dengan jari-jemarinya yang mungil. Drue pun langsung melaju.


Sepanjang perjalanan ke sekolah, Mia hanya diam seribu bahasa sambil memejamkan mata. Sekarang, gue cuma bisa mikirin Drue. Rasa sayang gue ke dia, mungkin gede banget. Tapi, kalo cinta? Gue cuma bisa mengangkat bahu karena gue nggak tahu apa arti cinta, batinnya pelan.


***


Mia sudah berada di depan sekolahnya—SMU St. Antonia. Ia melepaskan helm dan menyerahkannya ke Drue. “Drue, Mia sekolah dulu ya. Kamu take care, ya? Jangan lupa mam pas jam istirahat. Tha-tha.” Mia melambaikan tangannya.


“Tha-tha. Mia juga, ya.” Mia tersenyum tipis. Drue balas tersenyum dan langsung melaju dengan motornya.


“Mia!” Panggil Terry, sahabatnya sejak ia masih berada di bangku sekolah dasar. Mia berbalik dan menjumpai Terry yang tampil dengan dandanannya yang seperti biasa, rambut layer hitam kelam dengan poni samping dan kacamata frame setengah yang berwarna silver keabu-abuan.


“Hei, Ter. Ada apa?” Tanya Mia penasaran. Karena tak biasanya, Terry menemui Mia di koridor sekolah.


“Gue ketemu Dustin tadi. Gila, dia cakep banget!” Mia mengibaskan tangannya ke depan wajah Terry, tanda bahwa ia nggak peduli.


“Terry, ngapain sih lo jadi secret admirer-nya Dustin kayak begitu? Dia tuh hanya seorang ketua OSIS pendiem dan baik hati. Oke?”


Terry cemberut. “Emang, gue salah ya? Gue salah kalo naksir cowok? Dustin kan cowok yang baik dan gue suka sama dia.”


“Elo, cantik. Kenapa harus nyari cowok yang kayak begitu, sih?”, tanya Mia heran lalu mengerucutkan bibir.


“Cinta nggak akan pernah bisa memilih, say. Gue juga pengen naksir Channing Tatum kali, kalo dia tinggal di Indonesia,” canda Terry.


“Gue juga mau kaleee …,” sahut Mia lalu tertawa berbarengan.


“Drue mau dikemanain?” Tanya Terry menanggapi sahutan Mia.


Just kidding, right?” Terry lalu tertawa kecil. Ia dan Mia kemudian berjalan beriringan ke kelas.


Sebagai junior, mungkin agak mengerikan melihat senior-senior yang berkeliaran kian kemari. Tapi, Mia sama sekali nggak peduli. Kenapa? Ia sudah sangat akrab dengan para seniornya. Apalagi, mereka semua itu teman-temannya Stephen dan Drue. Benar-benar kebetulan sekaligus keuntungan yang cukup lumayan bagi Mia sendiri.


Mia tersenyum begitu melihat Renata, kakak kelasnya sekaligus kapten cheers di sekolah, di depan kelasnya, XII IPS 3. Walaupun ia kelihatannya agak jutek, Renata selalu baik sama Mia. Bahkan, Renata sudah menganggap Mia seperti adik sendiri.


Mia dan Terry masuk ke kelasnya, X-4. Nggak tahu memang kebetulan atau tidak, ia dan sahabatnya, Terry, selalu sekelas sejak SD. Itulah yang membuat mereka semakin dekat.


“Hai, Mia. Hai Terry,” sapa Katie cewek paling pintar di X-4.


“Hai, juga,” ujar Mia dan Terry kompak. Katie pun tersenyum tipis.


Mia pun langsung duduk bersama Terry. Terry, seperti biasa, mengeluarkan sisir dan menyisir rambut layer-nya.


Sahabat Mia ini kemudian memoleskan lip balm di bibirnya. Dilihat dari kebiasaan Mia dan Terry, mereka berdua adalah sepasang sahabat yang sama sekali berbeda. Mia nggak mungkin mau membeli dan memakai make up kit, walaupun hanya sesimpel lip balm. Ck ck ck … “Mia, gimana kabar cowok lo?” Tanya Terry tiba-tiba.


“Tumben banget, kok lo nanyain Drue? Dia baik-baik aja kali … Makin lucu dan bandel,” ujar Mia penuh semangat.


“Gila, ya! Elo masih aja mau pacaran sama cowok kayak begitu? Dia tuh anak black list banget,” kata Terry heran sambil mengernyitkan dahi. Sedari dulu pun Mia sudah tahu, banyak banget orang yang mengira Drue sebagai badboy dan cap negatif lainnya.


“Nggak apa-apa, kali. Dia nggak berbahaya sama sekali, buat gue. Mungkin, banyak yang belom lo tau soal dia, Ter. Dia itu cowok paling baik yang pernah gue temuin. Sopan banget, baik banget, dan gentle banget,” jawab Mia yakin.


“Iya, dah … Gue percaya sama lo,” jawab Terry sekenanya. Teeeet… Teeeet… Bel sekolah berbunyi dan percakapan Mia bareng Terry pun harus berakhir.


***


“Mia!” Renata yang sedang berjalan menuju ke kantin, menghampiri Mia dan Terry. Mia yang tengah membawa bekalnya pun langsung tersenyum dan menyapa Renata.


“Kenapa, Ren?” Tanya Mia begitu menyadari bahwa ia dipanggil oleh kakak kelasnya itu.


“Gimana kabar kakak lo, tuh? Stephen … Makin lama, dia makin cute aja.” Mia spontan tertawa mendengar kata-kata Renata.


Cute? Stephen? Come on! Are you kidding with me??? Hahahaha …” Renata langsung cemberut. “Iya, deh. Kakak gue baik-baik aja, kok. Nanti dia mau jemput gue gitu, deh. Soalnya, Drue ada urusan. Hehehe …” Mia nyengir.


“Ceileh … Gue tau, deh. Drue emang keren sedunia. Tapi, gue ngefans sama kakak lo. Bukan sama cowok lo,” kata Renata lalu ikutan nyengir.


“Lagian, kalo elo sampe demen sama cowok gue … gue gorok lo …,” canda Mia yang sok sadis.


“Kok gue dicuekin, sih?” Kata Terry tiba-tiba yang merasa tidak diajak ngobrol sama sekali.


“Hahaha …” Mia dan Renata hanya tertawa bersama menatap Terry.


“Kok ketawa, sih?” Tanya Terry lagi.


“Huahahahahahahaha …” Mia dan Renata kembali meledak dalam tawa. Selain Katie, ternyata sahabat Mia ini juga nggak kalah polos.


Mia, Renata, dan Terry kemudian berjalan beiringan bersama. “Mia, Terry, kalian ikut makan bareng gue aja, mau nggak? Ada Dustin juga loooh …,” ajak Renata begitu ketiga siswi SMU St. Antonia ini tiba di kantin.


Mia dan Terry saling pandang. Mata Terry masih berbinar-binar karena mendengar nama Dustin, kakak kelas yang ditaksirnya kini. Walau begitu, Mia menolak dengan halus ajakan Renata. “Sori nih, Ren. Bukannya apa, gue nggak enak sama lo dan yang lainnya. Gue kan masih junior.” Terry melotot mendengar jawaban Mia. Ia kecewa, karena kesempatannya untuk makan bareng Dustin telah lenyap.


“Nggak apa-apa lagi, Mi. Biar yang lain jadi pada kenal lo, gitu. Kan enak, kenal banyak kakak kelas. Jadi elo bakalan ada backing-an gitu,” ujar Renata berusaha mengajak Mia lagi.


“Udah, Mi. Kita ikut aja, yuk. Iseng-iseng, oke?” Terry memandang Mia dengan wajah memelas.


“Oke, deh,” jawab Mia setuju.


“Teman-teman, ini Mia pacarnya Drue dan ini Terry, temennya Mia,” kata Renata pada teman-temannya.


“Hai, Mia!!! Hai, Terry!!!” Sapa semua senior yang begitu kompak menyambut dua junior mereka.


Mia dan Terry pun hanya membalas sapaan senior-seniornya dengan senyum, lalu ikut duduk bersama mereka. Ada 4 orang senior di sana, Renata, Owen, Dustin, dan Edrick.


“Jadi, elo ceweknya Drue kan?” Tanya Owen yang dikenal sebagai senior yang paling murah senyum di St. Antonia sekaligus vokalis band Being Guilty—band kebanggaan sekolah mereka.


“Iya.” Mia mengangguk pelan.


“Hahaha … Drue jadi anteng abis jadian sama lo, tuh. Dulu kan dia playboy banget. Emangnya, elo udah jadian berapa lama sama dia?” Tanya Owen lagi.


“Udah 2 bulan gitu,” kata Mia malu-malu.


“Setahun, ya?” Mia mengangguk lagi.


“Amiiinnn …,” ujar semuanya berbarengan.


Mia melirik ke arah Terry yang sedang asyik ngobrol dengan Dustin, senior favoitnya itu. Hahaha, dasar lo Ter! Kesenengan deh pasti, ujar Mia geli dalam hati.


“Oh iya, si Stephen gimana kabarnya? Abang lo, kan? Renata ngefans berat, tuh.” Semuanya tertawa mendengar ucapan Edrick. Walaupun Renata cewek sendiri, di antara ketiga cowok ini, nampaknya mereka sudah akrab dan nggak canggung satu sama lain.


Fine. Nanti dia daring jemput gue, loh. Si Renata kayaknya nanti mau minta tanda tangan plus foto bareng,” canda Mia lalu melirik Renata yang langsung memicingkan mata mendengar ucapan juniornya itu.


“Iiih, Mia! Gue nggak segitunya kali, “ protes Renata begitu Mia selesai berbicara.


“Terus, kalo si Drue gimana kabarnya? Gue udah lama kagak nongkrong sama die, tuh,” kata Dustin yang ternyata nggak kalah ramah.


“Baik banget, kok. Lain kali, gue ajak dia masuk deh. Biar bisa ketemu kalian semua. Oke???”


“Siiip!!!” Jawab keempat seniornya kompak.


***


Jam sekolah sudah berakhir. Mia pun berjalan keluar lewat gerbang sekolah, ia sama sekali nggak nyangka banget bahwa ia akan melihat sosok kakak semata wayangnya tengah bertengger di atas motor persis di depan sekolah. “Stephen!” Panggil Mia setengah berteriak dan langsung berlari menghampiri kakaknya.


Stephen tersentak begitu mendengar suara Mia. Sepertinya, suara Mia cukup membuyarkan lamunannya. “Oi, my sista,” sapa Stephen dengan suara yang terdengar kurang bersemangat.


“Hai juga. Kok elo lesu gitu sih, mas? Mau masuk dulu nggak? Ada Renata, Edrick, Dustin, sama Owen, tuh!”


“Ah, nggak ah. Rada males gitu gue, nih. Balik yuk, cepetan.” Mia pun langsung duduk di atas motor begitu mendengar jawaban Stephen. Stephen hari itu kurang bersemangat dan Mia nggak mau membuat kakaknya semakin lesu. Mia kemudian memeluk pinggang kakanya sepanjang perjalanan hingga akhirnya mereka tiba di rumah. Mia terlihat nyaman sekali setelah memeluk pinggang kakaknya sepanjang perjalanan. Tubuh seorang kakak mungkin memang terasa hangat bagi seorang adik kecil seperti Mia.


Setelah sampai di rumah, Mia pun langsung turun dari motor Stephen. “Steph, thanks yah, elo udah mau jemput gue. Hehehe …”


“Sama-sama, udah kewajiban kali. Sebagai kakak lo dan sobatnya cowok lo.” Mia tersenyum tipis dan bergegas masuk ke rumah.


Begitu Mia berada di dalam kamar, ia langsung berinisiatif untuk menelepon pacarnya. Tuut … Tuut … Tuut … Kok nggak diangkat, sih? Tanya Mia dalam hati. Tuut … Tuut … Tuut … Tuut … “Halo, Drue. Kangen nih Mia sama Drue …,” cerocos Mia langsung begitu Drue mengangkat telepon.


“Sori, babe. Drue lagi ada urusan. Jam 5 sore nanti, Drue telepon, deh. Janji. Oke?” Ujar Drue dengan suara tersengal-sengal.


“Oke, deh. Take care, Drue.” Telepon terputus. “Duh, Drue kenapa ya? Gue bener-bener khawatir sama dia. Jangan-jangan … Stop! Stop! Stop pikiran jelek!!! Dia bakalan baik-baik aja,” kata Mia pada dirinya sendiri.


Mia berlari keluar kamar dan langsung nyelonong masuk ke kamar Stephen. Mia begitu kaget saat melihat kakaknya tengah bertelanjang dada dnegan bawahan celana basket saja. Oh my, God!!! Mia spontan menutup matanya. “Ya ampun, Mia! Kenapa, lo? Bentar-bentar …” Stephen segera mencari kaos oblong untuk membalut tubuhnya yang atletis itu begitu menyadari Mia shock melihatnya bertelanjang dada. “Oke, gue udah nggak bugil lagi sekarang. Jadi, kenapa?”


Mia benar-benar nggak bisa tertawa sekarang. Yang tengah ia pikirkan sekarang hanya Drue seorang! “Steph, Drue Steph … Drue … Elo tau kan dia di mana? Anterin gue ke sana, sekarang,” kata Mia terbata-bata.


“Gue nggak bisa, Mia. Dia tuh lagi ribut sama orang. Lagi ada masalah. Kalo elo ke sana, nanti lo bisa kenapa-napa.,” ujar Stephen dengan nada dingin.


“Kenapa, Steph? Lebih baik gue yang kenapa-napa, daripada dia. Gue nggak mau Drue jadi makin berandalan dan bandel. Oke? Gue bener-bener khawatir sama dia, kak. Please …” Untuk pertama kalinya, Mia memanggil Stephen dengan sebutan kakak.


“Gue ngerti banget! Tapi, lo itu adik gue! Iya, kan? Jadi, untuk sekali ini aja turutin gue. Gue janji, nggak bakal ngelarang lo lagi. Ini semua buat kebaikan lo, Mia.” Stephen menghela napas panjang.


“Iya, Stephen. Gue turutin lo.” Mia memeluk Stephen dengan begitu erat dan menangis di dada Stephen. Stephen mengelus-elus rambut Mia perlahan, berusaha menenangkan adiknya.


“Lo harus doain Drue, biar dia nggak kenapa-napa. Elo kan tau banget, cowok lo itu gentle abis. Drue jago berantem. Dia pasti bisa ngelewatin itu semua, deh,” ucap Stephen berusaha meyakinkan Mia.


“Gue tau, kok. Dia kan cowok gue yang paling hebat.” Mia melepaskan pelukannya dari tubuh Stephen dan langsung duduk santai di ranjang kakaknya. “Tapi, gue mau tau deh. Sebenernya, Drue itu berantem kenapa sih?” Mia mengusap-usap air mata yang masih tersisa.


“Mau tau, ya?” Mia mengangguk. “Jadi, ada anak baru di tempat tongkrongannya gitu. Anak mana, gitu … Gue sih nggak kenal sama tuh bocah. Tapi, katanya nyolotin banget. Suka nantangin Drue melulu lagi. Amit-amit gue, sih,” cerita Stephen pendek sempit. Hehehe … kebalikannya panjang lebar.


“Cuma gara-gara itu, Steph?” Tanya Mia heran.


“Nggak juga sih. Setau gue, itu orang bawa temen-temennya juga. Jadi, hari ini ribut gitu,” jawab Stephen santai.


“Gelo! Gelo banget! Gue nggak mau sampe Drue kenapa-napa, duh …”


“Makanya, doain tuh cowok lo …” Mia pun tertidur.


***


Mia kaget sekali, begitu menyadari bahwa ia tengah berada di kamarnya sendiri saat ia membuka mata. Padahal, tadi ia tengah berada di kamar Stephen. Pasti, tadi Stephen ngegendong gue, deh. Steph, makasih banget ya, elo emang kakak terbaik gue, batin Mia. “You’re a part time lover and a full time friend. The monkey on your back is the latest trend. I don’t see what anyone can see, in anyone else. But you …” Lagu Anyone Else But You-nya The Moldy Peaches bergema di kamar kecil Mia. Ringtone handphone-nya berbunyi, tanda ada panggilan masuk.


“Halo …,” kata Mia bersuara.


“Mia, Drue nih. Mia lagi ngapain? Sori, tadi Drue nggak bisa ngobrol sama Mia,” ucap Drue di seberang sana dengan penuh maaf.


“Drue boong, kan? Ngaku aja, deh. Drue boleh berantem sepuasnya, kalo Drue udah nggak sayang lagi sama Mia. Mia ngebolehin Drue berantem, kok. Tapi, jangan pake ngeboongin Mia begitu. Mia paling nggak suka, deh. Kenapa sih, Drue?” Kata Mia dingin.


“Apa? Mia, dengerin Drue dulu deh. Drue juga nggak mau berantem sebenernya. Tapi, ada yang nyari masalah duluan,” jawab Drue terbata-bata.


“Terserah Drue aja, deh. Mia capek.” Mia memutuskan sambungan telepon dan langsung menangis tertahan.


Drue itu emang bukan cowok baik-baik, bisa dibilang berandalan. Dia juga ngerokok. Tapi, gue udah terlanjur sayang sama dia. Nggak tau kenapa, ya? Dia tuh bener-bener bisa memperlakukan aku dengan baik. I feel like I’m a little princess whenever I’m with him. Gue seneng banget, udah bisa punya pacar kayak dia. Gue ngerasa beruntung. Tapi, gue bener-bener belom bisa menyesuaikan diri sama lingkungannya. Gayanya, tingkah lakunya. Kalo aja, mommy and daddy tahu siapa Drue yang sebenernya—nggak mungkin mereka mau terima. Dia yang tukang berantem, dia yang iseng banget, dan dia yang bahkan keras kepala. Gue juga nggak kalah keras kepala, makanya kalo sekali ribut, bisa ribut banget—sampe kayak begini. Hhhh … Bikin stress. Nyebelin. Gue capek. Tapi, gue sayang sama dia.



1st Chapter by Josefine Yaputri

No comments: