I
Jam 10:45 AM pesawat Air France-ku akan segera mendarat, sekitar lima belas menit lagi dan pramugari sudah mengingatkan kami untuk bersiap. Pram akan menjemputku di Charles de Gaulle Airport. Rasanya ingin segera keluar dari sesaknya penerbangan ini. Perusahaan sulit untuk memberikan tiket first class untukku. Dapat tiket kelas ekonomi pun harusnya sudah bersyukur. Mengingat betapa padat penerbangan menuju Paris dari Changi International Airport tadi.
Kepergianku adalah untuk meliput kunjungan Presiden RI. Dalam rangka pertemuannya dengan Perdana Menteri Perancis untuk membicarakan kerjasama bilateral. Dewan Redaksi menganggap akulah yang sanggup untuk melakukannya. Kepergianku harusnya dibarengi dengan seorang rekan fotografer, namun ia mendadak sakit dan akan menyusulku datang ke Perancis pada hari kedua pertemuan itu. Maka aku pun berangkat sendiri.
Pramudya kebetulan sedang ada tugas dari perusahaannya di sana. Rasanya bahagia sekali ia bisa meluangkan waktunya untuk menjemput aku. Ditambah sudah hampir setengah tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. Sejak perpisahan kami dulu.
Ia berdiri persis beberapa meter di hadapanku. Dengan jaket coklat panjang, dan syal yang melilit lehernya. Kentara sekali di luar sana cuaca dingin. Aku memasukkan sebelah tanganku ke dalam saku jaket, lalu mendorong trolley-ku ke arahnya. Ia tersenyum, masih sama seperti senyumnya yang dulu.
“Sudah menunggu lama?,” aku melemparkan senyum terbaikku padanya.
“Mmm...lumayan. Gimana penerbangannya?, lancar?,” sebelah tangannya meraih pegangan trolley-ku dan membantuku menariknya. Ia menghembuskan nafasnya.
Aku mengangguk. Ada kecanggungan dalam nada bicaranya. Ia menyembunyikan sesuatu, aku hapal dengan setiap intonasinya. Hampir delapan tahun kami mengenal satu sama lain, dan aku tak perlu bertanya untuk mengetahui ada sesuatu yang lain di dirinya.
”Ibumu sehat kan Al?,” tiba-tiba ia mengingat Ibuku.
Aku mengangguk. Rasanya tidak aneh kalau ia begitu perhatian pada Ibu. Selama ini ia memang selalu dekat dengan ibuku. Itu yang membuat perpisahan kami terasa berat.
”Kita naik mobilku. Barang bawaanmu sepertinya banyak juga. Lama di Paris?,” ia meraih koper besarku dengan satu tangannya dan memasukkannya ke bagasi mobil Peugeot Silver yang terparkir di luar bandara.
”Seminggu, sekaligus liburan. Setahun ini aku belum sama sekali dapat cuti,” ujarku sambil melilitkan syal di leherku lebih kencang. Aku memperhatikan mobil silver di sebelahku.
”Mobil perusahaan. Fasilitas selama aku disini,” jawabnya tanpa aku tanya. Lalu ia membukakan pintu mobil itu untukku. Ia sangat cekatan.
”Hebat. Selamat ya, karir kamu cukup pesat juga di perusahaan IT itu,” aku membuatnya terdengar sangat tulus. Ada kepahitan di ujung kalimatku. Sambil duduk di dalam mobil aku memerhatikan ia mengecek bagasinya yang sudah terkunci.
Setengah tahun yang lalu aku berpisah dengan Pramudya, dengan alasan kami sama-sama sibuk. Ia tengah menapaki karirnya sebagai seorang konsultan IT di perusahaan Telekomunikasi di Paris. Saat itu juga aku tengah dalam masa promosiku menjadi chief editor majalah yang sekarang mempekerjakan aku. Sebuah majalah terkenal di Indonesia. Keputusan itu sebetulnya terucap dari mulutnya lebih dulu. Aku menyepakatinya. Ia bilang bahwa hubungan jarak jauh dengan kondisi kita yang sama-sama sibuk tidak akan berjalan dengan baik. Bahkan jika salah satu dari kita mengalah pun akhirnya kita akan saling menyalahkan. Maka aku sepakat untuk berpisah darinya setelah delapan tahun masa pacaran kami. Semuanya tetap berjalan seperti biasa karena kita masih saling berkomunikasi.
Dua hari yang lalu, aku menghubungi Pramudya untuk menjemputku di Charles de Gaulle. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagiaku untuk bertemu dengannya. Kembali merasakan kedekatanku secara fisik dengannya, yang rasanya sudah lama sekali sulit aku bayangkan. Aku memendam rasa rindu itu jauh sebelum majalah menugaskan aku datang kesini.
”Kamu menginap di Concorde La Fayette kan?,” ia memastikan lalu memutar arah kemudinya ke sebuah hotel di daerah Champs Elysees yang menjadi pusat mode di Paris.
Aku mengangguk dan mengeluarkan undangan khusus wartawan untuk pertemuanku dengan orang-orang dari Kedubes RI di Perancis. Ia memandangku, ada tatapan kekaguman yang tiba-tiba terbersit dari wajahnya.
”Ada apa?,” alisku mengernyit melihat ekspresi di wajahnya. Ia tersenyum dan memiringkan kepalanya memandangku.
”Kamu juga hebat. Dalam waktu enam bulan kamu bisa meliput kunjungan sepenting ini,” ia menunjukkan rasa kagumnya sambil terus memandangiku.
Aku mulai risih dengan tatapannya. Aku yakin sekali pipiku sekarang berwarna merah.
”Aku nggak salah melepaskanmu untuk sesuatu yang sangat kamu inginkan,” tiba-tiba ia mengucapkan sesuatu yang membuat aku gelisah.
”Maksudmu?”
”Aku yakin kamu akan berhasil dengan mimpimu”
”Yeah, kamu juga,” hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku menunduk menyembunyikan ekspresi kurang setuju dari wajahku.
”Kita turun kan?,” satu menit kemudian aku tersadar kita tengah di pelataran parkir hotel yang tidak terlalu besar.
Ia bergegas keluar dan membukakan pintuku. Lalu mengeluarkan koper besar dari bagasinya. Mengantarku check-in di front-office dengan menggunakan bahasa Perancis yang cukup lancar.
Rasanya malu sekali membawa barang sebanyak itu. Sejak dari Jakarta kemarin, Ibu terus mengingatkan aku untuk membawa berbagai macam persiapan. Ia tidak mau nanti aku meneleponnya dan mengeluhkan berbagai hal yang tidak bisa aku antisipasi sebelumnya. Dari mulai minyak angin, minuman pengusir masuk angin, sampai beberapa helai baju hangat yang rasanya sangat berlebihan aku bawa untuk kunjunganku yang hanya satu minggu. Tapi Ibu mengetahuinya lebih daripada aku sendiri. Yang ia mau segala sesuatunya berjalan dengan lancar, hingga aku tidak perlu mengeluhkan hal-hal kecil yang sebetulnya bisa atasi. Aaah Ibu, belum-belum aku sudah kangen.
”Kamu mau mampir dulu ke atas?,” aku mencoba menawarkan pada Pram
Ia mengernyitkan dahinya, tersenyum lalu menggeleng.
Oh God!, ia pasti menyangka aku menawarkan yang bukan-bukan.
”Maksudku...kamu bisa...istirahat, atau...,” ucapku gelagapan.
Pram tersenyum. Ia memberikan kunci kamar dari perempuan resepsionis tadi kepadaku.
”Aku harus kembali ke kantor, tapi aku pasti menghubungi,” ia menjawab dengan nada yang lembut.
”Oh, ok. Terima kasih,” aku menjawab pelan.
Aku menatap punggungnya hingga ia berlalu. Aaah, selalu merasa ditinggalkan olehnya. Dan aku benci perasaan itu.
Satu jam berlalu begitu saja, karena sibuk mengeluarkan isi koper yang seperti memindahkan isi lemari ke dalamnya. Mencari-cari gaun malam warna hitam yang akan aku kenakan nanti malam untuk pertemuan itu.
Aku harus mengumpulkan beberapa materi pertanyaan untuk wawancaraku dengan kedubes RI nanti malam. Kebetulan liputanku mengarah pada hasil pembicaraan Presiden RI dengan Perdana Menteri Perancis, mengenai nota kerjasama perekonomian Indonesia-Perancis yang akan ditandatangani Presiden besok malam. Arrrgh...rasanya akan lebih baik kalau bukan aku sendiri yang membuat konsep ini. Tidak ada kawan yang bisa aku ajak diskusi. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari Ibu.
”Alya, kamu sudah sampai? Kok nggak telepon ibu?,” sebelum aku mengucap halo ibu sudah memberondongku pertanyaan.
”Halo Bu, yaa aku sudah sampai. Tadi Pram yang jemput,” dari seberang sana suara ibu masih terdengar khawatir.
”Pram? Kamu ketemu dia?”
”Ya,” aku menjawab pendek. Bisa aku bayangkan raut penasaran di wajahnya.
”Dia tanya kabar Ibu?,” pertanyaannya membuat aku mengernyitkan dahi. Bagaimana ibu bisa tahu?.
”Al...”
”Ya bu, dia tanya kabar ibu,” aku meyakinkannya.
”Pram kelihatan sehat kan Al?,” pertanyaannya membuatku sedih. Jelas ia masih membutuhkan Pram hampir sama seperti aku membutuhkan laki-laki itu. Aku tidak memungkirinya. Hari ini setelah lama tidak bertemu, perasaan itu muncul lagi. Rasanya nyaman bisa melihat ia baik-baik saja di negara ini.
”Kapan kamu menghadiri acara pertemuannya Al?”
”Aku mungkin tidak hadir di pertemuan itu bu. Itu kan acara resmi kenegaraan, dan tertutup untuk Pers. Mungkin aku akan ketemu orang-orang Kedubes RI nanti malam,” aku menjelaskan pada ibu. Di seberang sana ibu sepertinya mendengarkanku dengan khawatir.
”Tapi kamu tidak berangkat sendiri kan?,” ibu memang khawatir karena aku melakukan segalanya sendiri.
”Aku punya teman-teman pers yang lainnya bu. Ibu jangan khawatir. Ini kan bukan perjalanan pertamaku,” aku mencoba mengenyahkan kekhawatirannya.
”Sejak malam ibu ingat terus sama kamu Al,” kata-katanya berusaha terdengar wajar.
”Buu...please, aku nggak bakalan apa-apa. Ibu percaya sama aku. Do’akan aja aku disini baik-baik aja. Dan sepertinya aku bakalan betah di sini bu,” aku malah menggodanya.
Ibu cuma tertawa kecil. Desahan nafasnya terdengar lebih teratur. Mungkin ia mencoba menahan kekhawatirannya.
”Kamu akan sering ketemu Pram, Al?,” ia tiba-tiba bertanya. Aku sulit menjawabnya.
Aku hanya diam. Mengambil nafas teratur, berusaha terdengar wajar. Hal itu juga yang menggangguku. Sebetulnya aku berharap bisa sesering mungkin bertemu.
”Al, coba untuk tidak memaksakan keadaan ya sayang,” ibu memang sangat memahamiku. Ia tahu persis apa yang ada dalam pikiranku
”Ya. Aku tahu posisiku sekarang bu,” rasanya kata-kata itu sama sekali bukan yang terbersit di pikiranku. Aku hanya berusaha membuatnya lebih tenang, dan tidak mengkhawatirkan keadaan aku.
”Bu, aku harus bersiap untuk nanti malam...,” aku mencoba memutuskan pembicaraan kami. Tentu masih banyak yang ingin ia bicarakan. Tapi aku tidak mau ia semakin khawatir mendengar nada bicaraku yang sudah tidak bisa dibuat-buat lagi.
Setelah menutup ponsel, aku merebahkan tubuhku di kasur king size di hadapanku. Rasanya empuk. Lalu berdiri memandang jendela kamar hotel yang menghadap ke Avenue de la Grande Armee, daerah di sekitar hotel tempat gedung-gedung perkantoran berjejer sepanjang jalan menuju Champs Elysees. Kebanyakan didominasi perusahaan otomotif. Ini bukan pertama kalinya aku datang ke Paris. Dulu almarhum ayahku pernah mengajak kami sekeluarga berlibur ke Paris. Ayahku dulu pernah kuliah filsafat di Sorbonne. Beliau adalah seorang Guru Besar Filsafat di Universtas Indonesia, Jakarta. Beliau meninggal ketika aku berumur tiga belas tahun. Ibuku mengurusku sendiri setelah itu. Ia memutuskan untuk tidak menikah lagi, hidupnya diabdikan untuk mengurusku.
Ponselku berbunyi lagi. Lamunanku buyar.
”Halo...”
Diseberang sana terdengar nafas berat seorang laki-laki. Aku hapal tarikan nafas ini.
”Alya...,” ya, tebakanku tidak salah. Ini suara Pram.
”Ya”
”Nanti malam kamu ada acara?,” tanyanya tiba-tiba. Suaranya hangat di telingaku.
“Eh..mmmh, nanti malam aku harus menghadiri pertemuan dengan orang dari Kedubes RI,” jawabku agak terbata-bata.
“Maksudku itu. Mmm, kamu nggak sendiri kan?,” tanyanya tulus.
“Tadinya aku mau menghubungi temanku yang sudah lebih dulu di sini,” aku menjawabnya agak ragu-ragu.
“Bagaimana kalau...aku yang mengantar,” ia menawarkan.
”Oh...boleh, kalau kamu nggak keberatan,” aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku.
”Tentu. Kan aku yang menawarkan,” lalu beberapa detik ia seperti berpikir. ” Setelah itu kita bisa jalan kan?”
Aku menggigit bibirku. Konsentrasi yang aku himpun untuk membuat konsep liputan pertamaku sepertinya lenyap ditelan bumi.
”Al...kamu ada waktu buat aku kan?,” ia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang membuatku merasa mulas.
”Ya...aku usahakan,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Segalak apapun aku dihadapan anak buah reporterku. Aku tetap manusia dengan pengharapan yang sama seperti orang lain. Berharap punya akhir bahagia sama seperti orang lain. Berharap memiliki sesuatu yang harusnya aku perjuangkan dari enam bulan yang lalu. Harapan itu muncul lagi. Aku belum betul-betul kehilangannya.
”Ok, kalau gitu nanti aku jemput jam tujuh malam. Acaranya jam setengah delapan malam kan?,” ia mencoba mengingat jadwal pertemuanku.
”Dari hotel nggak jauh kan?,” aku balik bertanya.
”Sekitar sepuluh menit. Kita bahkan bisa jalan kaki kalau kamu mau,” ia kembali menawarkan sesuatu yang menggiurkan.
”Ya,” tanpa sadar aku mengangguk. Rasanya ia seperti berdiri di hadapanku.
Setelah ponselku terputus. Selama hampir lima belas menit aku hanya memandang jalanan di bawah jendela kamarku.
***********
Ia berdiri di lobby hotel mengenakan sweater abu-abu muda dengan leher berbentuk V, kerah kemeja putihnya mencuat keluar. Mungkin di masa-masa SMA dulu adegan seperti ini hanya akan aku bayangkan dari koleksi manga favoritku saja. Malam ini semuanya nyata di hadapanku. Laki-laki yang sudah lama tidak aku temui, kerinduan, harapan, dan semua akan yang kita lalui berdua.
Karena kebetulan malam ini adalah acara makan malam. Aku mengenakan gaun minimalis yang sedikit resmi berwarna hitam, menutupinya dengan mantel musim dinginku yang panjang.
“Alya,” ia meraih tanganku. Menyalaminya dengan kaku.
“Sudah lama menunggu?,” tanyaku sambil memperhatikan pakaiannya yang rapi. Seleranya semakin baik sejak ia tinggal di kota mode ini.
Ia menggeleng lalu berjalan di sebelahku.
”Kamu nggak akan kedinginan?. Malam ini dingin lho,” ia memandang tubuhku yang dibalut mantel yang tidak terlalu tebal.
”Cukup hangat,” jawabku singkat.
Ia meraih sikuku dan mempersilahkan aku untuk berjalan bersisian dengannya.
”Nggak jauh kok,” ia menunjuk satu gedung setelah kami keluar dari gedung hotel. Menunjuk ke arah Grande Arche de la Défense, tempat beberapa restaurant dan galeri seni berjejer di monumen arsitektural yang indah.
Kami lalu berjalan. Diam. Meresapi hawa malam yang dingin.
************************
Mereka bertiga. Sudah hadir di restaurant itu sejak sepuluh menit yang lalu. Mereka mengenaliku begitu aku menghampiri.
”Oh...Miss Ramalya Madrima. Dari Majalah Detik Indonesia kan?,” salah seorang laki-laki berwajah indo menyalamiku.
”Ya. Dan anda...,” aku mengulurkan tanganku. Menjabat tangan mereka satu persatu dengan formal.
”Saya Thomas Poirtier, juru bicara Kedubes RI di sini. Dan ini Alwan Syihad dari Majalah Bisnis Malaysia. Yang ini Sekretaris Bidang Diplomasi Kedubes RI, Ryan Mochtar,” suara laki-laki jangkung berhidung mancung itu sangat ramah. Dia tidak bisa menghilangkan cadel logat perancis dari kata-katanya.
”Anda datang sendiri Miss Ramalya?,” orang dari Majalah Malaysia itu bertanya. Dalam hati aku tidak tahu kenapa Pers Malaysia malam ini pun hadir.
”Saya diantar seorang teman tadi. Kebetulan dia ada keperluan. Rekan fotografer saya baru bisa datang besok,” aku menjelaskan sambil mengambil posisi duduk yang enak.
Restaurant itu bergaya Eropa kuno. Langit-langitnya tinggi, persis di atas langit-langit terdapat lukisan Renaissance dengan lampu kristal berjuntai hingga ke bawah. Mungkin ini salah satu restaurant terkenal dan mewah di kota Paris.
”Mungkin kita bisa langsung ke materi wawancara mister Poirtier?,” ujarku ramah sambil bertukar pandang berkeliling ke arah mereka. Aku megeluarkan organizer dan recorder dari tas tangan hitamku.
”Ya, baik. Mungkin anda bisa mendapatkan sedikit privillege untuk bisa hadir di temu pers besok malam Miss Ramalya,” Mister Poirtier memberikan pertimbanganya untukku.
”Oh ya, saya pikir acara besok malam khusus untuk utusan kenegaraan saja. Kalau besok malam saya diperbolehkan, tentu saya mau hadir di acara itu,” aku lekas menjawab kemungkinan yang ada. Aku tidak mau melewatkan kesempatan apapun untuk mendapatkan berita yang lebih utuh mengenai pertemuan Presiden besok malam.
”Ya, tentu saja. Saya bisa bicara langsung dengan Mister Dubes nanti. Anda datang saja besok Miss Ramalya. Kehadiran media anda juga pasti sesuatu yang dinanti oleh orang-orang besok,” Mister Poirtier terdengar sedikit memuji.
Aku tersenyum. Ternyata semuanya berjalan cukup mudah. Dan besok tentu saja aku tidak harus hadir sendiri. Andra bisa menemaniku. Malam ini pun mungkin ia sudah terbang ke sini.
Selama ini aku ditemani seorang fotografer bernama Fandi, tapi hasil rapat redaksi beberapa minggu yang lalu. Andralah yang dipilih untuk menemaniku, dengan pertimbangan ini tugas perdanya meliput masalah politik luar negeri. Selama ini ia dikenal sebagai fotografer liputan daerah rawan konflik.
Setelah kami membicarakan masalah yang akan dibicarakan besok oleh Presiden dan Perdana Menteri Perancis. Kami pun bersantap malam. Aku hanya menyantapnya sedikit sekali. Teringat Pram yang tengah menungguku di sebuah boppio . Mungkin aku sudah terlalu lama meninggalkannya. Lalu pertemuan selesai tepat pukul 21:00 PM. Aku bergegas berpamitan dan setengah berlari mencari Pram di sepanjang Champs Elysees. Seperti Pram bilang, udara malam ini memang sangat dingin.
Aku merapatkan jaketku. Melempar pandanganku ke beberapa boppio yang ada di sekitar jalan yang aku lewati. Ia duduk di sana dengan tangan masuk ke saku celananya, menyesap minumannya sedikit demi sedikit.
”Hai...lama ya?,” aku mengejutkannya.
”Lumayan. Kamu mau latte Al?,” ia menawariku minuman kopi.
Aku mengangguk, lalu memesan satu cangkir lagi Vanilla Latte pada pemilik kedai kopi.
”Gimana tadi pertemuannya?,” ia tidak tampak menyesal telah menungguku lama disini.
”Guess what?!, besok aku bisa hadir di acara pertemuan bilateral itu. Khusus sebagai undangan Dubes RI,” ujarku berapi-api.
”Wow, congratulation. Jadi malam ini kita bisa merayakannya,” ia menawarkan sambil tersenyum memiringkan kepalanya. Senyum manisnya yang kedua selama hari ini.
”Ok, kita mau kemana malam ini?”
”Mungkin kamu pernah mendatangi tempat itu. Tapi kamu pasti belum pernah datang di malam hari,” ia menggodaku dengan tawarannya.
Aku mengernyitkan dahi. ”Kemana?,” tanyaku penasaran.
Ia lalu sedikit berbisik di telingaku, geli.
”Kamu belum pernah lihat Seine di malam hari kan?, kita akan naik ke atas Arc de Triomphe sambil melihat sungai Seine di waktu malam”.
”Sound interesting!,” jawabku sambil menyipitkan mata. Kami tertawa. Menghabiskan sisa Vanilla Latte kami lalu berangkat menuju pelataran halaman Arc de Triomphe yang masih sedikit ramai.
Karena sudah malam, kami tidak diperkenankan untuk naik ke atas Arc de Triomphe. Akhirnya kami berjalan menyusuri sungai seine di sepanjang jembatan Pont Neuf. Jembatan ini adalah jembatan tertua di Paris. Konon dibangun oleh seorang arsitek Perancis ternama, Jacqoues Androuet de Cerceau. Ia juga yang membangun The Louvre dan bangunan-bangunan kuno terkenal lainnya di kota Paris.
Ketika aku menikmati pemandangan malam sungai seine, yang ternyata sangat indah. Pram tiba-tiba berhenti dan melempar pandangannya ke arah sungai.
Aku ikut berhenti dan memperhatikan raut wajahnya. Ada kebimbangan yang tergambar di wajah Pram.
”Ada apa Pram?,” aku mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa kaku. Sepuluh menit yang lalu kami masih tertawa mengingat cerita-cerita lucu kita dulu.
Ia menggeleng lalu menatapku.
”Kamu bahagia Al?,” tanyanya tiba-tiba sambil memandangku.
”Aku?. Maksudmu sekarang?,” aku mencoba menebak maksud pertanyaannya.
Ia menghela nafas. ”Sejak kita pisah. Kamu tetap bahagia kan Al?,” ia masih menatapku.
Aku menunduk, lalu melempar pandangku ke arah sungai. Aku tidak tahu apakah nada bicaraku akan terdengar meyakinkan.
”Everythings happen just the way it is,” aku lalu tersenyum. Menutupi hatiku yang berkata sebaliknya. Apakah aku memungkirinya?, bahwa aku masih membutuhkan ia di sisiku.
Pram lalu memandangku, mencoba mencari apakah ada yang aku sembunyikan darinya. Dan ia membalasku tersenyum.
“Syukurlah kalau semuanya baik-baik saja. Sejujurnya, aku banyak mengkhawatirkan kamu belakangan ini ,” ia lalu menatapku khawatir.
“Kenapa?”
Ia menggeleng,” Konyol memang. Aku khawatir dengan keselamatan dan kesehatan kamu,” suaranya memelan.
Aku menatapnya ragu-ragu. Ia memalingkan wajahnya dari pandanganku.
“Aku…nggak tahu harus bilang apa. Tapi…apa yang harus kamu khawatirkan?,” kata-kataku terputus-putus.
Ia menggeleng lagi. Seperti menahan sesuatu di kerongkongannya.
”Pram, please. Aku nggak paham maksud kamu?,” ujarku merajuk padanya.
”Al, aku tahu siapa kamu. Kamu nggak akan berhenti di sini kan?. Kamu akan terus mengejar mimpi kamu, jauh melebihi apa yang sudah kamu raih sekarang”, ia menunggu reaksiku.
Aku mengernyitkan dahi, memiringkan kepalaku menatapnya.
”Aku nggak punya kapasitas apapun untuk melarang kamu mengejar mimpi. Dan jujur, aku bahagia selama kamu bahagia,” ia menatapku lekat-lekat. Lalu meraih tanganku, menggenggamnya dalam satu tangannya.
Aku masih membisu. Membiarkan tanganku yang kedinginan ia remas.
“Maksudku...aku khawatir dengan ambisi kamu. Yang mungkin bisa saja...membahayakanmu,” kedua tangannya menggenggam tanganku.
”Kekhawatiran kamu nggak beralasan Pram,” ucapku setelah mencerna semua yang ia katakan. Aku menarik tanganku dari genggamannya, tanpa bermaksud membuatnya tersinggung.
Ia membalikkan bahuku ke arahnya.
”Alya, aku tahu ini dunia kamu. Tapi apa kamu mau janji untuk tidak membahayakan diri kamu sendiri,” ia menggoyangkan tubuhku pelan. Matanya terus menatapku.
Aku menggeleng, mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
”Kamu nggak bisa janji kan Al...aku tahu. Dan semakin berbahaya situasinya nanti, kamu akan terus berharap untuk menerjunkan diri. Iya kan?,” ia terus mengatakan hal itu, yang membuat perutku mulas.
”Please Pram, aku nggak mau berdebat sama kamu,” pintaku setengah memohon padanya.
Ia melepas tangannya dari bahuku. Menghadapkan tubuhnya ke arah sungai, meremas tepian jembatan dengan kedua tangannya.
“Apa gunanya aku harus berjanji,” ucapku pelan.
Ia masih terdiam. Tubuhnya kaku, sorot matanya tajam. Ia lalu memalingkan wajahnya padaku, tanpa mengubah posisi tubuhnya.
”Apa kamu kehilangan aku selama aku pergi?,” tanyanya. Ada kesedihan di wajahnya.
Aku mengangguk. Tidak bisa lagi memungkiri perasaanku.
”Tolong berjanjilah untukku Alya. Kamu mau meredam ambisimu,” ia kembali menggenggam tanganku dan meremasnya. Kali ini lebih erat. Ia seperti tidak mau kehilangan lagi. Aku tahu dari sorot matanya, ia terluka.
Aku tidak kuasa menatap matanya. Namun, untuk satu hal ini aku tidak mau terlalu sentimentil. Aku tidak mau berjanji, lalu suatu saat akan memungkirinya. Aku tidak mau berjanji untuk hal yang tidak bisa aku sanggupi.
Aku menggeleng, lalu menunduk tidak berani menatapnya.
Kali ini ia yang melepaskan tanganku. Kembali menatap kejauhan, sambil menghela nafas.
”Maafkan aku Pram,” bisikku. Lalu kami terdiam.
Dalam perjalanan pulang menuju hotel, ia banyak diam. Ia hanya mengangguk, jika aku tanya. Hanya tersenyum tanpa menatap wajahku lebih dari tiga detik. Sungguh aku menyesal malam ini harus berakhir tidak mengenakkan.
”Besok kamu mau jemput aku lagi kan Pram?,” tanyaku terdengar setengah frustasi setelah ia mengantarku persis ke depan pintu kamar hotel.
”Ok,” ia menjawab pendek. Tersenyum sambil menyipitkan matanya.
”Besok mungkin aku harus hadir dari pukul 18:30. Acara untuk pers diadakan malam, setelah pertemuan itu,” jelasku. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Kalau begitu, sampai besok,“ ucapku beberapa saat setelah pintu aku buka.
“Malam Alya...,“ ia menatapku sesaat. Lalu tersenyum dan membalikkan tubuhnya menuju lift beberapa meter di dekat pintu kamarku.
“Pram...,” panggilku tiba-tba. Ia menolehkan kepalanya, sambil menahan pintu lift yang sudah terbuka. Seorang petugas lift menahan pintunya agar tidak lekas tertutup lagi.
“Terima kasih. Malam ini menyenangkan,” ucapku tulus. Ia mengangguk sambil tersenyum, dan masuk ke dalam lift. Aku menunggunya beberapa saat hingga pintu lift tertutup dan aku masih menatap pintu putih itu. Semoga obrolan kami tadi tidak terlalu berpengaruh pada hubungan kita. Aku cukup bisa merasa, kalau ia pun merasakan kerinduan yang sama denganku.
Aaah...lelah sekali rasanya setelah perjalanan panjang kami menyusuri jembatan Pont Neuf . Aku merebahkan tubuhku di kasur, sambil menyetel pemanas ruangan. Mengganti pakianku dengan pakaian tidur, lalu menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba ponselku berbunyi, membuatku terperanjat. Pukul 23:25. Di layar ponselku muncul nomor rumah. Aah...Ibu.
”Halo Bu?,” aku menyapanya dengan suara mengantuk.
”Halo sayang, kok lemas sekali. Nggak seneng ya ibu telfon?,” sungut ibu kesal.
”Di sini kan sudah jam setengah dua belas malam bu,” jawabku sambil merebahkan tubuhku di kasur. Menarik selimut tebal setengah tubuhku.
”Kalau di sini masih sore. Ibu pikir di sana masih belum terlalu malam. Kamu sudah mau istirahat ya?,” ibu bertanya penuh perhatian. Nadanya menyiratkan kekhawatiran lagi.
”Belum bu. Baru mau tidur. Tadi habis ada pertemuan dengan staf kedubes RI. Aku harus menyiapkan staminaku untuk besok,” jelasku panjang lebar. Tanpa sadar aku menguap lebar.
”Ya sudah kalau kamu ngantuk. Biar ibu telfon lagi besok,” ibu menawarkan.
”Ibu nggak usah terlalu sering telfon. Aku nggak apa-apa kok bu. Telfon kesini kan cukup mahal bu,” aku membujuknya agar ia tidak usah mengkhawatirkan keadaanku. Aku yakin besok-besok ibu akan makin sering mengecek keadaanku.
”Tadi aku ditemani Pram kok bu,” jelasku. Niatku agar ia bisa merasa lebih tenang. Di seberang sana ibu malah terdiam beberapa detik.
“Dia mengantar kamu Al?. Kalian baik-baik aja?,” ia terdengar lebih khawatir lagi sekarang.
“Memangnya kenapa bu?,” aku jadi heran dengan nada bicara ibuku.
“Ibu khawatir kamu berharap terlalu banyak sama dia Alya,” ia menyatakan kekhawatirannya. Yang jelas membuatku merasa malu.
“Ah ibu, aku nggak gitu kok. Kami baik-baik aja. Kami bersikap layaknya dua orang dewasa yang sama-sama sedang menjalankan tugas,” jelasku agak berbohong padanya. Nyata jelas kalau aku mengharapkan lebih dari kehadiran Pram.
”Syukurlah kalau begitu. Ibu nggak mau perasaan kamu disakiti,” ia berkata pelan.
Aaah ibu, mungkin ia memang terlalu banyak khawatir padaku. Selama ini aku tidak pernah pergi terlalu jauh dari sisinya. Pernah dulu sekali aku mendapat tugas liputan di Timika Papua, dan hampir setiap satu jam sekali ia mengecek keadaanku. Ia memang keterlaluan mengkhawatirkan aku, mungkin karena aku adalah anaknya satu-satunya.
Setelah menyudahi pembicaraan, aku mencoba memejamkan mata. Namun kata-kata Pram terus melintas di pikiranku. Ia meminta aku untuk berjanji memenuhi keinginannya. Ia membuatku berjanji untuk menyudahi mimpi-mimpiku. Itu tidak mungkin aku lakukan. Ini yang aku mau, ini duniaku. Menyudahinya sama saja dengan membunuhku. Tapi kehilangan Pram juga tentu menyakitkan. Aaahh...mungkin aku terlalu mendramatisir konflikku dengannya. Mungkin ia tidak sepicik itu untuk menjauhiku tiba-tiba akibat ucapanku tadi.
Belum juga terlelap. Tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Kali ini dari nomor tidak dikenal.
”Halo,” sapaku parau.
”Halo Mbak Alya,” suara seorang laki-laki.
”Siapa ya?”
”Aku Andra mbak. Aku baru aja sampai di Charles de Gaulle”
“Oh iya. Kamu bisa langsung datang kesini. Aku di Concorde La Fayette Hotel ”.
“Mbak bisa jemput aku ?,” ia memintaku dengan nada polosnya. Membuatku agak kesal mendengarnya.
“Kamu bisa naik taksi ke sini. Lagipula mencari hotel ini kan nggak susah,” dengusku kesal.
Dan tampaknya laki-laki itu belum menyerah untuk membuatku turun dari kasur dan mengenakan kembali mantel tebalku. Tanpa mengganti pakaian tidurku lebih dulu, akhirnya aku setuju untuk menjemputnya. Dengan pertimbangan, besok aku akan banyak membutuhkan bantuannya. Huh, mungkin dewan redaksi salah memilih fotografer untuk ikut denganku. Mungkin Andra ini adalah tipikal fotografer arogan yang sulit untuk diajak kerjasama.
Aku kesulitan menemukannya. Sampai akhirnya aku membutuhkan meja informasi untuk bisa menemukan fotograferku itu. Dan ia berdiri di sana persis di sebelah kafe yang untuk kesekian kalinya aku lewati untuk mencarinya. Dari jauh ia tersenyum.
”Maaf merepotkan,” ujarnya sebelum aku menumpahkan kekesalanku.
Tampangnya lumayan keren. Usianya beberapa tahun di bawahku. Mungkin ia tipe fotografer serampangan yang terbiasa meliput berita di daerah-daerah terpencil, bukan di kota besar seperti Paris.
”Mungkin lain kali kamu bisa memberitahu lebih dulu,” umpatku kesal. Aku berjalan di sampingnya dengan masih mengenakan mantel tebal dan sandal hotel.
Laki-laki di sebelahku cuma senyum-senyum. Tiba-tiba ia menyodorkan tangannya.
”Oh iya, kita belum kenalan. Aku Mahendra Antariksa,” ucapnya masih dengan tangan tersodor padaku. Aku memandangnya agak heran.
”Ramalya,” ucapku pelan sambil tidak menggubris uluran tangannya. Aku melanjutkan langkahku ke arah taksi yang menunggu di pelataran parkir bandara.
Huh, jelas orang ini punya rasa percaya diri yang berlebihan.
Di dalam taksi ia masih terus tersenyum. Entah kenapa justru senyumnya malah membuatku makin kesal. Jam satu dini hari dan aku harus berhadapan dengan orang yang terus menerus mengumbar senyum. Bukan pengalaman yang menyenangkan.
Setelah aku menyerahkan kunci kamarnya. Aku langsung melesat menuju kamarku sendiri, mematikan ponselku lalu bergegas tidur. Malam ini jangan sampai ada gangguan lagi. Tubuhku sudah sangat lelah sejak penerbanganku yang berdesak-desakkan tadi pagi.
****************************************
Pagi-pagi aku sudah terbangun. Udara dingin menjalari kakiku. Hari ini adalah puncak misi keberangkatanku ke Paris. Aku ingin menyiapkan hari ini sedemikian rupa agar tidak ada yang meleset sebagai bahan laporan untuk aku bawa ke Jakarta nanti. Tiba-tiba aku teringat Pramudya. Merasa tidak enak dengan ucapanku tadi malam. Aku berencana untuk menebusnya saat makan siang nanti. Ponselku berbunyi.
”Hallo?,” sapaku agak menggigil.
”Hallo Mbak Alya. Aku Andra...,” suara di ujung sana menyapaku dengan ramah. Namun bukan suara ini yang ingin aku dengar sekarang. Aku mendengus agak keras, mungkin kedengarannya agak kurang sopan. Namun sejak kejedian tadi malam, aku agak malas berakrab-akrab dengannya.
”Maaf mengganggu. Saya Cuma mau memastikan, nanti malam saya harus siap jam berapa ya mbak?,” suaranya agak pelan. Mungkin efek ketusku tadi.
”Mmmh, jam setengah tujuh malam saya tunggu di lobby,” jawabku pendek. Aku sendiri tidak tahu apa aku akan membutuhkannya nanti. Mungkin aku tidak akan diijinkan untuk mengambil gambar, tapi mudah-mudahan protokoler di sana tidak seketat itu.
”Ok, kalau gitu.Saya mau pamit sarapan dulu. Mbak mau keluar hari ini?,” ia masih mencoba mengakrabkan diri. Sepertinya ia hanya mencoba untuk bersikap baik, hanya pagi ini aku sedang malas berbasa-basi.
”Aku ada rencana mau keluar dengan teman,” ucapku pendek tanpa mencoba mengajaknya.
”Baik kalau begitu. Ketemu nanti malam Mbak”
”Ok,” ucapku pendek menyudahi telepon.
Aku segera memutar no ponsel Pram. Mungkin ia tengah bersiap berangkat ke kantor pagi ini.
“Hallo,” suara pria di sana menyapa dengan dingin.
Aku kurang suka mendengarnya. “Mengganggu ya Pram?,” tanyaku tulus.
“Oh Al, nggak. Aku cuma sedang nyetir mobil. Ada apa Al?”
“Kamu ada waktu nanti siang?,” tanyaku agak malu mengingat kejadian kurang mengenakkan semalam.
“Oh...,” ia berpikir agak lama. “Tadinya aku mau mengenalkan kamu dengan seseorang<’ ucapnya tiba-tiba.
“Oh ya, siapa?,” aku sungguh-sungguh dengan rasa pensaranku.
“Kalau gitu kita ketemu di resto tempat pertemuan kamu kemarin aja ya?,” ujarnya agak ragu-ragu menunggu reaksiku.
”Ok,” aku mengiyakan dengan cepat. Sungguh saat ini yang ada dibenakku adalah untuk menebus kesalahanku tadi malam. Aku akan coba memperbaikinya nanti siang.
Tepat jam sebelas siang aku mengenakan blus biru muda dan rok khaki senada, mengenakan syal dengan warna yang lebih tua lalu menuju restoran yang tadi malam aku kunjungi.
Ternyata aku datang lebih dulu. Pram sama sekali belum kelihatan. Aku mengambil posisi memunggungi jendela dan meminta pelayan untuk membawakan secangkir coklat panas. Siang hari restoran ini cukup penuh dikunjungi. Mereka yang sengaja untuk makan siang dengan klien bisnis atau kenalannya.
Aku menghirup coklat pansku perlahan-lahan. Sengaja aku tambahkan brown sugar, agar rasanya seperti yang biasa ibu buat. Au menyesapinya perlahan sambil mengingat apa kira-kira yang sedang ibu kerjakan di Jakarta. Mungkin ia sedang tertidur pulas mengingat di sana mungkin baru jam dua dini hari.
”Sudah lama Al?,” suara dari balik punggung mengagetkanku. Aku menengok ke arah suara itu berasal. Dan sedikit terkesiap.
Ternyata Pram datang bersama seorang perempuan berjilbab. Wajahnya cantik, dan sangat...melayu.
”Kenalkan, ini Alexa,” Pram mengenalkan perempuan itu sambil emngambil posisi duduk di sebelah perempuan itu.
Dengan agak canggung aku menjabat tangannya. Sama sekali bukan yang aku harapkan.
”Alya ini wartawan terkenal lho Lex,” Pram memecah kecanggungan dengan memujiku.
”Aah..biasa aja,” ucapku agak parau. Mungkin Pram menyadari kekakuanku. Ia lalu memanggil pelayan dan memesankan ”mereka” minuman. Dari caranya memesan minuman, sepertinya ia sudah sangat mengenal perempuan itu.
”So...gimana persiapan kamu untuk nanti malam?,” Pram bertanya dengan nada yang dibuat senatural mungkin. Posisi mereka yang bersebelahan membuat aku makin canggung.
Aku mengernyitkan dahi.
”Pertemuan bilateral itu?,” ia menaikkan sebelah alisnya agak menggodaku.
”Oh...itu. Mmmh..just okay. Mudah-mudahan lancar,” ucapku sekenanya.
”Fotografermu sudah datang?,” ia bertanya sambil terus melirik perempuan di sebelahnya yang cuma tersenyum-senyum memandangku.
Aku kelihatan konyol.
Aku mengangguk. Tiba-tiba suara ponsel membuyarkan kekakuanku.
“Hallo” ucapku terburu-buru.
“”Mbak Al, sedang makan siang?.” Oh my God, lagi-lagi Andra meneleponku di saat yang kurang tepat. Rasanya ingin aku damprat laki-laki ini kalau tidak ada Pram di hadapanku.
“Boleh aku bergabung?,” sebelum aku jawab ia kembali mengajukan pertanyaan menyebalkan yang agak aneh.
“Maksudmu?,” aku mengernyitkan dahi.
“Al, kamu kenal laki-laki itu?,” tiba-tiba Pram bertanya memotong percakapanku. Aku menengok ke arah yang ditunjukkan Pram. Aku tidak menyadari kehadirannya karena posisiku yang memunggungi jendela. Di seberang resto Andra melambaikan tangannya.
“Aku nggak mungkin jawab tidak kan?,” jawabku ketus. Laki-laki di seberang sana cuma tertawa pelan dengan ekspresi yang sepertinya makin aku kenal.
“Oh Pram, kenalin ini Andra fotograferku,” ucapku kembali canggung meihat Andra mengambil posisi di sebelahku berhubung kursinya hanya ada empat. Seperti double date.
“Mahendra Antariksa,” ia menjabat tangan Pram dan perempuan bernama Alexa itu.
“Pramudya, dan ini Alexa,” dari bahasa tubuhnya Pram mengenalkan perempuan itu seolah seseorang yang istimewa untuknya.
“Rasanya lucu kita semua orang Indonesia bisa berkumpul di sini,” Pram mengawali percakapan.
”Mas Pram kerja disini?,” Andra coba mengakrabkan diri setelah ia memesan segelas orange juice.
“Jadi buruh disini tepatnya,” Pram merendah.
“Buruh dengan bayaran dollar,” Andra menggodanya. Mereka tertawa. Si perempuan ikut tertawa. Hanya aku yang masih membeku.
1st Chapter by Foggy Fauziah Ferdiana
No comments:
Post a Comment