SATU
‘WAKE UP’
Selama 17 tahun, aku selalu merasa hidupku berjalan dengan mudah. Semua berjalan sesuai dengan apa yang kuinginkan. Aku benar-benar menjadi tokoh utama dalam hidupku. Aku bahagia. Lengkap. Sempurna.
Tiba-tiba saja, aku terbangun dari mimpi indahku. Berada di tempat yang serba putih dengan malaikat-malaikat berpakaian putih. Bukan di rumah tempat ku tinggal. Dan tak ada satu orang pun yang kukenal. Apa aku sudah mati?
“Tenanglah, jangan bicara apa-apa dulu. Kamu akan baik-baik saja” seorang malaikat berambut hitam menyinari mataku dengan sebuah senter kecil yang membuatku silau. Kucoba untuk bicara, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya bisa bergumam tak jelas. Ini surga atau neraka?
“Dok, keadaannya stabil” kudengar seorang malaikat wanita berbicara pada malaikat berambut hitam itu.
“Bagus” malaikat berambut hitam itu meletakkan jarinya di ujung lenganku yang tampak pucat. Perlahan tapi pasti, pandanganku semakin jelas. Otakku bisa mencerna semua yang kulihat. Kusadari satu hal, aku belum mati. Ini bukan surga atau neraka. Dan mereka bukanlah para malaikat.
“Selamat datang kembali, Salma” laki-laki berambut hitam yang tadi sempat kusangka sebagai malaikat menatap mataku lekat-lekat. Ia tersenyum senang. Tampan juga dia. Sebagai gadis berusia 17 tahun, radar kegenitanku langsung berbunyi begitu melihat cowok ganteng. Yah walaupun dia bukan tipeku, karena tampaknya dia sudah berumur, sekitar 30 tahunan mungkin.
“Salma, bisa kamu lihat jari saya? Ada berapa?” katanya lagi. Aku tertawa dalam hati. Pertanyaan bodoh. Memangnya aku anak kecil apa?
Tapi kemudian aku berpikir, kenapa otakku tidak bisa langsung merespon? Apa aku yang benar-benar sudah menjadi bodoh.
“Salma” dia menyebut namaku lagi. Ya, itu namaku. Salma Almira. Nama indah yang orang tuaku berikan padaku. Aku jadi berpikir, di mana orangtuaku? Kenapa mereka tidak ada disini? Tiba-tiba saja aku merasa sangat mengantuk. Mataku tak kuat lagi untuk terbuka. Aku merasa lemas dan tak berdaya.
“Dok!” teriakan wanita berpakaian putih samar-samar masih terdengar. Setelah itu aku merasa berada di tempat lain. Ajaib! Kini aku berada di dalam mobil yang melaju kencang. Dan begitu aku melihat siapa yang menyetir, aku melihat diriku sendiri! Seperti bercermin, hanya saja versi diriku yang satu lagi tampak tidak menyadari kehadiranku. Ia terlihat menangis dengan handphone ditangan kanannya dan memegang stir mobil ditangan kirinya. Make upnya tampak luntur terkena air mata. Padahal ia mengenakan gaun yang sangat indah. Mungkinkah itu aku? Kenapa aku tampak sangat berantakan.
“Kenapa? Kenapa kamu lakukan semuanya padaku? Kamu tega sekali!” sambil terisak-isak, ia tetap bicara di telepon.
Apa yang terjadi? Hei, jangan bicara di telepon sambil menyetir, itu bahaya sekali. Aku berusaha untuk memperingatkannya, tapi ia tetap tidak menyadari keberadaanku.
“Shit!” benar saja, handphone nya terlepas dari genggamannya. Ia merutuk kesal dan berusaha mengambil handphone yang jatuh ke bawah jok kursi itu.
Jangan diambil, lihat saja ke depan. Kau sedang menyetir. Aku berusaha memperingatkannya. Tapi terlambat. Kulihat sebuah cahaya putih menyilaukan. Selanjutnya aku hanya bisa mendengar suara jeritan dan pecahan kaca. Jelas sekali, hingga berdengung di telingaku.
Aku kembali merasa melayang. Jantungku seperti disengat oleh listrik ribuan volt.. Samar-samar aku melihat laki-laki berambut hitam tadi. Apa aku sudah berpindah tempat lagi? Tidak ada senyuman, melainkan kecemasan yang terpancar dimatanya.
“Come on, Salma, kembalilah. Jangan pergi lagi. Berjuanglah!” kata-kata yang terdengar darinya semakin jelas.
Aku menarik napas panjang. Seperti habis berlari ribuan kilometer. Seperti habis tenggelam di dasar laut dan kembali ke permukaan. Nafasku tersengal-sengal, detak jantungku tak beraturan berdetak dengan cepat. Tapi hanya sebentar, setelah itu semua kembali normal. Aku melihat laki-laki itu dan wanita di sebelahnya tersenyum lega.
“Di..ma…na….aku?” meskipun terbata-bata, aku berhasil juga mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang pendek, tapi aku merasa kewalahan untuk mengucapkannya. Lidahku terasa kelu, bibirku terasa kering.
“Syukurlah.” Senyum laki-laki itu terlihat semakin mengembang. Dia belum menjawab pertanyaanku.
“Mi..num” kataku lagi. Karena aku merasa sangat haus, seperti habis berjalan di padang pasir tak berujung. Aku tak peduli lagi kalau pertanyaanku tak dijawab, aku sangat membutuhkan air.
“Suster” laki-laki itu berkata pada wanita di sebelahnya. Wanita itu segera mengambilkan segelas air. Lalu dengan hati-hati, ia membantuku minum. Meneguk air pun sepertinya sangat sulit untukku. Kenapa aku begitu lemah. Apa yang terjadi padaku?
“Tadi aku sudah mengucapkan selamat datang padamu, jangan biarkan aku mengucapkan selamat tinggal. Salma, tolong katakan berapa jumlah jariku. Aku hanya ingin meyakinkan, apa kamu benar-benar sudah kembali. Tolonglah” kata laki-laki itu kemudian sambil menunjukkan tangan kanannya. Pertanyaan bodoh itu lagi. Kali ini aku berusaha berpikir dengan keras. Aku tidak bodoh, aku tau berapa itu.
“Ti..ga?” kataku dengan pelan dan ragu.
Dia tersenyum. Senyuman itu cukup untuk menandakan bahwa aku tidak salah. Tapi aku merasa sangat lelah. Aku perlu memejamkan mata, sebentar saja. Ya, hanya sebentar saja. Dan kuharap setelah kubuka mataku kembali, aku bisa melihat orangtuaku. Atau setidaknya orang yang ku kenal. Bukan para malaikat berpakaian putih.
Kenapa aku masih disini? Dimana semua orang? Aku mengerjapkan mataku dengan pelan. Kepalaku terasa pusing. Kucoba untuk menggerakkan tubuhku, tapi terasa lemas dan tidak bertenaga. Tubuhku tak bisa bergerak. Padahal pikiranku sudah berusaha untuk menggerakkannya, membuat kakiku turun dari tempat tidur. Susah payah terus kucoba, tapi tetap tidak bisa.
“Hei, kamu sudah bangun?” seorang wanita berpakaian putih menghampiriku.
“Aku dimana?” tanyaku. Kali ini lebih lancar, tidak lagi terbata-bata.
“Tenanglah, kamu aman. Kamu ada di rumah sakit. Sebentar, saya panggilkan dokter” wanita itu menghilang dari hadapanku. Sejenak kemudian ia kembali. Tidak sendiri. Ia bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu lagi. Malaikat tampan berpakaian putih. Barulah aku bisa benar-benar sadar, dia adalah seorang dokter.
“Jangan bergerak dulu ya” laki-laki itu memeriksa mataku lagi dengan senter kecilnya. Lalu ia memukul kakiku dengan palu kecil.
“Merasakan sesuatu?” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng lemah “Apa aku cacat?” tiba-tiba aku menjadi sangat ketakutan. Terlintas satu ingatan di kepalaku. Ada teman sekelasku yang terpaksa memakai kruk ke sekolah karena terjatuh dari tangga. Dan dia di ejek oleh satu sekolahan. Ada yang mengatainya robot dan sebagainya. Dan tidak ada pujian atau tatapan simpati satupun. Yang ada hanya tatapan kasihan dan ejekan. Aku tidak mau seperti itu. Aku tidak mau sampai memakai kruk ataupun kursi roda ke sekolah. Jangan sampai hal itu terjadi padaku.
“Ini biasa terjadi. Tenang saja, kamu tidak cacat. Hanya perlu waktu untuk melemaskan syarafmu yang kaku. Kamu sudah lama tertidur” dokter itu memberikan penjelasan yang membuatku bisa sedikit lega. Syukurlah, aku tidak bisa membayangkan di ejek teman satu sekolahan. “Hanya tetaplah berusaha untuk menggerakkan kakimu dan seluruh tubuhmu. Tapi jangan terlalu dipaksa, pelan-pelan saja” katanya lagi.
Aku mengangguk “Apa orang tuaku ada disini?” tanyaku kemudian.
Dokter dan suster itu saling memandang. Raut wajah mereka langsung berubah.
“Ehm…mereka tidak sedang disini” kata dokter itu akhirnya.
“Ya, aku mengerti. Pasti mereka di luar negeri. Traveling dan semacamnya. Mana mau mereka direpotkan olehku? Sudahlah” kataku dengan kecewa. Aku sudah biasa seperti ini. Mereka tidak pernah ada untukku. Seharusnya aku tidak perlu kaget. Waktu kecil, aku pernah sakit demam tinggi. Aku berharap mereka menemaniku dan menjagaku. Paling tidak aku berharap mereka ada di sampingku. Tapi hingga aku sembuh, yang ada hanyalah suster bayaran yang mengasuhku sejak kecil. Setelah itu aku berhenti berharap.
“Suster Camila akan membantumu untuk melemaskan syaraf-syarafmu yang kaku. Saya harus mengurus pasien yang lain” dokter itu membelai rambutku dengan lembut. Sepertinya dari kata-katanya ia tidak mau mengurusku dan menyerahkanku pada seorang suster, tapi aku bisa merasakan kehangatan tangannya di kepalaku. Dia tidak tau kalau aku paling suka bila seseorang membelai rambutku. Membuatku merasa disayang.
Kutatap dokter itu hingga hilang dibalik pintu. Ia kelihatan gagah dan dewasa. Seperti seorang kakak yang selama ini kudamba, karena aku hanyalah anak tunggal yang kesepian.
“Itu tadi dokter Ramon. Special untuk kamu” kata Camilla sambil tersenyum menggoda. Apa maksud kata ‘special’ nya itu?
“Nah Salma, bagaimana perasaanmu? Bisakah kamu menggerakkan tanganmu” kata Camilla lagi, sebelum aku sempat mengajukan pertanyaan soal kata-katanya yang tadi.
Aku mengangguk, dan memilih berkonsentrasi untuk menggerakkan tanganku, daripada mengajukan sebuah pertanyaan. Aku harus bisa menggerakkan tubuhku. Aku ingin bertemu dengan teman-temanku.
“Ayo Salma, kamu bisa” Camilla terus memberikan semangat untukku.
Aku berusaha menggerakkan jari-jariku terlebih dahulu. Terasa sulit memang. Aku merasa menjadi bayi lagi. Tak berdaya, lemah, tapi penuh dosa.
Setelah beberapa saat, aku bisa menggerakkannya. Aku bisa menggerakkan jari dan tanganku! Aku senang sekali! Aku langsung tertawa riang. Melihatku, Camilla juga tertawa. Ia pun ikut senang.
“Suster, aku bisa bergerak!” kataku antusias.
“Coba pegang gelas ini” Camilla memberikanku segelas air.
Perlahan, kugerakkan tanganku. Kegenggam gelas itu dengan hati-hati.
“Aku bisa, aku bisa!” seruku bahagia.
“Bagus” sahut Camilla.
Tapi tiba-tiba…prang!!! Gelas itu terjatuh sendiri dari tanganku. Hancur berkeping-keping, beradu dengan lantai. Senyumku langsung memudar. Tanganku kembali kaku. Rasanya aku sangat ingin menangis. Memegang gelas saja aku tidak becus.
“Tidak apa-apa Salma, pelan-pelan saja ya. Nanti juga bisa” Camilla berusaha menghiburku.
“Keluar” pintaku dengan nada dingin. Aku tak bisa lagi tersenyum.
“Salma…”
“Aku bilang keluar! Keluar!” kali ini aku membentaknya.
Camilla tampak kaget, tapi kemudian ia tersenyum “Baik, saya akan meninggalkanmu sendiri dulu. Mungkin kamu butuh waktu untuk sendiri. Saya mengerti” ia pun segera keluar dari dalam kamar.
Hening. Suasana langsung berubah hening. Ketika kuraba pipiku, terasa dingin disana. Dingin oleh basahnya air mata. Aku terisak-isak sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa disini? Aku tidak mau berada dalam mimpi terburukku selama ini. Kesepian.
1st Chapter by Rena Puspitasari
No comments:
Post a Comment