Sunday, February 15, 2009

Captain Cook

IBU PERI, GURUKU YANG CANTIK

“ Pagi, Bu. Pagi, Bapak,” sapa Tabhita mengiringi langkahnya ke meja makan. Dia sudah berseragam sekolah putih abu-abu lengkap dengan tas pink dengan merk roxy kecil di ujung tas dan sepatu keds hitamnya.

“ Pagi, Sayang,” balas Ibu penuh kelembutan dan keramahan. Dia telah siap siaga melayani suami dan anak-anaknya pagi ini dengan duduk di meja makan dan menyiapkan sarapan. Yah, walaupun tiga pembantunya yang sebagian besar turut andil dalam menyiapkan sarapan pagi ini. Whatever, lah.

“ Hmm …” Bapak-nya Tabhita hanya menanggapi dengan geraman pelan dari balik Koran. Sama seperti anak perempuannya, dia sudah siap untuk berangkat kerja. Dengan jas biru agak kehitam-hitamannya.

“ Mana adikmu, Tabhi?”

Tabhita memasukkan sesendok besar nasi ke dalam piringnya.” Kayaknya, sih belum bangun, Bu. Biasa, abis begadang semalaman, tuh,” jawab Tabhita tanpa berfikir panjang terlebih dahulu. Sebenarnya, sih itu hanya kata-kata untuk memancing amarah Bapaknya agar mengomeli Dino, dan, sepertinya berhasil.

“ Begadang lagi?!” Kali ini Bapak menurunkan korannya dan menunjukkan wajah sangarnya, pertanda bahwa dia sedang marah.

Yes! Tangan Tabhita berpose kemenangan di bawah meja.” Ehm, belum tentu bener, sih, Pak. Apalagi Tabhi cuman ngeliat sekilas orang yang main PS jam satu tengah malam tadi di kamar Dino. Em, mungkin aja tuh orang bukan Dino, Pak.” Lagi-lagi omongan Tabhita sangat memancing amarah bapaknya.” Tabhi bukannya begadang juga, lho, Pak. Tadi malam cuman haus dan pengen minum,” ujarnya cepat. Takutnya Bapaknya malah salah paham dengan ucapannya. Ngapain Tabhi ngintip-ngintp kamar Dino jam satu malam? Jadi, dia buru-buru memberikan alasannya.

Siapa lagi, sih yang main PS di kamar Dino tengah malam kalau bukan dia sendiri. Masa Mas Krisna atau Mas Dedi, supir mereka, ngga mungkinlah. Apalagi Bi Nur, pembantu mereka yang hanya bisa menyalakan microwave dan mesin cuci.

“ Anak itu besar nanti mau jadi apa, sih kalau bangunnya aja ngga lebih pagi dari ayam?! Bagaimana dia bisa tidak sedisiplin kamu, Bhi?!”

“ Wah, Tabhi ngga tahu, tuh, Pak.”

Bapak melipat Koran, mendorong kursi ke belakang, dan siap memergoki keadaan kamar anaknya, yang pasti bak benteng kerajaan setelah bertempur 700 hari lamanya.

Sang Bapak memang meninginkan anak bungsunya ini suatu saat bisa meneruskan dinasti politik yang telah didirikannya dan berharap dapat mempertahankan puncak yang diraihnya dengan susah payah. Tapi, bagaimana bisa mempertahankan puncak kejayaan dinasti kalau datang ke sekolah aja selalu telat.

Tabhita cekikikan tanpa suara melihat kepergian Bapaknya ke kamar Dino.

“ Tabhi, seharusnya kamu jangan menjahili adikmu seperti ini lagi.” Ingat Ibu, yang sangat memahami tipu muslihat anak perempuannya.

“ Biar aja, Bu. Biar Dino tahu sesegar apa, sih udara pagi itu. Dia harus tahu kalau suasana pagi hari itu sangat indah dan menyenangkan untuk dinikmati.”

Dino memang cukup berbeda dengan Mba'-nya, yang paling suka dengan suasana tepat saat matahari malu-malu memunculkan kepalanya yang botak dan mendengarkan ayam Bangkok mereka berkokok. Sedangkan Dino memilih agar menukar ayam bangkoknya dengan ayam pikun, sehingga dia (ayamnya) lupa dengan lirik rutinnya ketika matahari terbit. Dengan begitu, Dino bisa tidur dengan pulas sampai waktu yang ngga terbatas.

“ Aduh, Bapak! Ampun! Sakit, ampun!” Dino merasakan sakit yang teramat di telinganya karena diseret dari tempat tidurnya dengan jeweran keras dari bapaknya.

Tabhita menggigit bibir bawahnya agar tawanya tidak meledak. Bisa-bisa tangan bapaknya yang satu lagi ikut-ikuttan menjewer dan kali ini pada telinganya. Makanya, dia memilih menggigit bibirnya hingga lecet daripada mendapatkan kupingnya yang memerah dan membengkak seperti kuping Dino saat ini.

Dino duduk di meja makan sembari mengusap-usap telinganya yang perih. Ia mengalihkan pandangan tajamnya pada Tabhita, yang balas menatap lalu mengedipkan matanya nakal.” Grr!” Dino menggeram kesal dan marah karena Mba'-nya lah biang kedelai …, eh, keladi, perusak mimpi indahnya bersama Angelina Jolie.

“ Bu, kasihan, tuh Dino. Dari tadi menggeram minta makan kayaknya, tuh,” celetuk Tabhi asal.

Ibu mengerti dengan sangat pasti maskud Tabhita. Ia tersenyum sejuk pada Dino, yang hanya memakai singlet putih dan celana boxer warna biru lembut.

Senyuman menyejukkan itu menguapkan api amarah Dino pada Mba'-nya, yang ngga tahu diri. Dino dengan semangat dan telah melupakan rasa sakit di telinganya memberikan piring kosongnya pada Sang Ibu Tercinta agar diisi dengan makanan.

Tidak rela melihat cepatnya kedamaian merambat pada diri adiknya dan seakan-akan belum puas melihat betapa sengsara adiknya pagi hari ini, Tabhita tersenyum menyeringai licik.” Bapak, Dino sekarang suka baca majalah luar, lho.”

“ Majalah luar?!”

“ Iya, Pak. Apa, sih namanya … Playstasion … bukan! Duh, apa, ya … tapi ada gambar kelinci kayak iklan kacang kulit itu, lho, Pak,” jawab Tabhita sok bego dan pikun.

“ Praa…ng!!” Dino menjatuhkan piringnya yang baru aja diberikan oleh Ibunya di atas meja.

Dino berlari dari mobilnya tanpa berpamitan pada Mas Krisna. Dia melihat jam di gerbang sekolah. 07:30 WIB! Matilah dia. Kalau saja kejadian tadi pagi ngga terjadi, pasti tidak akan seperti ini jadinya.

Majalah-majalah Playboy pemberian Riko ditarik peredarannya dari kamar Dino, uang jajannya dipotong, ngga tanggung-tanggung, 75%! Dan diancam persennya akan meningkat kalau dia ngga bangun pagi besok dan besok seterusnya, dan yang paling parah, ngga ada lagi mercy silver-nya yang menemani kepergiannya. Itu tandanya dia akan mendapatkan supir pribadi. Dan Mas Krisna-lah a lucky man yang menjadi supir Dino, karena Mas Dedi telah menjabat sebagai supir pribadi Bapaknya Dino.

Naik mobil dengan Mas Krisna sebagai supirnya sama aja seperti mengendarai kura-kura pemenang Lomba Kura-kura Terlelet Se-Dunia karena kecepatan mobil ini tak pernah lebih dari 30 km/jam, kurang dari itu sering banget.

Hasilnya, Dino sampai di sekolah pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Memang dengan atau tanpanya Mas Krisna sebagai supirnya, dia akan tetap telat. Tapi, seengganya kan dia telat lima belas menit bukannya tiga puluh menit. Karena hal ini ada sebab akibatnya. Makin lama waktu telatnya, makin berat pula hukuman yang ia dapatkan dari Pak Khaidir, sang guru yang paling hobi memberikan hukuman pada murid yang melanggar poin-poin aturan sekolah.

Dino berdiri di depan pintu gudang sekolahnya. Ia melihat isi gudang itu sangat berantakan dan tugasnya adalah membereskan juga membersihkan isi-isi gudang itu sampai selesai. Itu artinya pekerjaannya sepertinya ngga bakal selesai sebelum keluar main. So pasti dua mata pelajaran akan terlewatkan olehnya secara cuma-cuma.

Dino menaruh curiga pada Pak Udin. Kayaknya penjaga sekolah satu ini, selama masa kerjanya hanya makan gaji buta aja. Bagaimana bisa Dino punya pikiran sepicik itu? Ya, adalah. Coba pikir, kerja Pak Udin apa, sih? OK, dia yang menjaga sekolahan ini, tapi pekerjaan bersih-bersihnya ngga dia laksanain sepenuhnya karena sudah ada yang melaksanakannya. Siapa lagi, kalau bukan murid-murid yang terkena hukuman dari Pak Khadir.

Contohnya saja Dino. Kemarin dia menyapu halaman lapangan upacara, kemarin lusanya toilet guru, tiga hari yang lalu got di dekat kantin, seminggu yang lalu menyapu bersih ruang OSIS, dan banyak hukuman lainnya yang ia lakukan selama lima hari berturut-turut dalam seminggu – enam hari masa sekolah.

Lima hari? Kok? Kenapa bukan enam, ya? Itu karena hari tiap hari Sennin, Dino selalu datang cukup pagi karena hari itu adalah Dino Day’s. Hari di mana Dino bersama si kembar – Riko dan Riki – menjahili kelas yang mendapat giliran menjadi petugas upacara maupun engga.

Ntah itu dengan merusak tali pengikat bendera, menyembunyikan alat-alat musik paduan suara, atau dengan menurunkan listrik, bahkan yang paling parah saat mereka menggunting celana bagian belakang pemimpin upacara sehingga saat ia melangkahkan kakinya celananya langsung tersobek lebar. Hal terakhir itu menimpa Asep, anak kelas X IPA 1.

Walaupun begitu, ngga pernah sekalipun yang dapat mencari bukti bahwa itu adalah kelakuan Dino, Riko, dan Riki. Mencium gelagat mereka, sih semua orang sudah tahu pasti kalau semua itu perbuatan mereka. Masalahnya, bukti. Ngga ada satupun yang pernah bisa mendapatkan bukti bahwa itu kelakuan mereka. Bahkan Pak Khadir sekalipun. Ini terbukti bahwa mereka bertiga sangat professional dalam hal menjahili.

“ Aduh, Si Rekor Telat dapat hukuman lagi, ya?” Suara centil dan sok angkuh yang sangat dibenci Dino, tapi tetap ngga bisa mengalahkan rangking satu rasa sebalnya terhadap Mba'-nya, terdengar di sela-sela kesibukannya membersihkan gudang sekolah.

Dino ngga ingin capek-capek melihat cewek jahil itu dengan melewati meja yang menggunung di depannya, sebuh drum usang, dan sebuah lemari kaca yang pecah menghalangi jalannya.

“ Lus, udah, deh. Dino jangan diganggu, ntar kerjaannya tambah berantakan lagi.” Lara mencoba ‘membela’ Dino dengan nada mengejek.

“ Iya, dia lagi beresin gudang yang berdebu ini,” ujar Lita dan dengan sangat sengaja dan bertingkah seolah-olah ngga sengaja menjatuhkan sebuah kardus, yang berada di tengah-tengah sehingga bagian atasnya jatuh berantakan.” Ops!”

Mendengar suara gaduh itu, Dino dengan sangat marah dan kesal memunculkan kepalanya.” Gila lu semua, ya?! Rese banget!!!” teriaknya ketika melihat jelas siapa yang berdiri di depan pintu gudang setelah debu-debu sedikit menghilang.

Terlihatlah empat orang cewek dengan dandanan serupa dan sepertinya mempunyai banyak kesamaan. Sama-sama rambutnya bergelombang panjang dan sedikit dicat warna kemerahan, seragam putih abu-abu mereka dikreasikan agak ketat, panjang roknya low banget, dan memakai make-up yang cukup kentara. Merekalah Lita, Lara, Lusi, dan Lina. O, ya. Satu lagi kesamaan mereka yaitu BENCI Dino, Riko, dan Riki!!!

Rambut ikal mereka berkibar-kibar bak bendera merah putih yang dikibarkan tiap hari Sennin di sekolah dan selalu dalam keadaan kotor akibat ulah Dino, Riko, dan Riki yang minus nilai nasionalismenya. Berdiri berjajar dengan melipatkan tangan mereka. Dagu dinaikkan ke atas seakan-akan ada pemandangan menjijikkan kalau mereka menundukkan atau sedikit saja merendahkan dagu mereka.

Dino melipat-lipatkan bibirnya.” Heh.” Menyesal ia melihatkan wajahnya karena harus melihat orang-orang yang anti banget padanya.

“ Eh, misi-misi!” Riko tiba-tiba muncul di belakang mereka dengan membelah jalan antara Lara dan Lita.

Dalam hitungan detik performance mereka yang perfect hansur berantakan.

“ Em, misi,” ujar Riki kalem sambil memamerkan senyumannya.

Lara dan Lita menatap Riko dengan kaget dan Riki, yang muncul mengiringi Riko. Mereka ngga percaya kalau cowok sekasar Riko itu benar-benar ada, terutama melihat kembarannya yang kalem-kalem aja. Mereka hampir aja jatuh akibat dorongan Riko.

“ Aduh, Lita, Lara! Kalian berdua itu baru aja bersentuhan dengan Riko,” ujar lna mengingatkan dengan nada sangat jijik, seakan-akan hal itu sangat memalukan.

“ Iya, aduh … “

“ Aduh, najis banget, deh! Masa’ bisa-bisanya gue tadi bersenggolan dengan para Sailormoon Kesasar itu! Ampun! Ki, lu harus ingetin gue untuk bersihin tangan gue pake pasir bersih sebanyak 7 kali,” celetuk Riko memotong perkataan Lita.

Riki tersenyum manis sembari menahan tawa. Ia mengangguk-angguk pelan dan terus tersenyum.

Sailormoon Kesasar itu menatap mereka garang.

“ Eh, seharusnya yang ngomong kayak gitu itu gue! Bukan lu!”

“ Kenapa harus lu?!” balas Riko.

“ Karena lu najisnya!”

Riko mendekati Lita. Perkataan Lita sudah sangat cukup membuat emosi amarahnya yang ngga kekontrol naik ke ubun-ubun kepalanya.

“ Apa lu bilang?! Gue najisnya?!”

“ Iya. Jelas, lah! Kok pake nanya.”

Riki, yang tahu banget suasana akan menjadi panas, menghampiri Riko dan menggenggam erat lengan kanan saudara kembarnya. Ia sangat hapal dengan sifat buruk Riko. Riko emang jarang peduli apakah yang di hadapannya itu cewek atau cowok. Kalau kemarahannya sudah sampai puncak dan tangannya akan mendapatkan kekuatan dasyat untuk melakukakn suatu tindak kekerasaan pada lawan bicaranya itu.

“ Eh, sadar diri lu, ya! Lu tuh yang najis dan gue jijik sama lu!”

“ Apa maksud lu?! Lu … “ Lita mengehntikan balasannya karena lengannya ditarik oleh Lara.

“ Lit, ada guru yang lewat,” bisik Lara.

Lita melirik pada Bu Peri yang berjalan di ujung koridor.” Si Peri sok cantik itu,” gumamnya.” Sampai di sini dulu pertengkaran kita, tapi bakal kita lanjutin lagi!” janjinya.

“ OK! Lu pikir gue takut sama cewek macam lu?!”

Lita ingin membalas lagi, tetapi Bu Peri kurang dari lima belas langkah lagi akan berada di hadapan mereka.

Sailormoon Kesasar itu bergegas pergi.

Riko menggeram kesal melihat kepergian Sailormoon Kesasar, tetapi warna wajahnya berubah total ketika melihat Bu Peri. Dari ekspresi penuh kekesalan berubah menjadi penuh cinta.

“ Eh, Bu Peri. Morning …,” sapanya sangat ramah.” Eh, lepas tangan lu!” ia meminta dengan berbisik pada Riki.

Riki segera melepas genggamannya. Dia tahu Riko tuh cinta mati sama Bu Peri, guru Bahasa Inggris mereka dan baru berumur 24 tahun.

Bu Peri baru aja menjadi guru honor mereka tiga bulan yang lalu ketika memasuki semester pertama. Riko langsung jatuh cinta pada Bu Peri pada pandangan pertama.

“ Nah, sayang-sayangnya Mama. Kita udah nyampe di sekolah.” Bu Clara, Mamanya si kembar, menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang sekolah. Ia memandang anak kembarnya bergantian.

“ Iya, Ma. Makasih sudah nganter kita,” ujar Riki penuh hormat.

Riko merengut kesal menanggapi kata-kata Mamanya, sangat berbeda dengan sikap hormat Riki.

“ Lho, Adek, kok pagi-pagi gini suasananya udah mendung, sih? Ntar ke siangnya jelek, lho suasana hatinya. Apa-apa jadi jelek.”

Riko melirik mamanya lewat tatapan matanya yang emang tajam.” Mama, sih. Riko tuh malu banget kalo dianter-anter kayak gini. Riko sudah kelas 2 SMA, bukan anak SD lagi, Ma.”

“ Mama tanya, nih. Jadi Adek maunya yang gimana?”

“ Riko maunya dikasih mobil, lah. Yah, paling ngga Riko dengan Riki dikasih satu mobil jadilah. Artinya kan ngga harus dianter kayak gini. Mau naik angkot, males. Jalan ke rumah kita dari lorong kan jauh banget. Pengennya kayak Dino, tuh. Dari kelas satu udah dikasih mobil. Mercy lagi.”

“ Riko! Kita berdua udah amat sangat sering membahas masalah ini. Masalah lu! Ingat! Kita ngga setajir Dino. Dia punya 12 mobil, empat rumah, dan dua villa. Sedangkan kita cukup punya satu rumah dan dua mobil. Biarlah Vios dipake mama dan City dipake Papa. Lagipula, kita kalo pulang ditebengi Dino, kok.”

“ Ah, males gue liat lu! Suka carmuk!” ujar Riko kesal dan keluar dari mobil.

“ Eh, Ko!” Riki kemudian menatap Mamanya.” Ma, Riki sekolah dulu,” pamitnya dan mencium tangan Mama.” Em, pasti omongan Riko barusan bikin Mama sedih. Maaf, ya, Ma?”

Mama mengelus rambut Riki.” Ngga apa-apa. Pokoknya tugas kamu sekarang tenangin adek kamu satu itu.”

“ Beres, Ma. Itu, sih gampang. Dibandarin di kantin, dia udah baik lagi, deh.”

“ Ya, sudah. Susul sana adekmu. Mama ngga mau dipanggil ke sekolah hanya karena dia mencari masalah dengan orang yang ngga dia kenal cuma untuk meluapkan amarahnya aja.”

Riki tersenyum sembari mengangguk. Lalu berbalik, memanggil adik kembarnya.” Riko! Ko!” panggil Riki sambil mengejar Riko, yang berjalan cukup cepat menuju gerbang sekolah.

Riko emang beda banget sama Riki, apalagi kalau soal sifat. Riki – yang terlahir lebih dulu – punya sifat yang kalem, lebih banyak mikirnya sebelum ngelakuin sesuatu, lebih bisa ngontrol emosi, dan lebih setia kalau urusan cewek. Nah, Riko kebalikannya. Ngga bisa diem, emosi kurang kekontrol dengan baik, suka nyari masalah, selalu menceploskan kata-kata yang ada di dalam hatinya ngga pake mikir lagi, juga playboy yang hebat dalam mempermainkan cintanya para cewek. Walaupun sering juga ditolak sama cewek.

Kalo soal fisik, sih mereka sama sekali ngga beda-beda jauh. Mirip banget! Sama-sama cakep, hanya saja penampilan Riki lebih rapid an bersih dibandingkan Riko yang berpenampilan urakan.

“ Riko!!!”

“ Apa?! Lu tuh, ya jadi anak car …” Riko berhenti berujar dan menoleh.

“ Riko, awas di samping kanan!” teriak Riki cemas.

Riko mengalihkan pandangannya ke tempat yang dimaskud Riki. Ia menoleh ke sisi kanannya. Ngga ada apa-apa, tuh. Apa, sih maunya tuh anak?! Mainin gue?!

“ Sebelah kanan gue, itu artinya sebelah kiri lu!” teriak Riki lagi.

Riko menoleh ke arah yang dimaksud Riki. Cukup terkejut dirinya melihat apa yang sudah ada di hadapannya, dan dengan sigap menghindari tabrakan sampai-sampai kakinya tersandung batu, yang ada di belakang kaki kanannya. Alhasil, Riko jatuh, deh dengan pantat duluan yang mencium tanah.” Aw!”

“ Riko?!” Riki berlari menghampiri Riko.” Lu ngga apa-apa?” Dia membantu Riko bangun.

“ Ngga apa-apa. Siapa, sih yang berani-beraninya nabrak gue?! Nyari masalah sama gue, ya?! Belum tahu siapa gue kali, ya?!” Riko menatap tajam kendaraan, yang hampir saja menabraknya.

Pengemudi kendaraan itu menurunkan penumpangnya.

Mata Riko terbelalak antara kaget dan takjub. Ia melihat seorang cewek, yang cantik nan manis. Rambut panjangnya tertepa angina sepoi, matanya bulat, bulu matanya hitam nan lentik, dan bibirnya … pink banget. Gadis itu menoleh pada Riko.

“ Kamu ngga apa-apa?”

Suaranya lembut banget. Kayak suara lembut Mama.” Ah, ngga. Gue ngga apa-apa, kok. Jangan cemas.” Riko buru-buru berdiri dengan dibantu Riki.

Riko memperhatikan cewek itu dan baru menyadari kalau cewek itu ngga pake seragam sekolah. Cewek itu memakai pakaian seperti karyawan kantoran. Baju putih berlengan panjang dengan renda-renda dan rok span di bawah lutut bewarna hitam. Manisnya.

“ Kalian berdua sekolah di sini?”

“ Iya!” Jawab Riko cepat, ngga mengizinkan Riki ikut menjawab. Ia menatap Riki sekilas dan menaik-naikkan alis matanya.

Untuk sesaat Riki ngga ngerti apa maksud kode Riko tersebut, tapi beberapa detik kemudian dia berucap,” oooo” di dalam hati.” Ko, gue duluan, ya? Gue hari ini piket.”

Heh, pergi juga lu akhirnya.” Iya.” Riko sedikit bernafas lega.

Riki sempat menepuk pelan bahu Riko sebagai ucapan good luck.

Selepas kepergian Riki, dengan cepat Riko mengendalikan keadaan.” Em, ada yang bisa gue Bantu?”

“ Bisa tolong temenin Saya ke kantor Kepsek?” pinta cewek itu halus.

“ Bisa.” Dengan senang hati.

Cewek itu tersenyum.” Eh, ntar, ya.” Ia menghampiri tukang becak, yang ia tumpangi tadi.” Pak, ini.” Ia memberikan selembar uang sepuluh ribu.

Tukang becak itu mengambil uang tersebut.” Ntar, ya Mba' kembaliannya…”

“ Oh, ngga usah. Kembaliannya buat Bapak aja.”

Wah, baik banget nih cewek. Bener, kayak bidadari.

“ Hah? Tapi, Mba'?”

“ Sudah, ngga apa-apa, kok.”

“ Kalau begitu, terima kasih ya Mba'.”

“ Iya.”

“ Saya permisi. Yok, Mba', Mas. Mas, maaf, ya tadi hampir ketabrak. Stang-nya agak susah dikontrol.”

“ Oh, iya. It’s OK. Ngga masalah, kok,” ujar Riko padahal dia sebelumnya bermaksud untuk menjotos tukang becak itu sampai babak belur.

“ Maaf, nama kamu siapa, ya?” tanya cewek itu selepas kepergian tukang becak dan mengajak Riko masuk ke sekolah itu.

“ Riko. Nama panjangnya, sih … Ah, ngga usahlah.”

“ Lho, kenapa?”

“ Gue sendiri sering lupa dan salah sebut sangking panjangnya tuh nama. Kalo kamu? Nama kamu siapa?”

“ Peri. Lengkapnya Periska Arika Anggraini.”

“ Peri? Kamu emang kayak bidadari,” lirih Riko.

“ Ha, apa?”

Riko dengan cepat mencari-cari alasan.” Berarti manggilnya Peri, dong? Wah, imut banget.”

“ Orangnya?”

“ Namanya, sih, tapi orangnya juga sangat imut dan manis banget.” Riko mulai mengatakan kata-kata gombalnya. Gombal? Ngga lah. Tuh cewek cantiknya emang ngga ketulungan.

“ Yang tadi itu kembaran kamu, ya? Mirip banget.”

“ Oh, Riki? Iya. Nah, saudara gue itu yang paling hapal nama lengkap kami berdua. Ngga tau deh gimana dia bisa inget empat kosa kata panjang itu.”

Peri tertawa pelan.” Kamu lucu banget, deh.”

Riko menikmati tawa Peri yang anggun.

“ Lho, Ki? Kok sendirian?” tanya Dino. Ia melihat Riki, yang memasuki kelas seorang diri. Kok ngga bareng Riko? Udah dipecat tuh cowok dari kembaran Riki?

Kebetulan hari ini Dino dibangunkan jam setengah enam pagi oleh Tabhita dengan siraman air. Mau tidur lagi tapi ngga bisa karena Mba'-nya itu mengancam akan merebut PS 2 milik adiknya itu.

“ Riko lagi sama cewek.” Riki duduk di tempat duduknya, yaitu di belakang Dino.

Dino membelokkan tubuhnya ke arah Riki.” Sama cewek? Siapa? Amel anak 10 IPS 3? Mutia anal 11 IPA 2? Atau …”

“ Bukan,” potong Riki.” Bukan anak sekolahan sini.”

“ Jadi?” Dino makin ngga ngerti.

“ Gue juga ngga tahu anak mana, tapi kayaknya lebih tua dari kita.”

“ Apa?! Riko suka sama daun tua?! Berapa tahun di atas kita kiranya?”

“ Gue, sih ngga tahu pasti, tapi kayaknya dua puluh tahunan, deh. Eh, tuh dia datang.”

Dino dengan cepat menolehkan wajahnya.” Woi, Ko! Kenapa lu senyam-senyum ngga jelas gitu?!”

Riko datang sembari sengah-sengeh sendiri. Dia menghampiri Dino dan duduk di sebelahnya. Bangku Riko memang disitu. Senyuman ngga pernah jauh dari wajahnya.

“ Woi, Wakepsek mau masuk kelas kita. Jadi, gue harap kita semua tenang,” lapor Diding, yang baru aja memasuki kelas. Diding ini ketua kelas di kelas ini.

“ Ngapain Wakepsek masuk kelas kita? Pagi-pagi gini lagi,” tanya Dino bingung.

“ Iya! Bel juga belum,” celetuk Riko asal.

Mata anak-anak satu kelas langsung menatapnya malas.

“ Woi, sadar, Ko! Gue datang tadi bertepatan banget dengan bel.”

“ O, ya. Lu kan Dino. Udah nyampe. Jadi, ngga mungkin bel belum bunyi. Tapi, ini cukup kepagian buat lu.”

“ Gue dibangunin sama Nenek Lampir brengsek itu dengan siraman air.”

“ Wah, kasian banget sobat gue ini.”

“ Ssst!!!” ujar Diding dari tempat duduknya.

Sontak, anak-anak kelas mengikuti kata kepala suku mereka.

Suasana hening mengiringi masuknya seorang pria paruh baya ke dalam kelas. Ia memakai pakaian dinas biru. Kumis nih Bapak ngga nahan, deh. Ia berdiri di tengah-tengah ruang kelas dan matanya tajam menatap ke seluruh isi ruang kelas.

“ Pagi, anak-anak!”

“ Pagi, Pak!” sahut mereka serentak. Suara Dino dan Riko yang terdengar paling kencang.

“ Selama ini Pelajaran Bahasa Inggris kalian diajar oleh siapa?”

“ Bu Paulina!!!” Lagi-lagi suara Dino dan Riko yang menjawab paling kencang.

“ Nah, untuk semester akhir ini Bu Paulina ngga bisa mengajarkan kalian lagi.”

“ Lho, kenapa, Pak?” tanya Dino ngga mengerti. Dia banyak ngga mengertinya, deh hari ini.

“ Karena Bu Paulina akan melanjutkan S2-nya di Sydney.”

Riko langsung terperanjat.” Waduh, gawat. Bakal jelek, deh nilai Bahasa Inggris gue semester ini. Semester kemaren kan nilai gue bagus karena berhasil macarin anak Bu Paulina. Trus kalo ngapel, gue selalu bawa macem-macem. Mati gue!” bisiknya.

“ Rasain lu!” balas Dino senang. Emang dari kelas satu dulu, nilai Bahasa Inggris Riko mencapai nilai 8 di rapor. Padahal, nih anak kan cuman tahu OK, Yes, sama No aja. Sedangkan Dino, paling bisa soal Bahasa Inggris. Nilai rapornya juga mencapai angka 8. Jadi, ngga adil!

“ Dino, Riko, sudah mengerti?” Pak Wakepsek menanyakan hal itu karena ia melihat Dino dan Riko sedang berbicara pada saat ia berbicara.

“ Sudah, Pak. Silahkan dilanjutkan lagi pengumumannya, Pak.”

“ Untuk itu, semester ini kalian akan diajar oleh guru honor, yaitu Bu Peri.”

Mata Riko melotot. Ia memandang ke arah pintu masuk dengan penuh harap.

“ Bu Peri, silahkan masuk.”

Bu Peri masuk dengan background decakan kagum dari anak-anak cowok.

“ Ini guru baru kalian.” Pak Wakepsek memandang Bu Peri.” Kalau begitu, Saya tinggal, ya?”

“ Ya, terima kasih, Pak.”

“ Saya permisi dulu Anak-anak. Pagi!”

“ Pagi, Pak!” Suara anak-anak cowok memudar pada sahutan kali ini, yang terdengar mayoritas suara anak-anak cewek, karena anak-anak cowok sibuk memperhatikan kecantikan Bu Peri.

“ Morning, Class.”

“ Morning!!!” Suara anak-anak cowok membahana bahkan lebih dahsyat daripada sebelumnya.

“ OK! I will introduce my self. Do you know my name, Class?”

“ PERI!”

“ PERISKA ARIKA ANGGRAINI!!!” jawab Riko lantang.

Dino terheran-heran mendengarnya, begitu juga anak-anak cowok yang lain. Mereka berdo’a dalam hati,” semoga aja guru yang cantik ini bukan salah satu mantan Riko.” Karena siapapun cewek yang pernah jadi pacar Riko, pasti anak-anak pada malu mengakuinya. Karena Riko hobi banget ngejek cowok yang memacari mantannya. Kok mau, sih sama bekas gue. Gitu katanya. Paling juga kalau ada yang mau, dia pasti menyembunyikan statusnya daripada diejek Riko.

“ Riko,jawaban kamu bener. I like that.”

Dino menatap Riko heran. Sahabatnya itu tatapan matanya terlihat bersinar dan senyuman bahkan lebih ke nyengir ngga pernah luput dari wajahnya.

Dino menatap Riki, yang kelihatan anteng-anteng aja, untuk meminta penjelasan.

Namun Riki hanya menjawan dengan delikan bahu, membuat suasana ini kian misterius.

Sejak saat itulah, Riko merasa bahwa hanya dirinya satu-satunya yang paling mengenal Bu Peri daripada orang manapun di sekolahan itu.

Bu Peri memandang kepergian Sailormoon Kesasar.” Kalian berantem lagi sama mereka?” tanyanya ketika berada di hadapan Riko dan Riki.

“ Iya, Bu,” jawab Riko bersemangat.

“ Iya Bu! Riko tadi hampir aja ngegampar Lita, untung Riki yang dengan sigap menahan Riko,” teriak Dino dari tempatnya.

Riko melotot kesal tetapi menyembunyikan kekesalannya dari Bu Peri. Dino brengsek! Muncungnya itu selalu aja kebuka di saat yang danger. Awas lu! Gue kasih makan cabe segerobak mulut lu itu, baru tahu rasa lu!

“ O, ya? Bener begitu Riki?”

“ Em, ya … kurang lebih begitu, Bu.” Riki menjawab ditengah-tengah pilihan sulit. Ngga ingin menyudutkan saudara kembarnya dan ngga ingin berbohong.

Bu Peri menatap anak murid kesukaannya.” Riko, lain kali jangan berbuat seperti itu, ya? Lagipula Lita itu kan cewek. Kamu menghormati cewek, kan?”

“ Pasti, dong, Bu!” Jawab Riko benar-benar bertentangan dengan hati nuraninya. Gue cuma repect sama dua orang cewek. Mama dan kamu, Peri.

“ Lain kali emosinya dijaga, ya, Ko?”

Riko mengangguk pasti, terkesan sok imut.

Bu Peri beralih memandang Dino, yang kembali sibuk membersihkan gudang.” Lho, kenapa Dino ada di gudang? Bukannya kalau istirahat gini kalian hobi nongkrong di kantin?”

“ Wah, Dino, sih telat dijadiin hobi, Bu. Itu hukuman yang dia dapat dari Pak Khaidir. Bersihin gudang. Makanya jangan telat!” Riko mencoba membalas dendam.

“ Berarti dari tadi, dong Dino bersihin gudangnya?”

“ Iya, Bu. Dari jam delapan kurang. Sejarah sama Agama dia ngga masuk tadi.” Riki mewakilkan Dino untuk menjawab.

“ Kalau gitu, sudahkan saja hukumannya.”

Riko memandang pujaan hatinya itu heran. Seharusnya Bu Peri makin memarahi anak satu ini. Tapi, kok? O, iya. Peri-ku tersayang memang baik hati dan sangat lembut.

“ Tapi, Bu. Pak Khaidir ntar marah lagi.”

“ Dino, biar Ibu yang tanggung jawab sama Pak Khaidir. Ibu kan ngga pengen kamu juga melewati pelajaran Bahasa Inggris sehabis keluar main ini. Dino, kamu juga Ibu tambah waktu istirahatnya 15 menit lagi. Jadi, masuk telat ke kelas Ibu ngga apa-apa. Kalian berdua temani dia, ya. Nanti setelah itu ke labor Bahasa Inggris. Kita belajar listening hari ini.

Riki mengangguk pelan.

“ Bu PERIII!!!” panggil Dino dari tempatnya.

Bu Peri menoleh juga Riki dan Riko.

Thank you, I’m fall in love with you!!! Love you so much! So much!!!”

Riko lagi-lagi melotot kaget. Ia memandang cepat Bu Peri yang langsung memerah mukanya kemudian kembali pada Dino, yang terlihat sama sekali ngga merasa bersalah. Dino!!! Muncung lu itu! Seharusnya kata-kata Inggris yang gombal itu keluar dari mulut gue!!!




1st Chapter by Rosa Kartiksari

No comments: