Sunday, February 15, 2009

Elegi Buat Ricci

Pijar

Dunia ini ruang/menaungi setiap jiwa/mendekap erat takdir/dalam jiwa-jiwa/yang terekam jelas dalam peran dan sandiwara/hingga nanti menuju cahaya.

“tunjuk satu bintang”, katamu

mengawali pembicaraan yang terhenti ketika aku mulai kehabisan kata-kata. Ohh..I'm speechless and out of words.

aku hanya terdiam dan bersegera memilihkan bintang yg terindah untuk memenuhi perintahmu itu.

malam ini memang lain dari biasanya. Langit penuh bintang dan bulan tidak sombong untuk tersenyum bercahaya. Dan di sini, di sebuah taman, tempat orang-orang biasa menghabiskan malam. Aku dan kamu tidur berbaring di rumput. Beralaskan tikar sederhana dan beratapkan langit. Sangat romantis. Walau sedikit gatal memang.

“yang ini bagaimana ?”, tanyaku

sambil menunjukkan bintang yang paling terang di antara sekawanan rasi bintang. Aku rasa itu Orion. Aku juga tidak yakin. Hanya menduga.

“yang ini, boleh”

“sekarang utarakan harapanmu, biar bintang dan aku yang jadi saksinya”, katamu

aku masih bertanya-tanya apa sebenarnya maksud ini semua. Namun, aku tetap saja tidak bisa menolak perintah cleopatra yang satu ini.

“sudah?”

“apa yang kau harapkan?” tanyamu

aku berpikir sejenak dan mencoba mencari di setiap sudut pikiranku di mana tadi kuletakkan jawaban pertanyaan itu.

“aku mengharapkan sesuatu tentang kamu, aku, dan masa depan”, jawabku sekenanya

di dalam pikiran, aku berusaha memahami jawaban yang terlontar dari mulutku tadi. Terasa aneh di mulut. Seperti ada serangan frontal dari arah kerongkonganku. Tidak biasanya aku begitu bijaksana. Tapi jawabanku malam itu menegaskan, mungkin jika dilatih aku bisa jadi orang yang berwibawa. Atau malah mungkin jadi penipu. Tikus berdasi.

“aku ingin terus melangkah jauh dengan kamu, dan itu hanya aku dapatkan dengan masa depan” jawabku lugas

Kamu terdiam. Memandangi wajahku serius. Raut mukamu berubah tegas. Aku tidak bisa membaca dengan jelas apa yang ada dalam pikiranmu. Matamu menyipit seolah mencurigaiku. Kau berubah horror. Aku tidak berani menatap matamu.

Aku juga diam. Sesaat aku memutuskan untuk membalasnya dengan lesung pipit yang muncul saat bibirku terkatup. Kuletakkan kedua tanganku di kedua pipimu. Aku pandangi wajahmu. Dan aku yakin gejolakmu sudah reda. Aku menghabisimu dengan chemistry. Melucuti kecurigaanmu dengan kelembutanku. “Habislah engkau”, pikirku

Dugaanku salah. Mendung itu tak beranjak dari wajahmu. Kau malah meradang. Alis matamu beranjak naik. Wajahmu berubah antagonis. Kau naik pitam. Tapi tetap kau terlihat cantik. Kau tetap terlihat seperti mawar bagiku. Walau kali ini durinya yang lebih kelihatan.

“Dasar tukang bohong, penipu”, katamu sinis

“Bagaimana kau menjelaskan masa depan dengan keadaan kita seperti ini?”, lanjutmu dengan nada geram

Kau marah. Jelas sekali tergambar di roman mukamu. “Biasanya kau tidak seperti ini, sayang”, pikirku. Pasti ada sesuatu yang kau simpan selama ini. Sesuatu yang kau sembunyikan dalam semburat raut wajah manismu selama ini. Rupanya kau pun berpura-pura. Kau berakting. Kau bermain peran, sayang.

Namun aku juga melihat sedikit ketakutan di wajahmu. Sedikit ketakutan yang bercampur dengan rasa ragu, getir, dan kekecewaan. Aku bisa membacanya. Entah mengapa.

“Memangnya ada apa dengan kita?”, aku balik bertanya

“Kita kan baik-baik saja”

seolah-olah aku tidak tahu apa yang sedang kau hadapi. Sebuah pertanyaan retoris yang seharusnya tidak usah dilontarkan. Aku juga tidak tahu kenapa mulut ini tidak mampu menahannya untuk terucap.

Aku memang tidak terlalu cerdas untuk membaca pikiran ataupun gerak-gerik seseorang. Namun, kau pacarku. Sudah 8 aku pacaran denganmu. Pasti aku bisa menebak sedikit demi sedikit pikiranmu, hatimu, dan perasaanmu. Aku bisa merasakannya setiap kali kau dekat. Aku bisa merasakannya walau kau jauh. Aku bisa meraba suasana hatimu. Aku yakin itu.

Aku ingin kau tahu aku juga merasakan hal yang sama. Aku merasakan kemarahanmu. Aku merasakan ketakutanmu. Aku bahkan merasakan kegetiranmu. Dalam setiap aliran darahku, aku ikut merasa. Ada koneksi non-inderawi yang mengikat kita seperti simpul erat. Mungkin ini yang disebut firasat. Entahlah.

Untuk kedua kalinya, kuletakkan kedua tanganku di kedua pipimu. Tapi kali ini aku aku tidak memandangimu. Aku hanya mampu tertunduk. Aku mencoba berempati. Aku yakin gejolakmu akan segera reda sebentar lagi. Karena hujan sudah terlihat membanjiri matamu.

Kau mulai menangis. Sendu. Sedikit terisak. Namun suaramu parau seperti ingin teriak tapi tidak bisa. Serak. Aku tidak bisa membayangkan seseorang dengan suara seperti itu bernyanyi seriosa. Telingaku akan pekak. Hatiku akan merasakan pilu. Yang memakan setiap gerak siku.

Kau tak perlu mengatakannya. Aku sudah merasakannya. Tidurlah sayangku. Tidur di pelukanku. Biar sedikit beban itu aku yang memikulnya. Aku tulus. Aku ikhlas. Biarlah sayap ini aku pinjamkan sejenak padamu. Agar dia dapat menopangmu dari kelelahan berjalan. Dari rimba kehidupan kejam.

Perlahan pejamkan matamu. Biarkan bahuku menyerap perihmu. Agar esok pagi datang pada waktunya. Kau akan berpijar. Walau tidak benderang. Walau hanya sepercik.

Kau adalah cahaya.



1st Chapter by Purna Cita Nugraha

No comments: