Tuesday, February 10, 2009

Lilin Kecil

Kamu serius, Mon?”

Yup.

“Mmm...”

Kenapa? Ada yang salah?

“Tidak. Hanya saja...”

Hanya saja apa?

“Oh...kau tahulah. Kau dan dia, mmm..., kalian tidak terlihat cocok.”

Kenapa?

“Yah...kalian seperti berasal dari planet yang berbeda.”

Benarkah?

“Lagipula dia bukan tipe pria yang kami pikir bisa mendampingimu.”

Kau salah, teman, sahutku dalam hati. Dari awal aku melihatnya ada semacam perasaan aneh, gelitik panas dalam perutku, yang mengatakan bahwa dia dan aku tak akan bisa lepas satu sama lain. Perasaan yang baru bisa kumengerti di kemudian hari.

“Kau dengan kompleksitasmu dan dia dengan kesederhanaannya.”

Tidak. Kau salah lagi. Aku sama sekali tidak kompleks meski kalian menganggapnya begitu. Dan dia sama sekali tidak sederhana. Jangan jadikan apa yang terlihat sebagai tolak ukur. Apa kau tidak mengerti? Setiap manusia merepresentasikan fenomena gunung es . Apa yang ada dibawah permukaan airlah yang terpenting.

“Yah oke, kita lihat saja perkembangannya nanti.”

***

Bagi sebagian orang, hari H pernikahan bisa menjadi hari yang paling ditunggu. Bagiku, sama saja dengan perempuan-perempuan lain. Biarpun sama sekali tak ada niatan untuk menjadi bridezilla, tetap saja aku kalang kabut mempersiapkan segala sesuatu. Biarpun tak berniat menjadi putri sehari dalam negeri dongeng, aku toh menginginkan segala sesuatunya berjalan sempurna. Merasa tertekan dan senang pada saat yang sama. Pemesanan tempat, gaun, make up, bunga, altar, tart, pengiring, dan...tentu saja sang mempelai pria.

Adalah Dony yang berhasil membuat pandanganku tentang dunia berubah. Dari wanita modern yang menghadapi hidup seakan dalam drama getir yang penuh sarkasme menjadi wanita yang lebih terbuka. Kalau selama ini hidup kujalani dengan berusaha memahami orang lain, maka bersama Dony kujalani hidup dengan memahami diriku juga.

Kami adalah dua kutub yang berlawanan tetapi saling menarik satu sama lain sedemikian kuatnya. Optimisme milikku tetaplah nomor satu dan pesimisme Dony melengkapinya. Bukan hal yang buruk. Caraku memandang dunia ibarat caraku mengemudikan mobil. Pedal gas yang terus terinjak dengan keengganan menyentuh pedal rem bisa membuatmu menabrak. Jadi Dony mengajariku untuk menginjak rem sesekali. Tentu saja, adakalanya kami berargumen tentang pedal mana yang seharusnya diinjak. Argumen yang bisa berujung pada dua kemungkinan, keributan besar atau candaan konyol.

Bagiku hidup adalah drama, bagi Dony hidup adalah realita. Kadang aku merasa kesal dengan caranya memandang hidup seakan tak ada hal positif di dalamnya. Sedangkan Dony, seringkali dia merasa jengkel dengan cara berpikirku yang menurutnya berlebihan. Aku melihat bunga bermekaran kemanapun kami pergi tapi yang dilihatnya hanyalah hamparan rumput hijau. Kami memang berbeda. Cara kami dibesarkan tidaklah sama, cara berpikir dan menghadapi segala sesuatu sama sekali tidak mendekati mirip. Dia adalah simbol tingginya ego pria, lambang kekerasan hati yang anehnya selalu ingin disayang. Sedangkan aku adalah semua kebalikannya dengan kebutuhan untuk dipedulikan.

Semua orang mempertanyakan, bahkan aku sendiri pun pernah mempertanyakan dengan kesadaran penuh, bisakah dua orang yang demikian berbeda melebur jadi satu? Lalu aku akan teringat pada sebait doa yang dulu selalu kuucapkan setiap malam, tepat sebelum tidur :
Tuhan, aku tidak minta banyak karena aku tahu Kau bukanlah jin dalam lampu wasiat.

Yang kubutuhkan adalah orang yang mampu membuatku menjadi manusia yang lebih baik.
Itu saja.

Dan ketika aku membuka mata, disanalah dia. Dony.

***

Kau bercanda ya?

“Tidak.”

Ayolah, jangan main-main. Aku bisa marah.

“Aku juga bisa marah kalau terus-terusan kau anggap main-main.”

Kau sedang membodohiku.

“Tidak, aku serius.”

Benarkah?

“Ya. Jadi?”

Mmm...jadi....

“Jawab saja.”

Iya, kataku dalam hati.

“Apa?”

“Ya.”

***

Tidak ada jalan bebas hambatan yang benar-benar tanpa hambatan. Aku dan Dony bekerja keras pada awalnya. Kebingungan memilah mana yang menurut masing-masing benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Sampai pada akhirnya kami menemukan satu titik, tidak dalam waktu bersamaan, bahwa perbedaan bukanlah virus yang harus disingkirkan. Mematikan memang, tapi hanya apabila kita menganggapnya demikian. Bagi kami, perbedaan itu adalah sesuatu yang rumit sekaligus sederhana. Kau akan merasa bisa memahami tetapi juga sulit untuk mengerti pada saat yang sama. Dan hei! Bukankah bumi berputar dengan bermacam perbedaan di tiap belahannya? Dia berjalan seiring dengan persamaan. Kalau kita mampu bersahabat dengan persamaan, mengapa harus bersikap tak adil terhadap perbedaan?

Jadi begitulah akhirnya. Kami berjalan bersama segala kemiripan dan perbedaan yang ada, berusaha menyelaraskan satu sama lain, jatuh dan bangun berdua sampai suatu hari memutuskan untuk hidup bersama. Bukan sebagai pasangan dalam negeri dongeng yang bahagia selamanya melainkan sebagai dua manusia dewasa yang sadar keduanya tak sama tapi mau menerima apapun yang tak sama itu. Kami putuskan untuk menikah. Saling terikat komitmen tapi bukan mengikat dalam arti negatif. Dia masih tetap bisa keluar bersama sahabat prianya dan aku masih tetap bisa menjelajah tempat belanja bersama sahabat perempuanku. Kami hanya harus mengurangi kadarnya agar tersedia waktu pribadi untuk berdua. Kalau ada yang bertanya apa arti pernikahan maka kami akan menjawab sambil berkelakar, seperti bermain rumah-rumahan dengan tanggung jawab orang dewasa. Dalam senang atau susah, kaya atau miskin, sehat atau sakit, sampai maut memisahkan.

Ketika maut itu akhirnya datang seperti pencuri yang tak diduga-duga, dia mengambil apapun milikmu yang paling berharga. Aku sedang menunggu Dony di rumah waktu itu. Dengan gaun pengantin dan make up lengkap, siap untuk menjadi mempelai paling bahagia di dunia. Sesuai tradisi leluhur, akan ada beberapa ritual yang harus kami lakukan bersama keluarga. Sup misoa dalam mangkuk-mangkuk kecil berwarna merah telah disiapkan di atas baki. Beras kuning yang sedianya akan ditaburkan nanti. Huruf Mandarin dengan berbagai arti yang mendoakan segala macam kebaikan terpasang di beberapa tempat, berdampingan dengan pita-pita merah. Entah kenapa semua warna merah itu lebih membuatku merasa tertekan ketimbang senang.

Bersamaan dengan bulir keringat yang mengalir turun pada dahiku, telpon berdering. Aku ingat dengan jelas siapa yang menelpon dan kata-kata apa yang diucapkan padaku saat itu. Kalau kupejamkan mata, bisa kurasakan lagi dan lagi dan lagi, apa tepatnya yang kurasakan waktu itu. Seluruh tubuh yang bergetar menahan tangis dan tungkai kaki yang melemas tiba-tiba. Aku limbung. Histeris dan terpukul.

***

“Menurutmu siapa di antara kita yang akan hidup lebih lama?”

Entahlah. Kau mungkin.

“Mengapa?”

Aku tertawa. Aku bukan pecandu hidup sehat. Ketimbang satu jam lari di tempat dengan treadmill, aku lebih baik menghabiskan setengah hari mengitari seisi mall. Kalau menurutmu, siapa yang akan hidup lebih lama?

“Kau!”

Aku?

“Ya, kau!” Dony tertawa.

Aku tidak mau ditinggal sendirian.

“Tidak,” sahutnya, “kau tidak akan sendirian. Akan ada teman-teman yang bisa menghiburmu. Dan pada saatnya nanti akan ada orang lain yang bisa menemanimu selamanya.”

Tidak mau! Tidak ada yang bisa menggantikan tempatmu.

“Benarkah?”

***

Hari pernikahan kami malah jadi hari kematian bagi Dony. Mobil yang ditumpanginya dihantam sebuah truk besar yang melaju kencang menerobos lampu merah. Entah sopirnya mengantuk ataukah mabuk. Aku tak pernah tahu. Pengecut itu kabur dan tak pernah tertangkap. Maka aku mengutuk hukum dan semua penegaknya.

Dony masih hidup ketika dibawa ke rumah sakit terdekat. Tapi para doketr malah meminta dia dibawa ke rumah sakit lain yang lebih besar dengan alasan peralatan mereka kurang memadai. Dalam perjalanan ke rumah sakit yang lebih besar dia menghembuskan napas terakhirnya. Pada saat itulah telponku berdering dan ibunya memberitahu tentang kondisi Dony. Maka aku mengutuk semua tenaga medis dan kebodohan mereka.

Pada saat pemakaman, aku berdiri dengan dagu terangkat. Berusaha untuk menampilkan sosok tegar. Tetapi ketika semua teman yang kukenal mulai menangis sesenggukan, airmataku pun ikut mengalir. Sekejap kurasakan memori Dony dengan kami semua di dalamnya berputar dalam kepalaku. Maka aku mengutuk semua teman yang membuatku menitikkan kristal bening itu. Aku bahkan mengutuk diriku sendiri. Karena menjadi orang lemah tak berdaya yang tidak mampu mengubah keadaan.

Lalu beberapa hari kemudian ibu Dony memintaku datang ke rumahnya sehubungan dengan pembacaan surat wasiat Dony. Tak seorang pun yang tahu kapan dia membuat surat itu, tidak juga aku. Sang pengacara mengatakan surat itu dibuat tak lama sebelum Dony meninggal. Firasatkah?

Apartemen yang akan kami tempati bersama setelah menikah, seandainya Dony masih hidup, diwariskan kepadaku. Perusahaan miliknya diberikan kepada keluarga. Sudah semestinya. Semua kekayaan Dony yang tersimpan di bank akan dibagi 50 persen untuk keluarganya, 20 persen untukku, dan sisanya sebesar 30 persen diberikan pada Donna. Aku dan keluarganya saling berpandangan. Disebutnya namaku dalam pembagian itu sudah cukup membuatku merasa tak enak. Dan siapa pula Donna?

Pasal terakhir dibacakan oleh pengacara sambil memandangiku lekat-lekat. Dikatakan bahwa Dony secara pribadi memintaku untuk mengasuh dan merawat Donna hingga dia dewasa, serta menganggapnya seolah dia anakku sendiri. Dia percaya aku mampu melakukannya dengan baik. Ketika pengacara itu berkata bahwa Donna adalah putri Dony, kami semua seperti disambar petir di siang bolong. Aku, ayah dan ibunya, serta saudara-saudara Dony.

Maka aku mengutuk Dony atas ketidakjujurannya dan sekali lagi mengutuk diri atas kebodohanku selama lima tahun kami berhubungan.

***

“Kau ingin punya anak berapa?”

Tidak ada.

“Pembohong. Kau kan selalu jatuh cinta pada setiap anak kecil yang kita temui.”

Aku tertawa. Aku memang suka anak-anak tapi bukan berarti aku ingin punya satu. Kau pikir mudah merawat anak?

“Ah...mereka kan seperti boneka kecil yang kerjanya makan, tidur, dan buang air.”

Aku mengernyit. Kalau kau belum tahu, biar kujelaskan mekanisme bayi dalam hidup orang dewasa.Begitu mereka lahir, takdir hidupmu sudah digariskan. Ketika mereka baru lahir, kau dan aku akan merasa dia bayi kecil paling tampan atau paling cantik di dunia. Sebulan setelah pulang dari rumah sakit, kau akan merasa dia terlalu berisik di malam hari dan kurang menyenangkan di siang hari. Ya, kerjanya hanya makan, tidur, dan buang air. Omong-omong, apa kau mau menggantikan popoknya?

“Tidak,” Dony menyeringai jijik.

Ketika dia sudah bisa berjalan bahkan berlari, kau akan capek setengah mati membuntutinya kemana-mana dan menemaninya bermain. Belum lagi barang-barang yang akan dia banting dan tembok yang akan dicoret-coret. Lalu kalau dia sudah mulai berceloteh, kau akan kesulitan menyuruhnya diam. Dan waktu dia beranjak remaja, kau akan menjadi musuh nomor satu yang dihindarinya. Saat dia dewasa, untuk sekedar mengunjungimu saja dia akan berpikir lama sekali. Punya anak itu menuntut banyak waktu, biaya, dan yang terutama perhatian. Kau mampu memberikannya?

“Kan ada kau sebagai ibunya,” Dony menyeringai, kali ini penuh kepuasan.

***

Sekali lagi Ibu Dony memintaku datang ke rumahnya. Donna akan dipertemukan dengan kami. Setelah satu jam menunggu dalam ketegangan, setelah percakapan yang penuh dengan praduga tak jelas dan kecemasan, datanglah dia. Gadis kecil berbaju putih dengan ekor kudanya. Ibu Dony bergegas menghampiri dan aku mengikuti di belakangnya. Sekali lagi perutku dijalari semacam gelitik panas, sama seperti yang kurasakan ketika bertemu Dony untuk pertama kali.

Canggung dan bingung. Itulah yang kami semua rasakan. Ragu-ragu antara ingin memeluk atau hanya menjabat tangan si gadis kecil. Diluar dugaan gadis itu menghampiri aku, meraih telapak tanganku dan menggenggamnya dengan mantap.

“Mona,” sapanya dengan bola mata hitam yang menantang berani.

Seandainya Donna hanyalah gadis kecil yang kutemui di mall atau taman sedang berjalan-jalan dengan orang tuanya, maka aku pasti akan jatuh cinta padanya. Matanya yang tajam, rambut coklatnya yang halus, kulit sewarna gading, dan bibir tipis yang sempurna. Tapi dia tidak seperti itu. Donna adalah putri Dony dengan perempuan lain. Memikirkannya saja membuatku marah. Dan sekarang Dony memintaku untuk mengasuhnya. Terlebih lagi dia ingin aku menyayangi Donna layaknya putriku sendiri. Apa yang dia pikirkan? Beritahu aku, bagaimana cara melakukannya sementara setiap aku memandang wajah Donna yang terlintas di benakku adalah ketidaksetiaan Dony. Bagaimana aku bisa sayang padanya jika setiap melihatnya aku dibakar amarah hebat? Memang benar setiap manusia yang meninggalkan dunia ini akan meninggalkan kesan bagi orang-orang di sekitarnya. Dony begitu sukses menorehkan sakit hati mendalam pada setiap denyut jantung dan helaan napasku. Seakan belum cukup, dia membuatku hidup bersama sakit hati itu sampai berkembang dewasa.

Ibu Dony meremas pundakku, menyadarkan dari lamunan. Dia hanya memperhatikan Donna dari helai rambut teratas sampai ujung jari kaki. Tidak ada keinginan untuk menyentuh cucunya. Demikian pula anggota keluarganya yang lain. Beberapa hanya diam, yang lain berbisik-bisik sumbang. Tak satupun yang mendekat. Donna tidak diterima di rumah ini. Maka mengertilah aku mengapa Dony menyerahkan Donna padaku. Dia menggunakan kelemahan hatiku. Aku yang selalu tidak tega melihat orang lain kesusahan. Aku yang selalu dijuluki sok pahlawan olehnya. Aku yang saat ini nyata-nyata dimanfaatkan oleh Dony. Dan aku memang tidak bisa membiarkan anak perempuan Dony terkatung-katung tak jelas. Aku memang tidak akan tega. Walaupun itu anak perempuan lain.

***

“Aku tidak akan seperti itu.”

Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Kalimat itu seperti suatu jargon bagi kalian.

“Tapi aku memang tidak seperti itu. Bagiku menghadapi satu perempuan saja sudah cukup sulit dan membingungkan. Mana mungkin aku punya dua atau tiga.”

Itu juga jargon para lelaki.

Dony tertawa. “Ayolah, Mona. Don’t be too sceptical. Tidak semua pria brengsek. Aku tidak.”

Oh yeah. Yang paling ngotot tak bersalah biasanya yang paling brengsek

“Hei! Tenang saja, oke? Aku tidak akan menjadi salah satu dari pria-pria itu. Aku bukan ayahmu atau kakak-kakakmu, atau anggota keluargamu yang lain.”

Oke, aku percaya.

Tidak, tidak percaya, teriakku dalam hati. Tidak akan bisa percaya seratus persen. Entah mengapa aku memiliki perasaan seperti itu.


1st Chapter by Hany Mustikasari

No comments: