Prolog
“Kamu kenapa?”
“Habis perang!”
“Hah?”
“Hiks ... hiks ... hiks .... Kenapa sih mereka semua jahat sama aku?”
“Jahat? Jahatnya gimana?”
“Aku digencet habis-habisan di sana!”
“SMP Aria? Oh, kamu murid baru yang lagi MOS, ya?”
“Huwee .... hiks .... hiks ...!”
“Kok nangisnya tambah kenceng?”
“Aku benci MOS!!!”
“Hahahaha .....! Sama, dong!”
“Hah?”
“Aku juga benci MOS.”
“Kenapa?”
“Aku juga kan lagi MOS! Tuh!”
“SMA Pratama?”
“Yep. Sekolah khusus putra.”
“...... Homo ya?”
“APA? Ngaco! Bukan berarti, tau! Dipaksa masuk ke sana sama orangtua. Padahal aku maunya masuk ke sekolah negeri biasa.”
“Oo .....”
“........”
“........”
“........”
“Hiks ... hiks ... hiks ....”
“Lho, kok nangis lagi?”
“Aku gak mau balik ke sana! Semua seniornya nyebelin! Sok ngegojlok kayak algojo semua!”
“Kalo boleh jujur, aku juga sama kayak kamu. Pengen kabur dan gak balik-balik lagi sampe MOS-nya selese. Tapi gak bisa. Itu kan sama aja kayak masuk lewat belakang.”
“??”
“Gak ngerti ya? Hee ..... Sebentar ya? .............. Nih!”
“Ini apa?”
“Tandatangan cowok idola masa depan! Bersyukurlah kamu bisa mendapatkannya dengan gratis saat ini, karna dua-tiga tahun lagi, itu bakal susah didapat lho.”
“Siapa yang butuh!”
“Eh, bukannya berterima kasih!”
“Gak sudi! Cowok idola masa depan? Apaan tuh!”
“Ngehina ya? Daripada kamu, masih ingusan aja udah sok menilai orang! Emangnya kamu bisa ngelampauin popularitasku nanti?”
“Bisa!”
“Dada rata gitu?”
“Dasar cabul!”
“Heh! Anak kecil kok punya perbendaharaan kata-kata kasar gitu sih? Gak sopan, tau!”
“Biarin!”
“Gue tinggal deh!”
“Hu ... hu ... huweeee! Hiks ... hiks ... hiks .....”
“Eit, hush. Diem dong! Ntar orang-orang yang lewat nyangkain aku lagi ngapa-ngapain kamu.”
“Jahatnya meninggalkan seorang lady sendirian di pinggir jalan.”
“Idih, emang situ dari tadi di pinggir jalan! Siapa, lagi, yang lady! Kecil-kecil belagu nih!”
“Daripada orang yang ngaku-ngaku cowok idola masa depan!”
“Cebol belagu!”
“Cabul kegeeran!”
Suara derai tawa .......
♀♂♀
Beginning
KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINGNGNGNGNG!!!!!!!!!!!!!!!!
Bruk!
Setelah menggeliat di atas tempat tidur sejenak sambil menguap lebar, aku segera duduk begitu teringat sesuatu.
“Yaaah ....., rusak lagi deh,” keluhku sambil menatap jam beker yang tergeletak tak berdaya di atas lantai kamarku itu. Padahal jam itu baru kubeli dua hari yang lalu saat pergi ke mall bareng dua sahabatku. Lumayan mahal, lho. Mubazir, deh.
Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi sambil mengucek-ucek rambutku dengan mata setengah melek. Ngantuk banget deh! Kalo gak ingat hari ini adalah hari pengacakan—pengacaUan, tepatnya. Lagian kenapa sih rotasi tempat duduk musti dilakuin tiap semester? Gak tau, apa, susah banget nyari tempat duduk yang pewe pas awal masuk kelas baru dulu?—tempat duduk, aku pasti masih molor sampe jam enam nanti. Setelah mandi dan menggosok gigi sampe bener-bener bersih, aku pun keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan mantel kamar mandiku.
Hm, pasti Mama, pikirku saat melihat satu stel pakaian seragam putih biru yang sudah tersetrika rapi hingga licin banget—well, wajar licin karna pakaian seragamku itu terbuat dari kain ‘tisu’, yang masih aku belom tahu adalah apakah kain ‘tisu’ itu benar-benar terbuat dari tisu toilet atau tisu meja makan—tergeletak begitu saja di atas tempat tidurku.
Waktu lima belas menit sudah cukup bagiku untuk mempoles diri. Aku memperhatikan bayanganku yang terpantul di kaca sekali lagi.
Rambut, cheque. Pakaian, cheque. Kaos kaki dan sepatu, cheque. Tas, cheque. Buku pelajaran, cheque. Total, hm .... there’s something wrong here, batinku sambil melihat wajahku lekat-lekat. Hidungku sampai menempel di permukaan kaca karna berpikir sangat keras untuk menemukan sesuatu-yang-salah itu.
“O iya!” seruku kemudian. Aku menarik laci meja paling atas dari meja belajarku, lalu mengambil sebuah kacamata dari sana. Kacamata ini adalah yang terpenting dari kesemuanya, tapi kenapa aku gak pernah ingat ya? Padahal aku udah cukup lama make kacamata ini. Dua tahun lho! Mataku minusnya parah sih, jadi kalo gak pake kacamata, aku gak bisa ngeliat sesuatu yang kecil-kecil atopun yang jauh-jauh. Setelah memasang kacamata tanpa bingkai kesayanganku itu, aku pun melangkah keluar dari kamar. Di depan sana, tepat di depan kamarku, sebuah pintu bertempelkan stiker buatan sendiri sudah sangat menarik perhatianku sepagi ini.
D’s Territory
No Trespassing!
Begitulah cara membaca huruf-huruf stiker buatan berwarna hitam metalik itu. Entah sudah berapa juta kali aku membaca tulisan itu—tanpa sengaja—tiap akan keluar dari kamarku.
Geer! Siapa juga yang mau masuk kamarnya!
Entah sudah berapa juta kali pula aku mengumandangkan kalimat itu di hatiku tiap kali—tanpa sengaja—membacanya.
Baguslah! Sepertinya yang punya masih belom keluar. Aku jadi bisa lebih leluasa merambah makanan di meja makan sesukaku.
“Pagi, Ma,” sapaku pada Mama yang, saat aku memasuki ruang makan, sedang menuangkan jus jeruk ke tiap-tiap gelas.
“Pagi juga, Sachi!” balas Mama sambil tersenyum manis padaku.
“Pagi, Pa,” ujarku lagi sambil menarik kursi yang selama hampir dua tahun ini sudah jadi kursi favoritku di meja makan.
“Pagi,” jawab Papa pendek.
Beliau sedang membaca koran dengan seriusnya. Pantas aja balasannya dingin gitu. Biasanya juga sapaan-pagi-hariku dibales dengan ‘Pagi, Sachi Sayang’ sambil tersenyum genit khasnya. Genit? Ya, Papa emang genit banget. Cuman sama aku sih. Sama Mama juga.
“Sachi, mau sarapan apa? Roti lapis, nasi goreng, atau sandwich?” tawar Mama.
“Mm ......, sa ....”
“Nasi gorengnya pake sosis kan, Ma?”
Ini dia! Ini yang sering ngebuat aku keki di pagi hari yang cerah nan indah seperti pagi ini! Aku gak mau melihat ataupun memberikan sapaan-pagi-hariku pada makhluk itu. Dan gak perlu! Sialnya, aku pasti harus melihat tampang demeknya itu. Maksudku, gimana mungkin aku gak melihat wujudnya yang selalu duduk berseberangan denganku di meja makan itu? Memangnya aku harus makan sambil nunduk terus? Bisa-bisa tulang leherku patah, lagi!
“Iya,” Mama menjawab pertanyaannya dengan lembut banget. “Kamu mau sarapan sekarang?”
Tak ada suara jawaban darinya. Mungkin dia menjawab pertanyaan Mama dengan anggukan yang tak aku lihat saking malesnya.
“Oh iya, Sachi tadi mau apa?”. Ternyata Mama masih ingat juga.
“Ee ....” Aku baru aja mo bilang ‘sandwich’, saat kulihat orang itu makan dengan brutalnya di seberang situ. Dan ... astaga! Masih pake piyama, rambut kusut, dan mata belekan! Hoeeekh! Jorok bener, sih, dia! Kebiasaan, deh! Impianku untuk merambah-makanan-di-meja-makan-sesukaku punah sudah.
“Mm ..., Sachi sarapan di kantin sekolah aja deh, Ma. Hari ini kan pembagian kelas. Sachi takut gak dapet tempat duduk yang gak enak kalo berangkat kesiangan.”
Aku terpaksa menolak tawaran menggiurkan Mama tadi dengan halus. Setelah cipika-cipiki sama Mama dan Papa, aku pun meraih tas selempangku dan pergi dari ruang makan dengan lesu.
Sekali lagi pagi hariku yang indah dirusak olehnya!
♀♂♀♂
“Malu gue, malu!” sembur Zen saat melihat cara makanku yang buas di kantin saat jam istirahat itu.
“Sachi, pelan-pelan dong makannya,” tegur Cya sambil menepuk pelan punggungku.
Percuma. Omongan mereka gak akan kudengarkan sama sekali kalo aku lagi kelaperan kayak gini. Setelah puas mengisi perutku sampe penuh—dalam artian, menghabiskan dua mangkok mie ayam dalam tempo waktu lima belas menit!—barulah aku membalas omongan mereka.
“Lo berdua kayak gak tau gue aja!”
“Ya, ya. Beginilah keseharian seorang Sachi di kantin sekolah pada jam istirahat pertamanya,” Zen berucap dengan nada diplomatis. “Jadi, Dennis lagi, nih?”
Aku tak menjawab. Hanya menyeruput teh botolku sampe berbunyi ‘srook, srook’, dan diakhiri Zen dengan sebuah jitakan kecil di kepalaku.
“Tau malu dikit, Non! Kantin lagi penuh, tau!” omelnya lagi.
“Hehehehe ....,” aku hanya menyengir tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Sachi tadi berangkat sendiri ya?” tanya Cya.
“Yap,” jawabku singkat.
“Kenapa?”
“Karna gue belom punya SIM, jadi belom boleh bawa motor kan?” jawabku setengah heran. Aneh juga Cya ini. Udah tau gue tiap hari berangkat sekolah jalan kaki, masih aja pake nanya!
“Bukan itu maksud Cya,” protesnya.
“Lha, trus?”
“Kenapa Sachi gak berangkat bareng Kak Dennis aja?”
“What?! Najong! Cuih ...”
Cya hanya melongo saat aku pura-pura meludah seperti itu. Zen yang ngerti banget, merangkul Cya sambil berkata, “Cya sayang, Sachi itu kan anti-Dennis. Lupa ya?”
“Itu sih Cya inget. Cya heran aja, kenapa sih Sachi gak suka banget ama Kak Dennis sampe-sampe gak mo berangkat ato pulang sekolah bareng, padahal sekolahnya seberangan ini?”
Aku hanya mengangkat bahuku. Males jawabnya.
Ya, sekolahku dan Dennis emang seberangan. Aku bersekolah di SMP Aria yang terletak tepat di depan SMA Pratama—sekolahnya Dennis. Asal tau aja, SMA Pratama itu sekolah cowok paling populer di kotaku. Selaen karna isinya cowok-cowok cakep bin tajir semua, mereka juga pinter-pinter. Sekolah teladan sih! SMA Pratama mendapatkan predikat sekolah yang paling diincer ama semua cewek-cewek yang bersekolah di luaran sana. Termasuk cewek-cewek dari sekolahku. Hah, masih seragam putih biru aja udah berani ngincer cowok putih abu-abu! Gak punya kaca ya di rumah? Kalo aku sih tau diri banget. Mana mungkin cowok-cowok qualified yang mengisi SMA Pratama itu mau melirik anak ingusan macem kami.
Oke, cukup segini dulu pembahasaan tentang SMA Pratama. Sekarang perhatianku sudah teralihkan pada hal lain. Hal seperti cowok yang sekarang sedang berdiri di dekat meja kami ini.
“Nape lo?” tegur Zen cuek saat melihat cowok itu berdiri tak bergeming sampe semenit kemudian.
“Yoga kenapa? Ada perlu sama siapa?” ucap Cya cepat. Mungkin dia ngerasa omongan Zen tadi terlalu kasar buat cowok yang dipanggilnya Yoga itu, makanya dia buru-buru menimpalinya dengan pertanyaan berisikan bahasanya yang halus dan lembut itu. Padahal kalau menurutku dan Zen, biasa aja tuh.
“Ng ...., cuman mo ngasih ini,” jawabnya terputus-putus. Ia menyodorkan sebuah amplop kecil berwarna biru ke arah kami.
“Udah? Ini doang? Cuman mo ngasih ini doang kok pake berdiri lama banget sih?” cerocos Zen heran. Tiba-tiba Zen merasa sebuah sikutan di lengannya. Dari Cya.
“Oh ya? Makasih ya, Yoga,” ucap Cya sambil tersenyum ramah pada cowok itu. Yoga hanya mengangguk lalu meninggalkan meja kami dengan gaya yang cukup kikuk.
“Untuk Ignacia Flora, Zen, dan Sachi,” Zen membaca tulisan yang ada di bagian depan amplop kecil tersebut. “Buseeet! Yakin nih, cuman nama Cya doang yang ditulis lengkap-lengkap?” serunya heboh sambil pura-pura mengucek matanya gak percaya.
“Hah? Masa sih?” Aku ikut melongok melihatnya. Bener! Cuman nama Cya yang ditulis lengkap banget di situ. “Cieee ....., yang dapet surat cinta!” godaku kemudian sambil mengedip-ngedipkan mataku dengan genit pada Cya.
“Apaan sih? Sachi ngaco nih! Logikanya, ini gak mungkin surat cinta karna nama kita bertiga yang ditulis di situ! Masa iya dia naksir kita bertiga sekaligus?” sangkal Cya sambil merebut amplop kecil itu dari tangan Zen dan mengeluarkan isinya.
“Oo ...., undangan ulang taon toh,” celetuk Zen setelah ikut membaca isi kartu tersebut bareng Cya. Aku sih males ikut baca. Cukup mendengarkan siaran ulang dari mereka aja.
“Ulang taon? Ulang taonnya tuh cowok?” cetusku gak percaya. Masa sih cowok segede itu masih menggunakan undangan ulang tahun yang norak macem itu?
“Bukan. Di sini ditulis ulang taonnya Via,” jelas Cya.
“Via? Siapa lagi tuh?”
“Tuh cowok cuman kurir khusus buat nganterin undangan ulang taon orang lain ya?”
“Bukaaan! Seinget Cya sih, Via itu nama adek perempuannya Yoga yang baru masuk taon ini di sini,” terang Cya lagi, membuat aku dan Zen mengangguk-angguk mengerti.
“Nah lho! Lo tau dari mana kalo tuh cowok punya adek cewek yang namanya Via? Wah, mulai mencurigakan, nih!” ucap Zen dengan pandangan menyelidik.
“Cieee ...., yang mulai kasmaran!” tambahku lagi.
Well, punya dua orang teman yang suka iseng macem Zen dan aku sepertinya sudah cukup membuat Cya kagok untuk gak mencari teman lain yang satu prototip.
“Cya kan satu kelas bareng Yoga pas kelas tujuh dulu! Wajar kalo Cya tau. Orang Yoga sendiri yang nyeritain kok,” kilahnya.
“Oh ya? Udah sampe tahap ‘curhat-curhatan’ rupanya, Putri-Malu-Suka-Buku ini,” Zen menaik-naikkan alisnya. Pertanda isengnya mulai kambuh.
“Jangan sebut Cya dengan julukan itu! Norak, tau!” protes Cya yang gak terima.
Zen dan aku tertawa-tawa setelahnya. Sejak bergabung dalam lingkup pertemanan Zen dan aku, Cya memang lebih sering jadi objek penderita. Yah, aku dan Zen memang sudah lama berteman. Sejak kelas tujuh dulu. Kalo Cya sih masih tergolong anggota baru. Kami berdua memutuskan untuk merekrut Cya menjadi anggota baru saat melihat ia yang begitu pemalu dan pendiam waktu naek kelas delapan. Aku dan Zen selalu sekelas sampe sekarang, kelas sembilan. Kalo Cya sih baru sekelas pas kelas delapan waktu itu. Sampe sekarang juga. Enak banget ya, kalo teman-teman favorit kita sekelas terus sama kita sampe kelulusan. Seperti aku saat ini.
“Jadi, Sachi ama Zen mau ikut? Acaranya jam delapan malem ini, lho,” tawar Cya kemudian.
“Wuih, gaya juga adeknya tuh cowok!” cetus Zen, “Baru masuk esempe udah bikin pesta ulang taon malem kayak gini.”
“Emang acaranya di mana?” tanyaku, tanpa menghiraukan pelotot-pelototan yang terjadi antara Cya yang ngerasa omongan Zen tadi cukup kasar, dan Zen yang ngerasa kalo Cya yang terlalu sensitif ama yang kasar-kasar.
“Di DeGreE,” jawab Cya.
“DeGreE? Di mana tuh?” tanya Zen.
DeGreE, batinku. Rasa-rasanya gue pernah tau deh namanya. Kapan ya? Dan dari mana gue tau?
Setelah cukup lama memikirkannya, akhirnya aku ingat juga. Itu kan nama cafe yang sering ditongkrongin ama Dennis karna Reki—temannya yang sering main ke rumah itu—kerja sambilan di sana.
“Oke, gue mau!” ucapku dengan penuh antusias. Aku juga kan pengen tau, seperti apa tempat yang ditongkrongi oleh Dennis di hampir tiap malemnya itu. Tapi kayaknya dua temanku itu gak seantusias seperti yang aku rasakan. Terbukti dari ucapan mereka selanjutnya.
“Emangnya lo tau di mana DeGreE itu?”
“Iya. Lagian, Cya juga belom tentu dibolehin keluar malem ama Bunda.”
“Well, pertama,” aku sedikit berdehem sebelum melanjutkan kalimatku berikutnya, “Zen, DeGreE itu ..... letaknya di pinggiran kota.”
“Pinggiran kota?” ulang Zen hati-hati. Nampaknya dia gak terlalu percaya ama ucapanku barusan.
“Itu terpeta dengan jelas di belakang kartu undangan,” jelasku sambil menunjuk ke arah kartu undangan yang masih dipegang oleh Cya. Zen dan Cya buru-buru membalik kartu undangan tersebut dan menemukan denah letak Cafe Boyz tercetak dengan jelas di bagian belakangnya.
“Wih, gak nyangka! Norak-norak eksklusif juga nih kartu undangan!” cetus Zen.
“Kedua,” sambungku tanpa mempedulikan ucapan Zen barusan, “Soal keluar malem itu, kenapa lo gak nginep di rumahnya Zen aja? Kalo lo nginep di sana, lo kan jadi bisa keluar malem tanpa harus minta ijin dulu. Ya gak?” usulku pada Cya. Sementara Cya masih mempertimbangkan usulanku tadi, Zen sudah berseru-seru kegirangan.
“Wah, bener tuh! Bener! Lo nginep di rumah gue aja, Cya. Kebetulan ortu gue lagi keluar kota. Gak asik banget kalo gue cuman ngobrol ama pembokat gue selama tiga hari penuh! Sachi, elo juga deh. Biar lebih rame!” ajaknya.
“Gue? Mm ....” Aku berpikir sesaat. Boleh gak ya? Ah, harus boleh deh! Mending gue nginep di rumahnya Zen daripada harus ngeliat tampangnya Denis terus-terusan! Gue kan bosen juga.
“Gue mau sih, tapi gak bisa janji juga. Gue kan musti nanya ama ortu gue dulu. Tapi kalo seandainya boleh, lo juga ikut kan, Cya?”
Cya menghela nafas panjang. “Mau gak mau,” putusnya kemudian, “Tapi Zen ama Sachi harus nemenin Cya minta ijin ama Bunda ya? Cya takut kalo ngomong sendirian.”
“Gimana sih lo? Masa ama nyokap sendiri takut?” ejek Zen, “Tapi gak papa deh, asal nginepnya jadi.”
“Oke. Kalo gitu, kita pulangnya tar bareng aja. Ke rumah gue dulu. Tar kalo gue dibolehin, baru kita ke rumahnya Cya. Abis itu, baru deh ke rumah elo. Gimana?” usulku lagi.
“Boleh juga. Eh, tapi ke rumah elonya gimana nih?”
“Biasa lah, jalan kaki,” jawabku enteng.
“Ih, sebel! Kenapa gak naek mobil aja sih?”
Kumat deh penyakit ‘Nona Kaya Manja’-nya Zen! Aku tersenyum melihatnya manyun.
“Dari sekolah ke rumah gue itu jaraknya deket. Jalan kaki lima belas menitan juga nyampe. Manja namanya, kalo jarak sedeket itu aja pake naek mobil lo segala! Tar dari rumah gue, baru deh lo boleh minta jemput sopir lo. Kan rumahnya Cya lumayan jauh dari rumah gue,” terangku dengan penuh kesabaran.
Ha! Zen bener-bener gak berkutik. Dia gak bisa membantah lagi saat aku mengemukakan argumenku itu. Masalahnya, Zen itu gak suka banget kalo disebut anak manja–padahal itu realitas. So, I’m the winner! Hehehehe .....
Sachi, gitu! Gak ada yang bisa menang deh kalo adu debat ama seorang Sachi!
♀♀♀
Cklek, cklek
“Kenapa?” tanya Cya setelah melihat aku yang gak berhasil juga membuka pintu depan rumah.
“Jangan bilang kalo di rumah lo gak ada orangnya! Gue udah mati-matian meras tenaga gue buat jalan kaki kesini, juga,” dumel Zen sambil memukul-mukul kakinya yang hampir mati rasa. Jarang olahraga sih.
“Kayaknya sih gitu.” Dan sebelum Zen sempat mengomel lebih lanjut, aku buru-buru menambahkan, “Tenang. Gue kan selalu bawa kunci serep buat jaga-jaga.”
Barulah cewek jangkung berambut pendek dan cerewet itu bernafas lega.
“Trus,” celetuk Zen setelah duduk di sofa ruang tamu, “kalo ortu lo lagi gak ada, gimana kita minta ijinnya?”
“Ya, telepon dong! Lo kira ortu gue manusia primitif, hari gini gak punya hape?”
“Ortu lo gak, elonya iya,” bales Zen iseng, diikuti tawa khas nenek-lampirnya dan cekikikannya Cya.
“Tau deh yang udah punya hape!” ucapku dengan bibir manyun. Rada ngiri juga sih ama tuh anak berdua yang emang udah pada punya hape. Aku? Udah jelas kan.
“Deu, ngambek deh! Becanda, deng!” ucap Zen kemudian.
“Eh, gue ke dalam dulu deh. Mo nelpon,” ucapku, lalu masuk ke bagian dalam rumah.
Aku segera menghampiri telepon yang terletak di ruang keluarga, lalu langsung menekan beberapa tombol sesuai nomor telepon selularnya Papa.
Lho, kok nadanya gini sih? pikirku saat mendengarkan nada ‘tut-tut’ yang pendek-pendek dan cepat, dan bukannya nada sambung seperti biasanya. Masih belum puas, aku pun meletakkan gagang telepon kemudian mengangkatnya lagi. Masih mengeluarkan bunyi seperti tadi. Aneh.
“Percuma. Telponnya rusak.”
Aku tersentak kaget saat mendengarnya. Hampir aja gagang telepon rumah terlepas dari genggaman tanganku. Setelah meletakkan gagang telepon kembali ke tempat semula, aku menoleh dan mendapati Dennis telah berjalan menuju kamarnya. Udah pulang rupanya makhluk nista itu!
“Kenapa?” tanyaku.
Dennis berhenti sejenak di depan pintu kamarnya, lalu berkata, “Semalem antenanya disamber kilat.”
“Hah? Kok gue gak tau?”
“Elo kan tidurnya kayak orang mati,” jawabnya datar tanpa melihat ke arahku, lalu masuk ke dalam kamarnya. Tinggal aku yang merengut sendiri.
“Zen, minjem hape lo dong. Telpon gue lagi rusak, nih,” pintaku sekembalinya di ruang tamu.
“Sori, coy. Hape gue ketinggalan di rumah,” cengirnya.
“Elo, Cya?”
“Pulsa Cya abis,” jawabnya polos.
“Yah, trus gimana, dong?” keluhku.
“Masa si Dennis gak punya hape?” celetuk Zen.
“Ada sih. Tapi gue kan males banget kalo musti nyamperin dia.”
“Demi kepentingan bersama, Sachi. Lo gak mau kita seneng-seneng malem ini?” bujuk Zen.
Aku membuang nafas panjang sebelom akhirnya kembali berjalan masuk ke dalam. Menuju kamarnya Dennis.
Tok, tok, tok
Gak ada sahutan.
Kuketuk sekali lagi, lalu menunggu beberapa saat.
Ckrek!
Ini dia. Ambil nafas. Bicara sewajarnya.
“Gue boleh minjem hape lo gak?”
“Buat apa?” tanyanya dengan tampang sengak.
“Mo nelpon Papa bentar,” jawabku.
Dennis tampak berpikir sesaat, sebelom akhirnya memperbolehkanku meminjamnya.
“Tuh! Di atas meja,” tunjuknya.
Apa maksudnya? Apa harus aku yang masuk ke dalam kamarnya? Seumur-umur aku belom pernah sekali pun masuk kamarnya! Gila!
“Barang-barang gue gak boleh keluar dari teritori gue seenaknya. Kalo mo minjem barang gue, elo yang harus masuk ke dalam dan bukan sebaliknya,” jelasnya datar sambil melebarkan pintu kamarnya.
O’ ow! Aku menelan ludah. Apa boleh buat deh! Aku pun melangkah masuk ke dalam kamarnya dan meraih hape N-Gage miliknya yang tergeletak di atas meja belajar, sementara bau khas cowok segera tercium jelas oleh hidungku.
“Halo, Pa?” sapaku setelah nada sambung menghilang dan terganti oleh suara berisik.
“Iya,” jawab Papa.
“Pa, Sachi boleh nginep di rumahnya Zen gak? Cuman sehari kok! Soalnya orang tua Zen lagi pergi ke luar kota. Kasian Zen-nya sendirian di rumah. Ya?” pintaku penuh harap.
Hening sejenak.
“Tapi Sachi jangan macam-macam atau buat yang aneh-aneh ya selama di sana,” ucap Papa kemudian.
“Iya. Jadi, boleh dong, Pa?”
“Iya.”
Yes!
“Makasih! Papa baek deh!” ucapku sebelum memutuskan sambungan telpon. Setelah meletakkan hape Dennis kembali ke atas meja, aku pun berbalik dan wow! Kecuali aku salah liat, Dennis sedang memandangi lurus ke arahku dengan tajam. Satu hal di luar kebiasaannya dan tak lazim ia lakukan.
“Apa?” tanyaku ketus.
“Jadi,” ujarnya dengan wajah dingin, “elo mo nginep di luaran lagi?”
Aku berjalan ke arahnya dengan dagu terangkat. Gestur yang biasa kulakukan kalo sedang menantang orang. “Iya. Di rumahnya Zen. Emangnya kenapa?”
“Gue cuman mau lo tau diri aja. Terakhir kalinya lo nginep di sana, lo bikin huru-hara yang ujung-ujungnya ngelibatin dan ngerepotin gue. Gue harep lo gak lupa itu,” katanya datar.
“Hei, yang bikin masalah waktu itu bukan gue! Dan yang gue minta dateng waktu itu Papa, bukan elo! Thank’s a lot for your attention!” hardikku kesal, lalu berjalan lurus memasuki kamarku dan membanting pintu dengan cukup keras.
Again! Gak usah heran deh ngeliat betapa buruknya hubungan antara aku dan Dennis. Udah jadi makanan sehari-hari kok. Capek juga sih kalo udah berdebat sampe pita suara ini serasa hampir putus. Tapi emang dianya tuh yang suka menyulut permasalahan duluan.
Sebelum keluar dari kamar, aku kembali berkaca. Rambut, cheque. Kacamata, cheque. Pakaian, cheque. Tas, cheque. Buku pelajaran untuk besok—aku melongok ke dalam tas isi tasku—cheque.
“Complete,” aku mengakhiri ritualku, lalu keluar dari kamar dan menghampiri kedua temanku yang sudah mulai berkarat di ruang tamu.
“Ngapain aja sih lo? Lama banget! Gue udah kelaperan nih. Pak Maman juga udah nungguin dari tadi,” Zen menyambutku dengan serentet omelan.
“Sori deh. Gue kan musti ganti pakaian dulu. Yuk!”
“Sachi udah bilang ama Kak Dennis?” tanya Cya.
“Masa bodo,” jawabku cuek sambil menarik lengan keduanya keluar rumah, menuju mobil jemputannya Zen.
♀♂♀♂
Gak susah kok minta ijin nyokapnya Cya supaya memperbolehkan anaknya itu menginap di rumah Zen bersama kami. Buktinya, sekarang kami bertiga sudah berdiri di depan bangunan DeGreE yang cukup gede itu.
“Pak Maman pulang aja dulu. Tar jemput lagi kesini kalo Zen telpon,” aku mewakili memberi pesan pada Pak Maman, karna sekarang ini Zen lagi terkagum-kagum memandangi cafe itu. Pak Maman mengangguk mengerti, kemudian segera tancap gas dari situ. Barulah aku menghampiri Zen dan Cya.
“Lumayan ya?” komenku, setelah ikut memperhatikan dan menilai penampilan luar DeGreE tersebut.
“Lumayan? Lumayan?” pekik Zen, “This is the coolest cafe I’ve ever seen! Gue rela deh tiap malem nongkrong di tempat keren gini.”
“Jadi, masih nganggep remeh adeknya ..... Yogi?” sindirku.
“Yjuoga,” ralat Cya.
“Yoga,” ulangku.
Zen menggelengkan kepalanya. “I changed my mind.”
“Jadi masuk gak sih? Cya udah mulai digigit nyamuk nih!” keluh Cya smabil menggaruk-garuk tangannya.
“Well, let’s get in, gals!” seru Zen sambil merangkul masuk kami berdua.
Wow, gue bisa tuli mendadak nih, batinku setelah mendapatkan ‘sedikit’ serangan di telingaku begitu masuk ke dalam cafe tersebut. Kurasa mereka menyetel musik terlalu kenceng. Pantes aja sih, mengingat ini di daerah pinggiran kota yang rumah-rumah penduduknya JARANG-JARANG BANGET. Gak akan ada yang protes.
Aku melihat ke sekeliling. DeGreE lumayan rame malem ini. Maklumlah, udah di-booking penuh. Tapi ya itu, isinya ‘sederajat’ semua sepertiku. Esempe. Menyedihkan. Entah mengapa aku merasa, adanya tingkat kesenioritasan seseorang dalam kehidupannya di dunia ini telah membuatku terlampau sensitif–dalam artian, gak suka jika diremehkan orang laen hanya karna mereka lebih tua dan aku lebih muda. Yah, beberapa waiter cakep yang terselip di antara mereka, gak cukup untuk menarik perhatianku. Kecuali cowok yang ada di belakang meja bar itu. Atraksinya mengocok minuman dengan cara melemparnya ke udara lalu menangkapnya lagi, cukup membuat aku terkesima. Hei! Itu kan ....
Aku bergegas berjalan kesana ambil bersusah payah menyelip jalan di antara bejibun tamu-tamu undangan yang tak kukenal. Zen dan Cya pun sudah menghilang di antara kerumunan itu, entah kemana.
“Bartender ya?”
Cowok yang sedang menuangkan minuman-entah-apa ke salah satu gelas tamu undangan itu, tersentak kaget. Lebih kaget lagi saat mengetahui siapa yang telah menegurnya barusan.
“Sachi? Kok lo ada di sini?”
“Yang pasti gue bukan tamu tak diundang,” jawabku.
“Oo, jadi mereka semua ini murid-murid sekolah lo?”
Aku tak menghiraukan pertanyaannya itu. “Lo punya minuman yang lebih ringan gak selaen itu?”
Dia melirik ke arah botol minuman yang masih dipegangnya itu, kemudian tertawa kecil. “Gue pikir semua undangan yang dateng pada sok kuat minum. Bentar ya?”
Aku mengangguk dan duduk di salah satu kursi bar sambil memperhatikan kerjanya. Setelah sedikit berotak-atik dengan coffee-maker, ia pun kembali dengan secangkir minuman yang masih mengepul.
“Frappuccino plus latte. Coklatnya kerasa banget. Lo pasti suka,” terangnya sambil menyodorkan minuman itu padaku.
“Lo tau gue suka coklat?”
“Gue kan sering nemuin bertumpuk-tumpuk cokelat di lemari es. Gue yakin itu bukan punya Dennis, jadi gue pikir cokelat sebanyak itu pasti punya lo,” jawabnya sambil tersenyum.
Ini nih yang sering ngebuat aku heran. Bisa-bisanya Reki yang baek hati ini bertemen ama Dennis yang nista itu! Jauh, man, bedanya. Bagai langit dan bumi. Bagai langit dan tanah deh. Ato bagai langit dan debu. Yep, perbandingan ini baru bener.
“Ngomong-ngomong soal Dennis, tuh anak sering nongkrong di sini ya?” tanyaku iseng, lalu menyeruput frappuccino racikan Reki tadi. Wah, nikmat bener nih minuman! Ntar nambah lagi ah.
“Nongkrong? Dia kan emang kerja di sini,” jawab Reki tanpa menoleh ke arahku. Dia sedang melayani seorang tamu laennya.
Aku tersedak kaget mendengarnya. Kerja? Pantes aja dia selalu keluar malem. Kerja di sini toh rupanya. Tapi, sejak kapan?
“Pelan-pelan minumnya. Kalo lo mau lagi, bilang aja ke gue. Gak perlu buru-buru gitu,” nasehat Reki.
Aku hanya tersenyum malu. Tapi senyumku segera menghilang begitu teringat sesuatu. “Berarti, dia sekarang ada di sini dong?”
“Hari ini dia minta ijin gak masuk. Katanya sih males kalo harus ngelayanin anak ingusan. Dia yang bilang lho ya! Hendra juga gak masuk nih. Gak tau kenapa.” Dia berhenti sejenak begitu menyadari perubahan di wajahku. “Lo segitu takutnya ama Dennis? Ampe pucet gitu. Dennis gak seburuk yang lo kira,” sambungnya.
Aku hanya mengangkat bahu. Males banget kalo topik utamanya udah berubah jadi tentang Dennis gini.
♀♂♀♂
1st Chapter by Rainies…
No comments:
Post a Comment