BAB I
PENGASINGAN
Seorang cowok berjalan lunglai menapaki jalan kecil yang membelah persawahan di sebuah desa kecil di Kuningan Jawa Barat. Hawa sejuk pegunungan Ciremai menembus kulitnya meski sudah dibungkus sweater warna coklat terang plus jaket dari bahan wol warna hitam. Rambut gondrong lurusnya lepek lesu menambah runyam tampang bloonnya yang pucat pasi keletihan. Hapenya berdering dan bergetar.
“ Ya ma…” jawabnya malas tanpa semangat diujung telepon “ Kenzo sudah hampir sampai, nanti Kenzo kabarin kalau sudah sampai ?” tambahnya dan langsung menutup telepon. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya. Pipinya menggelembung menutupi mata sipitnya yang lecek.
Ya Kenzo namanya, tanpa embel-embel nama panjang. Asli kelahiran Jakarta, tepatnya di Klinik Bayi Sehat di kelurahan Kampung Tengah Jakarta Timur. Soal namanya yang aneh, itu akibat kelakuan Papanya yang kesengsem sama billboard yang ada tulisan Kenzo, enak didenger dan pas di telinga alasannya. Walhasil jadi deh bayi mungil itu diberi label : KENZO.
Hapenya berdering dan bergetar lagi.
“ Belum sampai ma!!!” teriaknya dengan urat-urat leher meregang saking kuatnya.
“ Hei!!!!!” umpat suara perempuan diujung telepon. “ ini gue, Mawar. Nyesel gue telepon lo!” klik, suara hape ditutup.
“ halo!!..halo!!!”
Kenzo mencoba menelepon balik. Telinga pemuda itu hanya menemui nada sibuk, Mawar tidak mengangkat hapenya. Kenzo meenarik nafasnya. Sejurus kemudian pipinya mengelembung lagi.
Hapenya berdering dan bergetar kembali, ada semangat meletup-letup dari sudut matanya ketika mengintip lcd hapenya, kali ini sebuah pesan singkat masuk, dari mamanya. Semangat meletup-letup itu datar kembali. Jemari Kenzo menekan keypad hapenya membuka pesan dari Mamanya, sebuah pesan singkat yang ditulis dengan hurup kapital.
INGAT YA KENZO. KABARIN MAMA SECEPATNYA. JANGAN LUPA PAKE JAKETMU KALAU MALAM.
Pipi Kenzo kembali menggelembung.
Definisi Mama dimata Kenzo adalah dictator tapi tidak kejam seperti Hitler. Kediktatoran Mama adalah aturannya yang harus dituruti. Baju seragam plus sweater yang harus dipakai tiap hari ke sekolah, bekal dalam kotak makanan warna biru muda yang tidak boleh tidak dibawa, WAJIB.
“ Kamu itu gampang masuk angin Kenzo, pakai sweatermu” bentak Mamanya kalau Kenzo tidak berniat mengenakan sweater itu, “jangan lupa bawa bekal makanmu, jangan jajan sembarangan, tidak sehat.”
Kalimat itu selalu mampir dipagi hari, dari senin sampai sabtu, setiap Kenzo hendak pamit berangkat sekolah. Pernah ia membangkang perintah Mamanya dengan menolak memakai sweater serta mengeluarkan kotak makanan berwarna biru muda dari tasnya dan segera beranjak pergi dari hadapannya,namun sore harinya Kenzo mendapati Mamanya sesenggukan di sofa ruang tengah di temani Papa yang baru saja pulang dari kantor. Papa waktu itu marah besar. Terlihat dari matanya yang memerah dan membulat besar. Seperti kebiasaanya, dia selalu menyemprot Kenzo dengan memulainya dengan sebutan, bodoh. Tidak seperti Mamanya yang dictator karena terlalu saying, Papanya adalah figure seorang lai-laki yang sangat dibencinya. Entahlah mungkin karena menurutnya seorang Laki-laki harus mandiri, macho, energik dan harus terbiasa susah supaya bisa mikir nantinya.
Kekhawatiran Mama Kenzo bertambah manakala suaminya memutuskan menitipkan Kenzo pada Mang Amir, bekas pembantu mereka yang tinggal di Bandorasa Kulon sebuah desa kecil di kaki gunung Ciremai Kuningan. Keputusan itu diambil karena Kenzo di DO dari sekolahnya karena diduga menjadi OTAK tawuran masal pas waktu kenaikan kelas kemarin.
“ Sekarang juga siapkan pakaianmu dan papa antar kamu ke Gambir. Tinggalkan ATM dan kartu kredit yang diberikan mamamu.” Perintah Papanya seminggu yang lalu sepulang dari menghadiri undangan Kepala Sekolah sehubungan dengan tawuran. Padahal Kenzo masih merasakan nyeri diseluruh badannya sehabis tawuran paginya.
Akhirnya siang ini, setelah mamanya tidak bisa lagi menahan keputusan Papanya, sampailah Kenzo di tempat pengasingan. Sebuah desa kecil di Kuningan Jawa Barat. Berbekal oret-oretan peta yang dibuat Papanya, kini Kenzo hampir sampai di tempat tujuan, rumah Mang Amir. Kenzo berdiri di jalan terjal berbatu yang lengang. Pipinya mengelembung. Matanya menyiratkan keputusasaan.
“ Gila! “ Kenzo menatap nanar jalan setapak yang terbentang panjang. Tak ada rumah, warung, kendaraan. Hanya ada pohon disisi kiri dan kanan. Kenzo duduk bersandar pada pohon kapuk dipinggiran jalan.
“ Mudah-mudahan saja ada mobil atau motor yang lewat” gumamnya. Tangannya meraih aqua di travel bag. Kerongkongannya terasa kering dan pahit. Ditenggaknya botol berisi setengah air mineral itu hingga habis. Kenzo melempar botol itu ke ujung jalan. Kakinya terasa pegal. Angin sejuk pegunungan yang terbang sepoi-sepoi membuat matanya terkantuk-kantuk.
*****
Kenzo memutar pedal gas Honda antic warna merah marun kesayangannya. Helm proyek warna senada nangkring membungkus kepala bagian atas. Senyumnya mengembang. Kenzo merasakan jalanan TB. Simatupang begitu semarak dengan warna-warni pelangi. Maklumlah Kenzo berhasil membawa lari Mawar, kembang sekolahan yang sudah lama diincarnya. Mawar itu bidadari. Cantik seperti model-model iklan pemutih kulit. Rambutnya yang panjang ikal berwarna hitam kemerahan selalu tergerai dan sebagian jatuh diatas pundaknya. Tubuh yang jangkung bak peragawati membuat mata cowok manapun selalu mengikuti kemana langkah kakinya bergerak dan berhenti manakala tubuh indah itu ditelan belokan.
“ Kamu senang Kenzo?” teriak Mawar dari jok belakang. Tangannya memeluk erat pinggang.
“ Ya…aku senang sekali, Mawar. Kamu?”
“ Ya!!!”
Senyum Kenzo semakin mengembang. Honda tua itu meliuk-liuk, menari-nari seolah-olah merasakan bahagia yang sama dengan tuannya.
“ KAmu mau saya ajak kemana Mawar?” teriak Kenzo
“ Kemana saja asal bersamamu pasti menyenangkan Kenzo”
“ Ragunan?”
“ Wah, kamu kangen sama saudaramu ya?”
Kenzo nyengir kuda. Honda tua warna merah marun itu meliuk kekiri menuju arah ragunan. Tidak ada hal yang paling menyenangkan didunia ini selain menghabiskan waktu berdua dengan seseorang yang kita sayangi bukan?. Dimanapun dan kemanapun pasti akan mengasyikan. Bukan saja bertamasya di kebun binatang, tidur dikolong jembatan pun akan terasa seperti tidur di apartemen.
Seperti di film, keduanya menikmati wisata cinta mereka diragunan. Berjalan berpegangan tangan, berkejaran, tergelak, merajuk, menikmati semangkuk bakso dan segelas kelapa muda sambil lesehan di warung yang terdapat disekitar komplek kebun binatang ragunan.
“ Udah sore Kenzo “ ujar Mawar di depan kandang monyet. Tangannya melemparkan kacang kearah kandang. Kenzo menikmati sekali pemandangan indah didepannya. Saat itu mereka berdiri sangat dekat sekali, ujung kulit tangan Kenzo menyentuh kulit halus tangan bidadari cantik ini. Mata Kenzo menguliti setiap inci pemilik kulit pipi yang putih, bola mata yang hitam teduh, alis tebal yang memanjang bagai semut beriring serta keindahan rambut ikal panjang yang menari-nari diiringi irama angin. Kenzo menelan ludahnya. Pipinya menggelembung.
“ Kenzo!” teriak Mawar membuat cowok ceking disampingnya gelagapan, “udah sore pulang yu?” tambahnya. Kenzo menatap dalam bola mata indah itu. Ser…ada sesuatu yang merayapi jantungnya. Kenzo kembali menelan ludahnya. Pipinya menggelembung.
“ Mawar…” ucap Kenzo lirih tangannya meraih tangan Mawar, “ Aku…”
Tangan lembut mawar menutup bibir Kenzo lembut. Sedikit berjinjit, Mawar memejamkan matanya dan menyodorkan bibirnya. Kenzo pun memejamkan matanya dan menyodorkan bibirnya.
Kenzo mendengar teriakan. Dasar monyet bathin hatinya, bisa sirik juga ya….teriakan itu semakin keras dan mirip seperti tertawa manusia, tanpa melepaskan ciuman, Kenzo membuka mata sebelah kirinya. Terpaku….segerombolan anak-anak umur belasan tahun memakai caping dan menggiring kerbau memperhatikannya dari jarak beberapa meter. Kenzo tersadar, barusan dia bermimpi sambil menciumi batang pohon. Kenzo mengusap bibirnya panik. Dia merasakan kulit mukanya memerah bagai diwarnai dengan crayon. Dengan muka malu-malu kucing dan salah tingkah, pemuda ceking ini berdiri dari dari tempatnya tertidur sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Segerombolan anak-anak itu beranjak sambil berurai tawa. Kerbau-kerbau itu menuntun mereka menapaki jalan di tengah persawahan. Sebagaimana biasanya, sehabis lohor, anak-anak desa itu menggembalakan kerbaunya di lapangan yang juga biasa dipakai bermain bola. Rumput liar disana tinggi-tinggi.
1st chapter by Irwansyah Putra
No comments:
Post a Comment